politics

KPU: Jika Calon Tunggal Kalah, Ada Opsi Pilkada Ulang Diselenggarakan Tahun Depan

Penulis Rangga Bijak Aditya
Sep 03, 2024
Anggota KPU RI, Idham Holik. (Foto: Instagram/kpu_ri)
Anggota KPU RI, Idham Holik. (Foto: Instagram/kpu_ri)

ThePhrase.id - Anggota KPU RI, Idham Holik mengatakan bahwa apabila calon tunggal kalah di pilkada, maka ada dua opsi yang dapat dilakukan yakni Pilkada ulang yang dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya, atau sesuai dengan jadwal lima tahun sekali.

“Berarti ada dua alternatif tahun penyelenggaraan pilkada diulang kembali pada tahun berikutnya, atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan,” ucap Idham pada Minggu (1/9) dikutip Antaranews.

Menurut Idham, jika pilkada ulang harus diselenggarakan karena calon tunggal dinyatakan kalah pada Pilkada 2024, maka akan diselenggarakan di tahun 2025.

“Jika nanti diselenggarakan di tahun berikutnya berarti pemilihan akan diselenggarakan pada bulan November 2025,” imbuhnya.

Adapun syarat calon tunggal untuk memenangi pilkada adalah memperoleh lebih dari 50% suara sah dari total suara. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka daerah tersebut akan dipimpin oleh penjabat (Pj.)

“Jika hasil pemilihan nanti, di mana calon tunggal tidak memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka pemerintah menugaskan penjabat gubernur, bupati, atau wali kota,” jelasnya.

Berdasarkan masa pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah ditutup pada Kamis, 29 Agustus 2024, tercatat sebanyak 43 calon tunggal yang akan berkontestasi di Pilkada Serentak 2024, yakni 1 calon tunggal di tingkat provinsi, 5 di tingkat kota, dan 37 di tingkat kabupaten.

Calon Tunggal Tidak Bisa Dianggap Hal Wajar

Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Kholil Pasaribu menilai bahwa calon tunggal dalam pilkada tidak boleh dianggap hal yang wajar, dan memerlukan adanya pembenahan ke depan.

“Meski kehadirannya sah dan konstitusional, calon tunggal itu bukan cara terbaik menghargai kedaulatan rakyat dan membangun demokrasi yang sehat,” tukas Kholil di Jakarta.

Kholil menyampaikan tiga poin pembenahan yang perlu dilakukan. Pertama, Undang-Undang (UU) Pilkada harus memuat aturan ambang batas maksimal persentase jumlah suara partai politik (parpol) atau gabungan parpol.

Karena menurutnya, hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 hanya mengatur ambang batas minimal persentase jumlah suara partai maupun gabungan partai.

Poin kedua, sanksi bagi parpol atau gabungan parpol yang telah memenuhi syarat untuk mengajukan calon namun memilih untuk tidak mengajukan, perlu diatur dan digalakkan.

“Ketentuan ini sebagaimana halnya dalam pengajuan pasangan calon dalam pemilihan presiden,” tandasnya.

Kemudian poin ketiga terkait keuangan politik yang perlu ditata ulang, supaya biaya politik yang ditanggung calon kepala daerah maupun parpol, lebih rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. (Rangga)

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic