
ThePhrase.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus dugaan korupsi dan suap izin pertambangan nikel senilai Rp2,7 triliun yang menyeret mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo menyebut alasan penghentian penanganan perkara tersebut untuk memberi kepastian hukum lantaran tidak ditemukan bukti yang cukup.
"Penerbitan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh KPK sudah tepat karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan, Pasal 2, Pasal-3 nya yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara," kata Budi dalam keterangan tertulisnya, dikutip Selasa (30/12).
Selain kurang alat bukti, Budi menyebut kasus suap dalam perkara itu juga sudah kadaluwarsa. Seperti diketahui, penanganan perkara suap izin tambang itu dilakukan pada 2009 lalu.
Langkah lembaga antirasuah itu disebut untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada pihak yang terseret dalam perkara itu. Sebab, lanjut Budi, ada norma-norma hukum yang mesti dipatuhi dalam setiap penanganan perkara.
Budi menuturkan bahwa penerbitan SP3 sudah sesuai dengan asas-asas pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK ihwal kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan langkah KPK yang dinilai tidak transparan dalam pengeluaran SP3. Sebab, KPK mengaku sudah mengeluarkan “surat sakti” itu sejak 2024 dan baru diungkap pada akhir 2025.
Namun, penelusuran yang dilakukan ICW terhadap laporan tahunan KPK, tidak ditemukan kasus suap izin pertambangan nikel itu dalam laporan tersebut. Kalaupun benar KPK sudah menerbitkan sejak 2024, ICW pertanyakan KPK harus menunggu satu tahun untuk mengungkapkan ke publik.
“Padahal, berdasarkan Pasal 40 ayat (2) UU Nomor 19/2019 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019, penghentian penyidikan dan penuntutan harus dilaporkan ke Dewas (Dewan Pengawas KPK) paling lambat 14 hari terhitung sejak dikeluarkannya SP3. Publik patut mempertanyakan alasan mengapa KPK tidak berlaku transparan?” ucap Wana Alamsyah, Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW dalam keterangannya yang disampaikan kepada ThePhrase.id, dikutip Selasa (30/12).
Wana mengungkapkan bahwa terdapat dua perkara dugaan korupsi yang melibatkan Aswad Sulaiman, yakni pasal kerugian negara dan suap menyuap. Dia menilai KPK perlu menyampaikan secara gamblang kepada masyarakat, SP3 yang diterbitkan ditujukan untuk perkara kerugian negara atau suap menyuap.
Apa bila perkara suap menyuap yang dihentikan, kata Wana, KPK harus menjelaskan tentang perkembangan pemeriksaan yang dilakukan pada 2022 lalu, kala itu KPK tengah mendalami pertemuan antara Aswad Sulaiman dengan sejumlah pihak swasta.
“Pertemuan tersebut diduga untuk memuluskan perizinan proyek di Kabupaten Konawe Utara,” ujarnya.
Sebelumnya, KPK menetapkan mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian izin pertambangan nikel di wilayah Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, pada Oktober 2017 lalu.
Aswad Sulaiman diduga merugikan keuangan negara hingga Rp2,7 triliun yang berasal dari penjualan nikel atas pemberian izin kepada sejumlah perusahaan yang disinyalir melawan hukum.
"Indikasi kerugian negara sekurang-kurangnya sebesar Rp2,7 triliun yang berasal dari penjualan hasil produksi nikel yang diduga diperoleh akibat perizinan yang melawan hukum," kata Saut Situmorang, Wakil Ketua KPK saat itu pada Selasa 3 Oktober 2017.
Aswad Sulaiman selaku pejabat bupati Konawe Utara 2007-2009 dan 2011-2016 menerbitkan izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi serta izin usaha produksi operasi produksi kepada sejumlah perusahaan mulai 2007 sampai 2014.
Selain diduga merugikan negara hingga Rp2,7 triliun, Aswad Sulaiman juga diduga menerima suap sebesar Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan terkait pertambangan nikel selama 2007-2009.
"Diduga telah menerima uang sejumlah Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan yang mengajukan izin kuasa pertambangan kepada Pemkab Konawe Utara," ujar Saut.
Atas kasus dugaan suap ini, Aswad disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (M Hafid)