politics

Mahfud MD: Tidak Ada Keppres Pemintaan Maaf kepada PKI

Penulis Ahmad Haidir
Oct 09, 2024
Mahfud MD menjadi keynote speaker dalam Seminar Nasional KAHMI di Auditorium Wisma Kemenpora Jakarta, Rabu 9 Oktober 2024. Dok. Screenshot
Mahfud MD menjadi keynote speaker dalam Seminar Nasional KAHMI di Auditorium Wisma Kemenpora Jakarta, Rabu 9 Oktober 2024. Dok. Screenshot

Thephrase.id – Ketua Dewan Pakar Majelis Nasional (MN) KAHMI Prof. Mahmud MD menegaskan tidak ada Keputusan Presiden (Keppres) yang menyatakan permintaan maaf kepada PKI. Penegasan mantan Menkopolhukam RI ini membantah isu yang berkembang bahwa Pemerintahan Presiden Jokowi telah mengeluarkan Keppres No 17 Tahun 2022 yang isinya memutihkan dan permohonan maaf kepada PKI.

“Dalam Keppres No 17 tahun 2022 tidak ada permintaan kepada PKI. Keppres ini merupakan penyelesaian non yudisial terhadap korban, karena tidak bisa diselesaikan secara pidana di pengadilan,” ujar Mahfud MD ketika menjadi keynote speaker dalam Seminar Nasional KAHMI “Rekontruksi Kehidupan Demokrasi, Politik, Hukum dan Keadilan Sosial dalam Cita Negara yang Merdeka dan Berdaulat” di Auditorium Wisma Kemenpora Jakarta, Rabu 9 Oktober 2024.

Menurut Mahfud, kejahatan dan pelanggaran HAM berat di masa lalu yang dilakukan secara terstruktur ini tidak bisa dibuktikan di pengadilan, karena pelakunya sudah tidak ada.

“Dalam hukum pidana yang bisa dihukum adalah pelaku langsung, sementara pelakunya sudah meninggal dunia, karena itu Keppres ini merupakan penyelesaian jalur lain non yudisial,” imbuh Mahfud.

Kejaksaan Agung (Kejakgung), imbuh Mahfud, sudah membawa 34 tersangka ke Pengadilan tetapi divonis bebas semuanya, karena tidak bisa dibuktikan langsung. Sehingga fokus Pemerintah menyelesaikan dari sisi korban.

“Korban pelanggaran HAM berat ini banyak, dalam Keppres disebutkan ada 13 kelompok korban HAM berat yang harus diselesaikan,” tandas Mahfud.

Berdasarkan Keppers No 17 tahun 2012, ke-13 korban HAM berat adalah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius atau Petrus 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2 pada 1998 dan 1999, Peristiwa Ninja atau Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA di Aceh 1999, Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, di Papua 2003 dan Peristiwa Jambo Keupok di Aceh 2003.

“Kalau mau merkonstruksi kehidupan demokrasi, kita harus tahu batas-batas yang boleh dilakukan sesuai konstitusi. Demokrasi tanpa konstitusi dan hukum bisa liar, karena itu agar kehidupan bernegara bisa jalan harus sesuai konstitusi dan hukum,” pungkas Mahmud.

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic