features

Mengapa Presiden Tidak Boleh “Cawe-Cawe” Mengurus Capres?

Penulis Aswan AS
May 09, 2023
Mengapa Presiden Tidak Boleh “Cawe-Cawe” Mengurus Capres?
ThePhrase.id - Apa yang salah dengan seorang presiden yang memihak atau meng endorse ke salah satu calon presiden. Apakah ada aturan yang melarang itu? Apakah keberpihakan itu melanggar etika politik serta dapat memperlambat kedewasaan berdemokrasi di Indonesia?

Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan karena tindakan Presiden Joko Widodo yang banyak terlibat aktif dalam aksi dukung-mendukung figur tertentu untuk menjadi presiden yang akan menggantikan dirinya. Dukungan itu tidak sebatas ucapan tetapi juga menggalang partai-partai politik serta penggunaan fasilitas negara dan jabatannya sebagai kepala negara.

Pertemuan Jokowi dan para ketua umum parpol (Foto: Dok. Kemendag)


Pertanyaan itu kembali menguat setelah Mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla mengimbau agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak usah terlalu melibatkan diri dalam urusan politik jelang Pilpres 2024. Jusuf Kalla menyatakan hal itu menjawab pertanyaan media di rumahnya di kawasan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (6/5/2023). JK menanggapi pertanyaan tidak diundangnya Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh oleh Jokowi dalam pertemuan enam ketua umum partai politik ke Istana beberapa waktu lalu.

“Menurut saya, Presiden seharusnya seperti Ibu Mega, SBY. Itu (ketika jabatan) akan berakhir, maka tidak terlalu jauh melibatkan diri dalam suka atau tidak suka dalam perpolitikan. Supaya lebih demokratis lah,” ujar Jusuf Kalla.

JK meminta agar Jokowi meniru presiden-presiden sebelumnya, yang mempersiapkan pemilu dengan baik untuk memilih presiden berikutnya, tanpa ada campur tangan terlalu jauh dalam urusan dukung-mendukung sosok yang diinginkan menjadi penggantinya.

Namun tak urung pernyataan JK ini kemudian memunculkan pro kontra. Pihak yang pro Jokowi membela dengan mengemukakan berbagai alasan pembenaran. Ketua DPP Gerindra, Ahmad Riza Patria misalnya meyakini Jokowi paham dengan porsi tugasnya sebagai politisi dan pejabat publik. Ia menilai sikap Jokowi selama ini tidak ikut campur atau mengintervensi partai politik.

Wakil Presiden RI ke-10 dan 12 Jusuf Kalla alias JK menilai Presiden Joko Widodo atau Jokowi seharusnya tidak terlibat lebih jauh dengan urusan Pemilihan Umum atau Pemilu 2024.(Liputan6.com/Faizal Fanani)


“Pak Jokowi kan bukan hanya politisi, melainkan pejabat publik (kepala negara). Saya memahami beliau mengerti tugas (presiden dan politisi) dan tidak mengintervensi partai politik manapun. Semua dimasukan untuk kepentingan bangsa dan negara,” ujar Riza usai acara Deklarasi Pasukan 08 pendukung Prabowo Subianto di kawasan Kuningan, Jakarta, Senin (8/5/).

Senada dengan Reza, Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto menilai tak ada yang salah ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang enam ketua umum partai politik ke Istana Merdeka. Menurutnya, pertemuan tersebut dalam rangka penguatan pemerintahan.

"Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi ini sebagai suatu proses dialog yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokratis, mengingat rakyat, lah, yang menjadi pemegang kedaulatan tertinggi," ujar Hasto di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Senin (8/5/).

Sementara Partai Keadilan Sejahtera atau PKS meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak ikut campur dalam pemilihan kandidat Capres dan Cawapres. Juru Bicara PKS Mardani Ali Sera yang menjelaskan pemilihan kandidat calon presiden dan calon wakil presiden adalah urusan masing-masing parpol

“Jokowi nggak usah ikut cawe-cawe pilpres, biar urusan parpol, biarkan masyarakat punya wewenang untuk memilih sendiri presidennya,”ujar Mardani.

Ketentuan Undang-Undang

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia sekaligus Wakil Ketua Bidang Kajian Hukum dan Perundang-undangan DPN Peradi, Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H. (Foto: istimewa)


Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai, dukungan yang diberikan Presiden Joko Widodo untuk kandidat bakal calon presiden (capres) Pemilu 2024 masih dalam batas wajar. Selama tak menggunakan alat atau infrastruktur negara, menurut Ujang, tak masalah Presiden melempar sinyal dukungan ke kandidat capres tertentu. Ukurannya, kata Ujang adalah aturan atau undang-undang yang mengatur hal itu.

“Kalau undang-undang dan konstitusi tidak dilanggar dan infrastruktur negara tidak digunakan, itu masih biasa. Tapi kalau sudah menggunakan infrastruktur negara, menggunakan fasilitas negara, itu baru tidak boleh, baru itu tidak etis, baru itu abuse of power,” Kata Ujang seperti dilansir Kompas.com, Senin (8/5/).

Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi & Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (PaKem) FH-UMI, Fahri Bachmid menilai, tidak ada salahnya presiden berkuasa dukung mendukung Capres. Sepanjang, dilakukan sebagai dukungan politik personal.

"Secara Konstitusional Presiden secara personal dapat memberikan dukungan politik pada Capres tertentu. Tetapi bukan Atribut Jabatan Kepresidenan," kata Fahri.

Fahri menambahkan, Ketentuan dalam pasal 6 dan 6A UUD 1945 tidak mengatur soal larangan tersebut. Termasuk, dalam perspektif Putusan MK berdasarkan Putusan Nomor 68/PUU-XX/2022, hanya mengatur serta mengkualifisir soal persyaratan bagi pejabat negara untuk mengundurkan diri ketika hendak mencalonkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden.

Pengamat Politik, Ujang Komarudin. (Dok. Ujang Komarudin)


Adapun dukungan bisa menjadi dilarang, kata Fahri berdasarkan UU No. 7/2017 Tentang Pemilihan Umum, khususnya ketentuan Pasal 547 yang mengatur bahwa "Setiap pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000."

Kemudian ketentuan norma Pasal 548 mengatur bahwa "Setiap orang yang menggunakan anggaran pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah (BUMD), Pemerintah Desa atau sebutan lain dan badan usaha milik desa untuk disumbangkan atau diberikan kepada pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak Rp1 miliar."

"Dengan demikian jika melihat konteks dukungan presiden dapat ditakar, apakah model dukungannya sebatas dalam kapasitas sebagai pribadi, atau dalam kedudukannya dalam jabatan sebagai kepala negara," ujarnya.

Maka, kata Fahri, bilamana apa yang disampaikan Jokowi ternyata sebagai dukungan dengan memakai atribut kepresidenan selaku kepala negara, maka hal itu bertentangan dengan etika dan hukum.

Masalahnya kemudian, siapa yang dapat menjadi penilai atau hakim yang memutuskan tindakan presiden itu sebagai sikap personal atau selaku kepala negara? Karena itu tindakan presiden harus dikontrol agar tidak melampaui batas yang telah digariskan undang-undang. Karena, ibarat wasit, presiden tidak bisa merangkap sebagai pemain yang ikut main di lapangan. Karena itu akan merusak permainan demokrasi yang telah kita pilih sebagai cara atau metode untuk memilih pemimpin negeri. (Aswan AS)

Tags Terkait

-

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic