ThePhrase.id - Di tengah menyeruaknya sejumlah penyimpangan dan kerusakan yang terjadi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, PDI Perjuangan tiba-tiba mengumumkan kembali pemecatan Jokowi dan keluarganya dari keanggotan partai berlambang kepala banteng itu. PDI P seolah tak mau ikut kecipratan atau menjadi bagian dari keburukan yang dilakukan Jokowi di masa lalu.
Pasca pemecatan itu, pertanyaan pun muncul, kemana Jokowi akan berlindung dan partai apa yang akan menerimanya? Juga bagaimana masa depan karir politik anak-anaknya setelah dirinya tak berkuasa dan tidak ada partai politik yang akan menopangnya?
PDI Perjuangan menegaskan lagi status Jokowi dan keluarganya dalam partai berlambang kepala banteng berselang seminggu setelah perseteruan keduanya dalam pilkada serentak 27 November 2024.
“Saya tegaskan kembali bahwa Pak Jokowi dan keluarga sudah tidak lagi menjadi bagian dari PDIP,” kata Hasto Kristianto, Sekjen PDI P di Jakarta, Rabu, 4 Desember 2024.
Penegasan Hasto ini merespon ucapan Jokowi yang mengaku masih menyimpan kartu anggota partai pimpinan Megawati Sukarnoputri itu. Jokowi mengaku masih menyimpan KTA PDI P menjawab pertanyaan media setelah PDI Perjuangan memecat kadernya, Effendi Simbolon, karena mendukung pasangan dari KIM Plus, Ridwan Kamil - Suswono saat bertanding melawan kandidat dari PDIP, Pramono Anung - Rano Karno di Pilkada Jakarta. "Ya masih," kata Jokowi saat ditemui di kediamannya di Solo, Jawa Tengah, Selasa (3/12/2024).
Penegasan bahwa Jokowi dan keluarganya bukan bagian dari PDI P itu adalah sebuah upaya cut off yang telah memberi keuantungan politik kepada partai berlambang kepala banteng moncong putih itu. PDI P telah membuat pagar pembatas agar segala keburukan dan hal-hal negatif yang dilakukan oleh mantan petugas partainya itu tidak menyeret PDI Perjuangan sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab. Publik akan melihat semua keburukan dan penyimpangan selama dua perode pemerintaha Jokowi adalah tanggung jawab Jokowi dan keluarganya.
Kesalahan dan keburukan yang terus bermunculan yang diungkap banyak pihak sejak Jokowi tidak berkuasa lagi. Salah satunya yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil yang terus membongkar penyalahgunaan kekuasaan pada sejumlah proyek strategis di era Jokowi. Seperti PIK 2 dan BSD, dua proyek milik swasta yang dimasukkan Jokowi sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Demikian juga kalangan akademisi dan pengacara yang dengan konsisten menunjukkan bukti-bukti kebohongan Jokowi tentang pendidikan dan ijazahnya. Bahkan, konglomerat seperti Bos Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan, yang selama ini menjadi penyokong Jokowi sudah mulai cuci tangan dari apa yang dilakukan Jokowi selama berkuasa.
“Kami mesti menjaga wajah presiden,” kata Aguan kepada Tempo, 8 Desember 2024, tentang keterlibatan kelompoknya berinvestasi di IKN, proyek ambisius Jokowi yang tak diminati investor luar. Jokowi kemudian menekan kelompok usaha dalam negeri untuk berinvetasi di proyek yang terancam mangkrak itu.
Terbuang dari partai dan ditinggalkan oleh oligarki penyokongnya telah menjatuhkan harga politik Jokowi pada titik terendah. Publik pun penasaran dan ingin tahu partai apa yang mau menampung seorang mantan presiden yang sedang berupaya meraih posisi untuk memperjuangkan karier politik anak-anaknya.
"Gerindra terbuka, tapi kita nggak bisa memaksa," kata Prabowo di rumahnya di Jalan Kertanegara, Jakarta, Jumat (6/12/2024). Prabowo menyatakan partainya membuka pintu jika Jokowi ingin bergabung ke Gerindra.
Namun, Analis politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menganggap tawaran itu sebagai rasa utang budi Prabowo kepada Jokowi yang telah berperan membantunya memenangkan Pilpres 2024. Kunto menilai akan terjadi masalah di internal partai jika Jokowi bergabung ke Gerindra. “Akan bermasalah kalau ada matahari kembar di sebuah organisasi,” ujar Kunto.
Selain Gerindra, Golkar dan PAN juga menyatakan bersedia menerima Jokowi. “Enggak ada hambatan komunikasi, enggak ada hambatan politik kalau Pak Jokowi mau masuk ke anggota Partai Golkar,” ujar Sarmuji, Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Rabu (11/12/2024).
"Jika Pak Joko Widodo bersedia untuk masuk sebagai kader PAN, maka PAN akan sangat senang," kata Wakil Ketua Umum PAN, Viva Yoga Mauladi, Kamis (5/12/2024).
Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menilai sikap sejumlah parpol yang membuka pintu masuk untuk Jokowi bukan didasari aspek penghormatan tetapi lebih karena ketakutan elit partai yang bersangkutan.
"Minat banyak parpol ke Jokowi lebih pada sisi ketakutan elite parpol pada Jokowi dan jaringannya," kata Dedi, Minggu (8/12/2024).
Jokowi Butuh Partai Politik
Bergabug ke partai politik itu sangat dibutuhkan Jokowi untuk mendukung upayanya memperjuangkan karier politik anak menantunya. Jokowi yang telah menjadi simbol politik dinasti itu pun rela bolak-balik Solo-Jakarta, untuk cawe-cawe dalam pilkada Jakarta, demi menjaga posisi putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka. Namun upayanya itu tidak membuahkan hasil karena Ridwan Kamil – Suswono, pasangan calon (Paslon) yang didukungnya kalah dari Pramono Anung – Rano Karno, calon yang diusung PDI Perjuangan.
Kekalahan yang menjadi daya dorong untuk Gibran mendekati jurang yang telah dibangun Jokowi selama ini. Jokowi telah memaksa anak-anaknya yang boleh jadi, tidak memiiliki bakat dan minat menjadi politisi. Akibatnya, Gibran maju ke arena politik tingkat tinggi dengan intelektualitas, kapabilitas dan etika yang under capacity. Sehingga setiap kali berada di tengah publik untuk membuka acara dan peresmian terlihat seperti orang linglung yang tak tahu apa yang akan dikerjakan.
Politik dinasti Jokowi telah menjadi lubang menganga untuk anaknya, juga masalah buat anak bangsa yang lain karena peluang mereka untuk berkompetisi telah tertutupi oleh kecurangan dan cara akal-akalan menggunakan jaringan dan kuasa.
Politik dinasti atau dinasti politik memang tidak selamanya buruk atau negatif, karena ada juga keluarga politisi yang meraih posisi politik dengan cara fair dan jujur. Seperti keluarga Kennedy di Amerika, Keluarga Nehru di India, Lee di Singapura yang mempersiapkan anak-anaknya meraih posisi politik setelah anak-anaknya matang melalui proses panjang, bukan proses instan seperti yang dilakukan Jokowi. Karena proses instan Jokowi, tidak hanya mendorong anak-anaknya ke dalam jurang tetapi juga merusak perjalanan bangsa ini menuju cita-cita kemerdekaannya. (Aswan AS)