ThePhrase.id – Tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat dunia sangat bergantung dengan minyak kelapa sawit yang dikenal murah dan selalu digunakan di berbagai produk sehari-hari seperti produk rumah tangga, makanan ringan, kosmetik dan masih banyak lagi.
Minyak kelapa sawit sering dianggap kontroversial sebagai produk yang tidak ramah lingkungan. Bahkan, World Resources Institute (WRI) Indonesia menyebut lahan perkebunan sawit mendorong penebangan hutan di seluruh dunia sebesar 71%
Meski demikian, demand akan produk ini sangatlah tinggi dan Indonesia bahkan disebut merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar yang menguasai 70% pasar dunia menurut Greenpeace Indonesia.
Lahan Gambut yang terdegradasi di Kalimantan Tengah (Foto: wri-indonesia.org)
Dengan ini, devisa Indonesia sangatlah bergantung terhadap bisnis kelapa sawit. Bahkan, Gabungan Asosiasi Pengusahan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat bahwa nilai ekspor minyak sawit periode Januari-Oktober 2021 mencapai US$29,5 miliar. Nilai ini diramalkan oleh GAPKI akan naik menjadi $35 miliar.
Dilemapun banyak terjadi dalam industri ini, di satu sisi ada keuntungan ekonomi yang sangat besar dan menguntungkan bagi negara. Namun, di satu sisi lain muncul kekhawatiran bahwa Industri minyak sawit yang tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari ini merusak alam Indonesia.
Kekhawatiran tersebut kini telah diatasi dengan sistem kebijakan produksi kelapa sawit yang sustainable, sistem sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).
Kelapa sawit (Foto:flickr/CIFOR)
Secara umum, ISPO dan RSPO memiliki tujuan yang sama dalam mendukung industri minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. Namun, RSPO memiliki regulasi yang lebih luas dan fokus terhadap industri sawit berkelanjutan yag ramah lingkungan.
Sedangkan, ISPO lebih fokus pada masalah legalitas usaha agar pengusaha kelapa sawit patuh terhadap hukum yang telah ditetapkan pemerintah
Pengelolaan Sawit Ramah Lingkungan
Dengan semakin menipisnya lahan gambut di Indonesia, pengusaha minyak sawit harus memutar otak dalam memanfaatkan lahan gambut yang telah terdegradasi agar dapat dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
Penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau dengan judul Teknologi Ramah Lingkungan dalam Budidaya Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terdegradasi menyebut terdapat tiga hal yang dapat dilakukan petani kelapa sawit untuk memanfaatkan lahan gambut terdegradasi, yaitu, pengelolaan air, ameliorasi tankos dan tumpang sari.
Pengelolaan air
Pengelolaan air yang tepat pada lahan gambut harus disesuaikan dengan karakteristik lahan dan komoditas yang akan dikembangkan untuk memperlambat laju subsidensi gambut. Jika air tidak dikelola dengan tepat, akan mempercepat laju dekomposisi gambut yang mempercepat pelepasan CO2 ke udara dan mengakibatkan emisi gas rumah kaca (GRK) meningkat.
Sistem pengelolaan air kanal blok (Foto: ksdae.menlhk.go.id)
Pengelolaan air dengan menggunakan kanal blok di perkebunan rakyat disebut mampu meningkatkan produktivitas kelapa sawit rakyat. Sehingga sangat menguntungkan dalam pengembangan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Ameliorasi Tandan Kosong (Tankos)
Tankos dibuat dengan teknik tandan kosong kelapa sawit yang dicampur dengan pupuk kandang dan dolomit dengan perbandingan tertentu. Metode ini mampu meningkatkan produktivitas tanaman di lahan gambut. Kelapa sawit yang diberi amelioran tandan kosong menunjukkan performa agronomi yang lebih tinggi. Dengan amelioran tankos, performa produksi sawit tetap tinggi namun dengan emisi GRK terendah.
Dengan memanfaatkan tandan kosong kelapa sawit tentu akan mengurangi biaya produksi, sekaligus meningkatkan pendapatan. Langkah ini perlu dilakukan untuk mengurangi "pengurasan hara" tanah gambut yang terbawa melalui produksi tandan.
Tumpangsari
Tumpangsari merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan pendapatan petani melalui penanaman secara bersamaan pada lahan yang sama. Dalam penelitian ini, tumpangsari kelapa sawit dengan nanas dilakukan dengan menanam delapan bibit nanas dalam setiap empat pohon kelapa.
Tumpangsari Sawit dan Nanas (Foto: mongabay.co.id)
Pada musim kemarau, tumpangsari juga dapat berfungsi sebagai pemutus jembatan api sehingga mencegah kebakaran hutan. Selain itu, dengan adanya tanaman tumpangsari risiko petani tidak panen menjadi berkurang, dan petani "dipaksa" untuk lebih sering ke kebun sawitnya, sehingga bisa melakukan monitoring dan pemeliharaan yang lebih intensif. [fa]