features

Mandatori Etanol 10 Persen untuk Kemandirian Energi

Penulis M. Hafid
Nov 11, 2025
ilustrasi bioetanol. Foto: dok. pertamina.
ilustrasi bioetanol. Foto: dok. pertamina.

Thephrase.id - Pemerintah Indonesia berencana mewajibkan (mandatory) Bahan Bakar Minyak (BBM) dicampur etanol 10 persen (bioetanol) atau E10 pada 2027 mendatang.

Langkah itu disebut-sebut sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap transisi energi dan penurunan emisi karbon dalam menghadapi perubahan iklim yang mengancam tidak hanya Indonesia, tapi seluruh dunia.

Selain untuk pengembangan energi bersih, rencana mandatori tersebut untuk memulai kamandirian energi serta menekan ketergantungan pada impor BBM.

"Agar kita tidak impor banyak, dan juga untuk membuat minyak yang bersih, yang ramah lingkungan," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, Selasa (08/10).

Saat ini, Indonesia baru menerapkan etanol 5% atau E5 pada Pertamax Green 95 yang diproduksi Pertamina sejak Juli 2023 lalu. Namun, penerapannya disebut bersifat opsional, bukan kewajiban.

Pertamina sudah mendistribusikan Pertamax Green 95 di 170 SPBU yang tersebar di Pulau Jawa, yaitu di wilayah Jakarta-Bogor-Depok, Tangerang Selatan, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Bioetanol dihasilkan dari bahan alami seperti tebu, singkong, jagung, kentang, hingga sorgum yang melalui proses fermentasi. Proses fermentasi ini menggunakan energi dari sinar matahari yang diperoleh melalui fotosintesis untuk pemecahan molekul gula menjadi etanol.

Ketua Pusat Studi Kebijakan Energi Universitas Indonesia (Puskep UI) Ali Ahmudi menyebut Indonesia memiliki modal dasar kuat untuk mendorong substitusi BBM berbasis fosil.

Melimpahnya bahan pangan yang dapat diolah menjadi etanol, Indonesia dianggap sudah sebanding dengan negara-negara besar seperti Brasil yang berhasil mengembangkan penggunaan etanol hingga 100% atau E100.

"Kita dan Brasil itu enggak terlalu jauh. Sama-sama di negeri tropis, sama-sama agraris. Sama-sama punya hutan banyak, secara alam kita mirip," kata Ali dalam diskusi publik Puskep UI, Jumat (7/11).  

"Seharusnya kita bisa mencapai kemandiran (independence) energi seperti Brasil, tanpa pernah ketergantungan terhadap minyak. Andai kita mau, andai kita bisa," imbuhnya.

Sayangnya, kemandirian energi di Tanah Air selalu mengalami penurunan. Sebab, domestic supply berangsur turun sejak era 1970-an. Sekalipun Indonesia dikenal sebagai petro dollar lantaran kerap menjual minyak ke luar negeri.

"Ini adalah data yang kemudian menggambarkan bagaimana energy independence kita semakin lama semakin menurun. Harusnya kita melakukan sesuatu. Salah satunya adalah bioenergi adalah solusi," ucapnya.

Ali menyebut empat prinsip yang dapat dilakukan menuju keamanan energi, yakni ketersediaan (availability), aksesibilitas (accessibility), keterjangkauan (affordability), dan penerimaan (acceptability). Bioetanol dianggap sudah memenuhi keempat prinsip tersebut.

“Kalau kita berpikir global, kalau kita berpikir futuristik, maka seharusnya kita dukung penerapan energi terbarukan, termasuk bioetanol, termasuk biodiesel. Karena itu adalah cara kita untuk keluar dari jerat kemungkinan dan ketergantungan energi fosil dan menuju kedaulatan energi,” bebernya.  

Ali menyebut, penggunaan etanol dapat mengurangi ketergantungan impor BBM yang menjadi masalah menahun di Indonesia. Pengembangan etanol juga bisa membawa Indonesia mencapai kedaulatan energi selama diolah dan diproduksi di dalam negeri.

Dalam kesempatan yang sama, peneliti senior Puskep UI yang membidangi bioenergi Zarkoni Azis menyebut penggunaan E10 dapat menambah kualitas pembakaran, karena memiliki angka oktan tinggi mencapai 97,1.  

Penambahan oktan itu diketahui dari hasil pengujian pencampuran bensin dengan bioetanol anhidrat (anhydrous ethanol). Bioetanol Anhidrat merupakan bioetanol berkadar di atas 99,5% yang mengandung air maks. 1 % v/v dan merupakan hasil dari proses dehidrasi bioetanol hidrat.

