ThePhrase.id - Isu korupsi Pertamina memenuhi jagad Media Massa dan Media Sosial dalam sepekan lebih. Isu yang berawal dari penahanan tujuh tersangka yang diumumkan Kejaksaan Agung dalam sebuah Konferensi Pers tak biasa, jelang tutup hari. Dari tujuh orang yang dipaksa mengenakan rompi warna pink itu, tiga di antaranya pejabat tinggi di lingkungan Subholding BUMN Energi. Sisanya pemain swasta di industri Migas tanah air. Hanya dalam hitungan 2x24 jam, Kejaksaan Agung menambah lagi dua tersangka.
Dunia maya riuh, gelombang isu menerjang bagai tsunami yang tak terbendung. Jutaan jempol serentak bergerak, mengunggah narasi dan gambar di media sosial yang menggambarkan kemarahan pemiliknya. Opini bergerak liar. Sumpah serapah hadir dengan pilihan kosa kata, brengsek, bedebah, njir dan lain-lain. Seolah tidak cukup dengan hujatan, Netizen menyuarakan boikot Perusahaan Negara yang 67 tahun menyalurkan energi ke seluruh pelosok negeri ini.
Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah temuan kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun yang diungkap Kejaksaan Agung itu benar? Apakah dana-dana haram itu telah mengalir ke rekening 9 pelaku yang sudah meringkuk di ruang tahanan Kejaksaan itu?
Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung, Harli Siregar menguraikan bahwa penyidik menduga telah terjadi pemufakatan jahat dalam pengadaan minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023.
Kejaksaan Agung membeberkan fakta bahwa para tersangka telah mengatur proses pengadaan impor minyak mentah & produk kilang. Sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenang broker yang telah ditentukan.
Menurut penyidik telah terjadi pemufakatan jahat yang dimulai dari pengkondisian Rapat Organisasi Hilir atau ROH. Hasil Rapat dijadikan alas an untuk menurunkan produksi kilang, sehingga hasil produksi minyak bumi dari dalam negeri tidak sepenuhnya terserap.
Sayangnya, isu kongkalikong menggarong uang negara ini kalah oleh tudingan Oplos BBM. Kejaksaan Agung menyebut telah terjadi pelanggaran hukum, karena Pertamina Patra Niaga melakukan blending (pencampuran) produk di Depo, padahal seharusnya proses itu dilakukan di kilang.
Pertamina mengklarifikasi tudingan tersebut, dengan menyatakan bahwa produk yang dijual di SPBU Pertamina sesuai spesifikasi. Di Terminal BBM, Pertamina melakukan proses pewarnaan, sehingga masyarakat mudah mengenali untuk membedakan antara produk. Produk Pertamax dengan warna biru, Pertamax Turbo berwarna merah. Pertamina juga menambahkan Zat Additive untuk meningkatkan kinerja Bahan Bakar.
Belakangan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar juga mengklarifikasi bahwa BBM Pertamax yang beredar di pasaran saat ini sesuai dengan spek.
"Masyarakat tidak perlu risau tidak perlu cemas. Karena apa yang sudah disampaikan oleh pihak Pertamina bahwa yang beredar sekarang itu sudah sesuai spesifikasi," katar Harli, Sabtu, 1 Maret 2025.
Kejaksaan Agung mengungkap bahwa yang melakukan blending atau pencampuran adalah pihak swasta, bukan BUMN. Temuan penyidik kejaksaan, proses blending itu dilakukan oleh PT Orbit Terminal Merak (OTM) di Cilegon, Banten, milik tersangka Muhammad Kerry Adrianto Riza, anak Riza Chalid. Klarifikasi Kejagung bagai angin lalu, isu sudah mengalir jauh di media massa, jejaring media social hingga aplikasi perpesanan dan opini sudah mencengkram kuat di pikiran masyarakat dan melahirkan kemarahan.
Bila prosedur pencampuran bahan bakar di kilang Pertamina itu legal, dan operasional di Terminal BBM Pertamina menambahkan warna dan zat additive yang fungsinya baik untuk kendaraan juga tindakan legal lantas mengapa isu ini melesat lebih jauh menyalip persoalan utamanya, korupsi?
Mantan Menteri ESDM, Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said menyatakan terungkapnya kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah ini merupakan buntut dari tidak tuntasnya proses penegakan hukum terhadap para pelaku mafia migas yang sempat dilakukan satu dekade silam. Proses pembubaran Petral pada 2015 lalu tidak tuntas di mana laporan yang disampaikan ke KPK tidak sempat ditindaklanjuti.
