
Thephrase.id - Habiburokhman tak sabar hati ingin segera menutup sisa waktu 2025 dan menyongsong lembaran awal 2026. Baginya, hari bersejarah akan tercipta pada dua hari pertama di tahun itu. "Berlakunya dua produk hukum yang jauh lebih mungkin menghadirkan keadilan bagi masyarakat," katanya sembari menampilkan wajah sumringah ke kamera wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (16/12).
Dua produk hukum yang dimaksud Ketua Komisi III DPR RI itu adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang akan berlaku secara efektif pada 2 Januari 2026 mendatang.
Berlakunya produk hukum yang diwarnai berbagai penolakan serta kritikan pada saat revisi, disebut akan menyuguhkan keadilan bagi rakyat. Klaim Habiburokhman, UU itu mengedepankan kemanusiaan dan hati nurani dalam pelaksanaannya.
Lain halnya dengan Habiburokhman, masyarakat sipil justru menyebut tanggal muda itu ibarat tiupan peluit sumbang yang menjadi tanda dimulainya kekacauan sistem peradilan pidana di Indonesia. Kekacauan itu lebih-lebih tercium dari berlakunya KUHAP baru yang mengandung sejumlah masalah.
Pembahasan KUHAP super kilat, tidak menyentuh fundamental, hingga minim partisipasi publik dinilai menjadi titik awal bencana peradilan pidana. DPR dan pemerintah telah menyeret Indonesia ke jurang krisis hukum pidana.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur menyoroti ketergesaan DPR dan pemerintah dalam mengesahkan KUHAP pada Selasa, 18 November 2025 lalu. Lebih-lebih jarak pengesahan dengan berlakunya KUHAP tidak kurang dari dua bulan, itu pun masih dipotong hari libur.
Menurutnya, terjadi kegentingan regulasi dalam waktu singkat itu. Pasalnya, ada kewajiban pembuatan aturan pelaksana berupa 25 Peraturan Pemerintah (PP), 1 Peraturan Presiden (Perpres), 1 Peraturan Mahkamah Agung (Perma), dan 1 Undang-Undang.
Aturan pelaksana tersebut akan menjabarkan lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang bersifat umum dalam KUHAP agar dapat diterapkan secara teknis dan operasional.
"Tanpa PP, Perpres, Perma, dan UU sebagai aturan pelaksana tersebut, norma-norma KUHAP akan tidak jelas dan membuka ruang penyimpangan di setiap tahapan prosesnya," kata Isnur dalam keterangannya kepada ThePhrase.id beberapa waktu lalu.
Belum lagi sosialisasi KUHAP harus dilakukan terhadap aparat penegak hukum (APH) di seluruh Indonesia. Waktu itu singkat dinilai akan memaksa APH bekerja saat tumpang tindih aturan masih terjadi, kekosongan mekanisme, dan konflik interpretasi.
Bagi Isnur, situasi itu melahirkan ketidakpastian hukum yang bukan hanya persoalan administratif, melainkan mengancam perlindungan hak-hak warga saat berhadapan dengan hukum.
Dia menilai, memaksakan pemberlakuan UU tanpa kesiapan regulasi pelaksana hingga pengetahuan dan pemahaman yang memadai bagi pelaksana lapangan merupakan tindakan ekstrem yang destruktif bagi masa depan hukum Indonesia.
"Bahkan berbahaya. Aparat di lapangan akan menghadapi kekosongan pedoman dan kesenjangan pemahaman," ujarnya.
Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej mengungkapkan sudah ada masing-masing tiga peraturan pelaksana bagi KUHAP maupun KUHP, antara lain PP tentang Pelaksanaan KUHAP, PP tentang Mekanisme Keadilan Restoratif (restorative justice), dan Perpres tentang Sistem Peradilan Pidana Berbasis Teknologi Informasi.
Menurut Edward, dua dari tiga peraturan pelaksanaan itu telah melalui proses harmonisasi. Sementara Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan KUHAP masih akan dibahas dalam waktu dekat.