Zarkoni menyarankan regulator mengarahkan kebijakan etanol jenis bioetanol hidrat (Hydrous Ethanol). Bioetanol hasil distilasi azeotropik, dengan kadar air 4-5 % v/v atau kadar bioetanol 95-96 % v/v (192 proof alcohol).

Menurut Zarkoni, akhir-akhir ini terdapat kecenderungan secara global penggunaan bioetanol hidrat untuk komponen Gasohol E10-E100. ”Alasannya karena biaya produksi lebih murah, lebih ramah lingkungan karena energi untuk produksi bioetanol hidrat lebih murah,” jelas Zarkoni.

Baginya, percepatan implementasi bioetanol dapat dilakukan bertahap, misalnya dari E5 menuju E10, sambil memastikan kesiapan infrastruktur distribusi serta desain material kendaraan yang sesuai.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menyatsksn dukungan industri otomotif nasional dalam pemanfaatan etanol.

Pemanfaatan etanol dinilai sejalan dengan upaya pengurangan emisi dan transisi menuju energi baru terbarukan. Etanol juga berpotensi untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Kendati begitu, penerapannya secara menyeluruh tetap memerlukan tahapan dan penyesuaian, termasuk kesiapan infrastruktur penyaluran dan pasokan bahan baku etanol dalam negeri.

"Industri kita siap. Kita mendukung penggunaan biofuel karena ini terkait dengan energi terbarukan. Etanol punya kelebihan seperti emisi yang lebih baik dan peningkatan angka oktan. Namun, penggunaannya tetap perlu diperhatikan standar dan tahapan implementasinya," ujar Kukuh.

Kukuh mengungkapkan bahwa etanol telah banyak digunakan di dunia, serta sudah diuji coba oleh asosiasi produsen kendaraan bermotor Jepang atau Japan Automobile Manufacturers Association (JAMA) di Asia Pasifik, termasuk di Indonesia.

"Kendaraan yang diproduksi sejak tahun 2000 rata-rata sudah kompatibel menggunakan campuran etanol sampai E10. Industri kendaraan bermotor siap mengadopsi hal ini, tinggal implementasinya yang perlu dilakukan secara bertahap sesuai standar," terangnya.

Dalam kesempatan itu, Kukuh juga mendukung pembentukan peta jalan oleh pemerintah yang bertujuan mendorong perekonomian nasional maupun daerah. Sebab bahan baku etanol 10% berasal dari komoditas pertanian, yaitu singkong, jagung, tebu dan sorgum.

“Semua pihak perlu bersinergi dan mengutamakan keunggulan daerahnya, misalnya etanol di Jawa Timur diproduksi dari tebu, di Lampung dengan bahan baku singkong, dan seterusnya,” ucapnya.

Dalam kesempatan lain, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi menyampaikan bahwa mobil dari berbagai merek di Indonesia sudah kompatibel dengan kandungan etanol hingga 20%.

"Sebetulnya, mobil-mobil mau merek apa pun itu, sudah kompatibel dengan etanol. Secara teknis, secara kemampuan mesin, itu maksimal bisa 20 persen," ujarnya di Jakarta, Senin (6/10).

Meskipun sudah kompatibel dengan campuran etanol 20%, namun Indonesia masih menggunakan campuran etanol 5% yang dapat ditemukan di Pertamax Green 95.

"Pertamax Green 95 itu, 5 persen (kandungan etanolnya), tetapi dipastikan suplainya dari dalam negeri, campurannya dipastikan 5 persen," ucapnya.

Akan tetapi, dia mengaku kebingungan apabila penggunaan etanol 10% berencana diwajibkan atau mandatori oleh pemerintah pada 2027. Pasalnya, lanjut dia, harus mempertimbangkan ketersediaan bahan dasar dari etanol di dalam negeri.

"Kalau kita mandatorikan (wajibkan), kami bingung sumber (etanolnya) di mana, karena Pak Menteri (Bahlil Lahadalia) nggak mau impor," ungkapnya.

Akan tetapi, dia juga mengungkapkan bahwa pengembangan bioetanol akan terus dilakukan sebagai salah satu turunan dari proyek utama pengembangan food estate yang menjadi fokus pemerintah, yakni perkebunan tebu seluas 500.000 hektare.

"Hitungannya masih dibicarakan. Intinya, di Papua, kalau tidak salah saya mendengarnya sih ada 150-300 ribu kl etanol per tahun," tandasnya. (M Hafid)

Tags Terkait

Artikel Pilihan ThePhrase

- Advertisement -
 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic