Thephrase.id - Mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter, menyatakan bahwa sepak bola dunia kini telah "hilang" karena dikuasai Arab Saudi. Ia juga mengkritik keras mantan organisasinya yang dinilai sama sekali tidak memberikan perlawanan terhadap dominasi negara Timur Tengah tersebut.
Pada Desember 2024, Arab Saudi resmi ditetapkan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2034 setelah menjadi satu-satunya negara yang mengajukan diri tanpa pesaing.
Penetapan itu semakin menegaskan langkah agresif Riyadh untuk mengambil posisi penting dalam peta sepak bola global. Investasi besar Arab Saudi kian terlihat dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2023, Dana Investasi Publik (Public Investment Fund/PIF) menguasai empat klub utama Liga Pro Saudi, yaitu Al Ahli, Al Hilal, Al Ittihad, dan Al Nassr. Setahun sebelumnya, PIF juga membeli 85 persen saham klub Liga Inggris, Newcastle United.
Dominasi itu semakin menguat setelah FIFA menyepakati kontrak hak siar senilai 1 miliar dolar Amerika, atau sekitar Rp16,2 triliun, untuk Piala Dunia Antarklub versi baru bersama DAZN. Perusahaan penyiaran itu kini sebagian dimiliki SURJ, sayap olahraga PIF.
Tak hanya itu, merek-merek Arab Saudi seperti Aramco, Riyadh Air, dan Visit Saudi terus hadir di berbagai panggung besar klub maupun turnamen internasional. Blatter menilai hal ini sebagai bentuk penguasaan yang tak terbendung.
"Kita sudah kehilangan sepak bola kepada Arab Saudi. Kita yang menyerahkan, dan mereka yang mengambilnya. Anehnya, tidak ada penolakan terhadap hal ini di dalam FIFA," kata Blatter kepada stasiun televisi Jerman, NTV.
Blatter juga menyampaikan kekhawatiran terhadap format baru Piala Dunia Antarklub yang diperluas menjadi 32 tim dan dijadwalkan berlangsung di Amerika Serikat pada musim panas tahun ini. Menurutnya, jadwal yang padat justru merugikan pemain.
"Terlalu banyak sepak bola. Para pemain dan klub yang sama terkena dampaknya berulang-ulang tanpa waktu istirahat yang memadai," bebernya.
Ia juga menyoroti suhu ekstrem selama penyelenggaraan turnamen musim panas yang dianggapnya "tidak sehat dan tidak pantas". Serikat pemain internasional FIFPRO turut mengkritik FIFA yang masih menetapkan jam pertandingan pada tengah hari, saat suhu sedang panas-panasnya, hanya demi kepentingan siaran di Eropa dan Asia.
FIFA sempat menyebut opsi stadion beratap untuk mengurangi paparan panas, namun Blatter tetap menyebut keputusan itu sebagai bukti lemahnya perlindungan terhadap pemain.
Pria berusia 89 tahun itu juga menyinggung kepemimpinan Gianni Infantino sebagai Presiden FIFA saat ini. Ia menilai suasana organisasi berubah drastis dan penuh kelalaian. "Segalanya dilakukan secara elektronik, dan tak ada yang bersuara. Anda bahkan bisa datang enam jam terlambat ke kongres," ujarnya.
Pada Mei 2025, Kongres FIFA di Paraguay mengalami penundaan karena Infantino belum tiba di Asuncion tepat waktu. Sebelumnya, ia memutuskan ikut kunjungan ke Arab Saudi dan Qatar bersama Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Pertemuan Dewan FIFA pun terpaksa digelar secara virtual.
Blatter menjabat Presiden FIFA sejak 1998 dan dikenal sebagai salah satu figur paling berpengaruh, meski masa kepemimpinannya dipenuhi kontroversi.
Pemberian hak tuan rumah Piala Dunia 2018 kepada Rusia dan Piala Dunia 2022 kepada Qatar juga menuai kecaman internasional. Blatter bahkan sempat mengakui pada 2022 bahwa keputusan memberikan Piala Dunia kepada Qatar adalah sebuah kesalahan.
Pada Maret tahun ini, Blatter dan mantan Presiden UEFA Michel Platini dinyatakan bebas dari tuduhan pelanggaran keuangan oleh pengadilan banding di Swiss. Namun, pada Desember 2015, Blatter dan Platini telah dijatuhi larangan berkegiatan di sepak bola selama delapan tahun, kemudian dikurangi menjadi enam tahun, karena dugaan pembayaran 2 juta franc Swiss (sekitar Rp35,6 miliar) kepada Platini agar mendukung terpilihnya Blatter pada pemilihan Presiden FIFA 2011.
Keduanya menegaskan pembayaran tersebut merupakan upah sah atas pekerjaan Platini sebagai penasihat pada periode 1998-2002, yang pembayarannya tertunda karena kondisi keuangan FIFA kala itu.