"Sehingga sebelum 2 Januari 2026, 6 PP atau 6 Peraturan Pelaksanaan dari KUHP dan KUHAP itu sudah bisa dilaksanakan bersamaan dengan KUHP dan KUHAP yang baru, sehingga tidak ada lagi keraguan bahwa aparat penegak hukum tidak siap," kata Edward di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (16/12).
Edward tidak mengindahkan keraguan dari masyarakat sipil soal kekacauan atau bencana bagi hukum pidana akibat ketidaksiapan regulasi dan pemahaman pelaksana lapangan. “Sekali lagi saya tegaskan bahwa aparat penegak hukum kami siap menyongsong KUHP dan KUHAP yang baru," ucapnya.
Pasal Bermasalah Mengancam Sistem Peradilan Pidana
Berlakunya KUHAP pada 2 Januari 2026 dinilai perlu menjadi kekhawatiran bersama. Sebab bencana hukum pidana akan menghanyutkan semua pihak sejak permulaan tahun depan.
Staf Advokasi YLBHI, M Afif Abdul Qoyyim menyebut terdapat banyak pasal di dalam KUHAP yang tidak komprehensif, bahkan ada pasal yang tidak memiliki penjelasan yang memadai. Kondisi itu menimbulkan elastisitas dalam pelaksanaanya.
Dalam catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP, terdapat sedikitnya 40 pasal bermasalah yang mengancam hak-hak masyarakat, seperti perlindungan fisik warga yang tercantum pada Pasal 93 yang mengatur soal penangkapan dan 99 soal penahanan.
Masyarakat sipil menilai kedua pasal itu sebagai bentuk upaya paksa lantaran warga bisa ditangkap dan ditahan hanya berdasarkan perintah penyidik, bukan atas perintah hakim. Hal itu dinilai sangat subjektif karena tanpa melihat keabsahan alat bukti yang menjadi alasan penangkapan dan penahanan.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman membantah bahwa penangkapan harus dilakukan setelah penetapan tersangka. Sedangkan penetapan tersangka harus memiliki dua alat bukti.
“Lalu, penahanan itu syaratnya jauh lebih berat, jauh lebih objektif dibandingkan dengan apa yang diatur di KUHAP Orde Baru," kata Habiburokhman.
Dalam hal penahanan, penyidik dapat menilai pihak yang berperkara telah memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan dan menghambat proses pemeriksaan, maka langsung ditahan.
Menurut Habiburokhman, penahanan dapat dilakukan apabila terdakwa mengabaikan panggilan dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, memberikan informasi yang tidak sesuai fakta, menghambat proses pemeriksaan, berupaya melarikan diri, melakukan ulang pidana, terancam keselamatannya, hingga mempengaruhi saksi untuk berbohong.
Menurut Afif, ketentuan itu terlalu banyak sehingga memudahkan polisi mencari alasan penahanan dan dinilai terlalu subjektif. Kewenangan subjektif ini rentan disalahkan dan bahkan bertentangan dengan hak ingkar tersangka.
"Artinya ketika surat perintah penyidik ada, tanpa ada izin penetapan hakim, bisa dilakukan penahanan. Termasuk untuk upaya-upaya yang lainnya, pengeladahan, pemblokiran, penyitaan," kata Afif kepada ThePhrase.id beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah menilai adanya potensi pelanggaran HAM dari mulai penyelidikan, penyidikan, hingga upaya paksa. Menurutnya, harus diikuti peningkatan kualitas dan mekanisme pengawasan yang ketat baik internal maupun eksternal.
“Pengawasan ketat untuk mengurangi penyalahgunaan wewenang dan potensi pelanggaran HAM, khususnya terhadap saksi, tersangka dan/atau korban,” kata Anis, Selasa (24/11).
Menurutnya, upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penetapan tersangka, penggeledahan, pemeriksaan dan penyadapan harus digunakan secara ketat dengan indikator-indikator yang jelas dan terukur. Serta dibuka peluang bagi pihak yang merasa dirugikan hak-haknya untuk mengajukan keberatan, baik terhadap institusi yang menggunakan upaya paksa tersebut maupun melalui lembaga peradilan.
