ThePhrase.id – Cirebon dikenal dengan sentra batik di Trusmi, namun budaya membatik tak hanya ditemukan di daerah itu saja namun juga ditemukan di Desa Ciwaringin. Meski jarang dikenal oleh masyarakat luas, Batik Ciwaringin memiliki ciri khasnya sendiri yang mencerminkan identitas masyarakat setempat.
Identitas tersebut dapat dilihat dari motif batik yang mengungkapkan sistem nilai yang dianut oleh masyarakatnya. Selain itu, batik ini juga mempertahankan proses pembuatan yang ramah lingkungan dengan menggunakan warna alami.
Pada zaman dahulu, mata pencarian masyarakat Ciwaringin adalah bertani karena memiliki tanah yang sangat subur. Namun, pada era penjajahan kolonial Belanda, masyarakat setempat menghadapi kesulitan. Dari situlah membatik menjadi salah satu cara untuk menyelamatkan masyarakat dari kesulitan yang dihadapi.
Menurut beberapa sumber, membatik di Desa Ciwaringin dikenalkan oleh para ulama dan santri dari Pondok Pesantren yang didirikan oleh Pangeran dari Keraton Kanoman di Babakan Ciwaringin. Di pesantren tersebut para santri diajarkan membatik yang kemudian disebarkan ke masyarakat setempat hingga membentuk kebiasaan membatik yang tumbuh pesat di Ciwaringin.
Perjuangan para santri ini diabadikan melalui motif Pecutan, Tebu Sekeret, dan Ganepo yang juga mencerminkan sistem nilai yang erat kaitannya dengan Islam sebagai agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat Ciwaringin.
Selain itu, terdapat juga motif-motif yang menggambarkan kearifan lokal desa-desa yang terdapat di Ciwaringin, seperti motif Ikan Cupang, Raga Sawangan, dan Desa Ciwarangin. Motif-motif tersebut menggambarkan kesuburan daerah Ciwaringin hingga kebiasaan penduduk yang taat menjalankan agama.
Ada juga motif yang mengombinasi pola motif yang sudah ada seperti pola Laseman pada batik Motif Gribigan, Pangkaan Kawung, Motif Pangkaan Dlorong, dan Motif Goang Bukaten.
Tak hanya itu saja, masih banyak motif Batik Ciwaringin yang dapat ditemukan. Meski memiliki banyak variasi motif, ciri khas dari batik ini adalah motif yang berkaitan dengan alam, flora dan beberapa fauna namun cenderung menghindari gambar-gambar yang bersifat makhluk hidup dan bernyawa seperti binatang yang digambar secara utuh. Hal ini berkaitan dengan keyakinan Islam yang dianut oleh masyarakat Ciwaringin di mana melukis benda-benda bernyawa secara utuh atau menyerupai bentuk aslinya akan menimbulkan kemusyrikan.
Selain motifnya yang menggambarkan sejarah dan kearifan lokal keunikan batik ini juga terletak pada penggunaan pewarna alami, yang berasal dari pohon mahoni, pohon mangga, kulit jengkol, hingga kulit buah rambutan.
Penggunaan warna alami ini tidak hanya menjaga keaslian batik tetapi juga memberikan sentuhan khas yang tidak bisa ditiru oleh pewarna kimia. Selain itu, pewarna alami juga lebih ramah lingkungan dan tidak menimbulkan limbah yang berbahaya. Berbeda dari proses membatik menggunakan pewarna kimia, penggunaan pewarna alami memakan lebih banyak waktu karena perlu difermentasi terlebih dahulu. [Syifaa]