"Penunjukkan orang, restrukturisasi oleh BUMN, itu terlalu banyak sinyal-sinyal yang menunjukkan bahwa pendekatannya tidak lagi teknokratik dan profesional murni tapi sudah ada bau-bau politik," kata Sudirman, Minggu, 2 Maret 2025.
Mantan Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahja Purnama yang biasa dipanggil Ahok menilai tudingan bahwa Pertalite di SPBU Pertamina yang ditempel dengan nama Pertamax itu sangat berbahaya.
“Saya kuatir ada pihak-pihak asing atau siapa pun yang ingin menguasai pasar retail SPBU. Ada merek tertentu punya pejabat tertentu juga nih,” kata Ahok.
Ahok tidak yakin bahwa SPBU Pertamina yang sebagian besar juga dimiliki pihak swasta ini berani menjual Pertalite dengan nama Pertamax. Pengusaha SPBU menyadari resiko bisnis yang dihadapinya yang dapat berujung pidana, karena lembaga konsumen dan Kementerian ESDM secara rutin mengambil sample untuk menguji kualitas masing-masing produk BBM di tangki SPBU-nya. Ahok mencurigai kemungkinan besar ada penumpang gelap yang mau menjatuhkan Pertamina dalam hal ini.
Pasar retail BBM memang menjanjikan. Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, memberikan sinyal bahwa pada 2027, subsidi BBM stop. Luhut telah mengusulkan kepada Presiden Prabowo Subianto agar diterapkan kebijakan BBM satu harga. Bila subsidi lenyap, maka Pertalite dan Solar Bersubsidi sangat mungkin tidak dipasarkan lagi di SPBU Pertamina, sehingga harga jual seluruh produk BBM berfluktuasi sama dengan harga di SPBU Asing. Kebijakan ini menjadi kesempatan besar bagi pengusaha retail asing untuk memperluas titik SPBU. Bisa dipastikan pasar yang diperebutkan adalah pasar gemuk yang pasti untung, sementara yang di wilayah terpinggir hanya diwajibkan bagi Pertamina.
Sebagai mantan pengawas Pertamina, Ahok meyakinkan masyarakat bahwa bila saat mengisi bensin dengan Pertamax di SPBU Pertamina dan kendaraannya tidak mengalami gangguan, berarti persepsi itu hanya isu. Bila yang terjadi adalah 9 tersangka melakukan pembelian Pertalite dengan harga Pertamax? Maka Itu harus dibuktikan di pengadilan. Dengan mengebu-gebu Ahok meyakinkan bahwa dirinya memberikan masukan sistem untuk memperbaiki tata kelola migas Indonesia. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menduga kisruh ini jangan-jangan mengarah pada ‘pergantian pemain’.
“Apa setoran kepada ke penguasa, oknum penguasa gak kebagian gede, sampai mau ribut kayak begini?” tegas Ahok retoris.
Dugaan Ahok ini beralasan. Isu ini mengingatkan kita pada tekanan publik dalam pembubaran Petral pada tahun 2015 silam, karena dituding menjadi sarang korupsi Mafia Migas. Anak perusahaan milik Pertamina ini menjadi perpanjangan tangan Pertamina sebagai trading arm dan pengadaan minyak. Saat itu, mencuat satu nama Riza Chalid yang disebut-sebut sebagai Mafia Migas.
Presiden Jokowi ketika itu kemudian memutuskan Petral bubar. Pengadaan minyak mentah dan produk bahan bakar dikembalikan ke Pertamina melalui fungsi Integrated Supply Chain (ISC). Pertanyaannya, apakah langkah membasmi Mafia Migas berhasil? Bagaimana dengan fakta, dari 9 tersangka yang ditahan KPK, nama Muhammad Kerry Adrianto, beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa. Kerry, anak Riza Chalid muncul sebagai salah satu tersangka.
Apakah sinyalemen yang dilontarkan Ahok tentang panasnya isu sekarang bukan bertujuan untuk perbaikan tata kelola, tetapi hanya trik alih kelola dari pemain lama ke pemain baru. Karena ribut-ribut sebelum pembubaran Petral yang ingin memberantas Mafia Migas, tidak berhasil alias NIHIL.
Kalau benar dugaan itu, maka pesan penasihat keamanan nasional Amerika Serikat di era Presiden Richard Nixon, Henry Kissinger menemukan pembenarannya ketika memberi saran “kuasailah minyak, maka engkau akan menguasai bangsa- bangsa. (Aswan AS)