KUHAP baru juga memberi kewenangan lebih (super power) bagi polisi, hal itu dapat mengancam independensi dan efektivitas penyidik khusus. Menurut Afif, salah satu kewenangan lebih kepolisian adalah dapat melakukan controlled delivery dan undercover buy terhadap semua kasus.
Sementara dalam peraturan sebelumnya, controlled delivery dan undercover buy hanya berlaku dalam penyidikan kasus narkotika. Selain itu, kedua teknik itu biasanya dilakukan di tahap penyidikan. Namun di KUHAP baru dapat dilakukan di tahap penyelidikan.
"Sehingga ketika misalnya penegak hukum melakukan controlled delivery dan undercover buy, kita tidak bisa mengetahui mana yang sesuai prosedur dan mana yang ilegal," terangnya.
"Jadi polisi masuk ke tahap yang sebenarnya belum jelas tindak pidananya," imbuhnya.
Kewenangan lainnya, polisi menjadi penyidik utama yang membawahi dan mengendalikan penyidik dari lembaga lain seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik Tertentu, kecuali penyidik Kejaksaan, KPK, dan TNI AL.
Afif menilai pemberian kewenangan itu dapat mengancam independensi dan efektivitas kerja penyidik PPNS dan Penyidik Tertentu. Pasalnya, setiap upaya penyidikan harus berdasarkan izin dari Penyidik Utama, dalam hal ini polisi.
Dia menyoroti soal keahlian yang tidak spesifik dari penyidik kepolisian. Misalnya, ketika penyidik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hendak melakukan penyidikan tapi harus izin ke penyidik polisi yang tidak memiliki keahlian di bidang itu, maka membuat kerja penyidikan tidak efektif dan efisien.
"Dan ini mengancam independensi maupun efektivitas dari penanganan kasus," ucapnya.
Habiburokhman lagi-lagi membantah bahwa kewenangan yang diberikan kepada Polri sebagai Penyidik Utama didasarkan pada amanat konstitusi yang termaktub dalam Pasal 30 ayat 4 UUD 1945.
Sementara penyidik lain seperti PPNS dan Penyidik Tertentu hanya pendukung negara dalam penegakan hukum yang dibutuhkan dan diatur secara khusus. Kewenangan itu merupakan konsekuensi dari Putusan MK Nomor 102/PUU-XVI/2018 dan Putusan MK Nomor 59/PUU-XXI/2023.
Desakan Pembatalan KUHAP
Permasalahan yang ada di dalam KUHAP tersebut dianggap sangat substantif. Alih-alih melakukan reformasi hukum acara pidana, KUHAP baru justru dinilai membuka ruang kekacauan hukum yang lebih besar, menghadirkan penyalahgunaan kewenangan, dan transaksi gelap yang merusak integritas proses peradilan.
Keputusan Presiden Prabowo dinilai menjadi penentu masa depan hukum pidana ke depannya, apakah pembaruan hukum pidana berjalan menuju kearah yang benar, atau justru menjadi sumber masalah baru kecauan hukum yang berdampak bagi warga negara.
Mereka berharap agar Prabowo bertindak lebih arif dengan mempertimbangkan kekacauan yang akan terjadi pasca KUHAP baru mulai berlaku. Menurutnya, permasalahan yang ada di dalam KUHAP tidak dapat diselesaikan hanya dengan himbauan teknis, melainkan diperlukan langkah untuk mencegah kerusakan lebih jauh pada sistem peradilan pidana.
Salah satu langkah yang diperlukan adalah penundaan pemberlakukan KUHAP dengan cara menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Hal itu merupakan salah satu kewenangan konstitusional yang dimiliki Presiden.
Prabowo didesak untuk segera menerbitkan Perpu untuk menunda pemberlakukan KUHAP dan membuka jalan bagi perombakan total substansi KUHAP secara transparan dan partisipatif.
"Perppu menjadi salah satu mekanisme konstitusional yang harus dilakukan mencegah kekacauan hukum dan untuk membuka ruang revisi menyeluruh," tandasnya. (M Hafid)