regionalBatik

Mengenal Batik Nitik Warisan Budaya Asal Bantul

Penulis Ashila Syifaa
Apr 29, 2024
Batik Nitik. (Foto: bantulkab.go.id)
Batik Nitik. (Foto: bantulkab.go.id)

ThePhrase.id - Batik sebagai warisan budaya yang berharga dari Indonesia, memiliki beragam motif yang unik dengan teknik pembuatan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah Batik Nitik asal Kabupaten Bantul, Yogyakarta. 

Batik Nitik adalah perpaduan yang mempesona antara keahlian tangan dan estetika yang mengagumkan, mencerminkan kekayaan budaya Indonesia yang mendalam. Batik ini merupakan salah satu motif batik khas Yogyakarta yang tertua di lingkungan Kraton dan berkembang luas hingga ke masyarakat. 

Batik Nitik memiliki ciri khas motif yang terlihat seperti titik-titik, tetapi sebenarnya Batik Nitik merujuk pada keseluruhan proses pembuatan batik tersebut.

"Nitik" berasal dari bahasa Jawa yang berarti "memberi titik" (atau nitik), dan ini terkait erat dengan istilah "Batik" yang diyakini oleh para ahli berasal dari bahasa Jawa "ngembat titik" yang berarti membuat titik.

Berbeda dari motif batik lainnya, Batik Nitik ini adalah batik yang dibuat dengan menyusun ribuan titik-titik persegi membentuk ruang, sudut, dan bidang geometris. 

Batik Nitik memerlukan penggunaan canting khusus yang dibuat dengan membagi lubang canting ke dua arah tegak lurus, sehingga saat diterapkan ke kain akan membentuk kotak atau persegi. Canting ini disebut canting cawang atau canting kembang, berbeda dengan canting biasa yang memiliki ujung bulat. 

Pembuatan motif ini juga melibatkan penciptaan pola berbentuk kotak-kotak dengan ukuran sekitar 5x5 cm hingga 7x7 cm yang kemudian digabung menjadi satu motif utuh untuk diulang di seluruh kain. Tak selalu berbentuk persegi panjang dan bujur sangkar, beberapa hiasan juga digunakan seperti cecek (cecek pitu dan cecek telu) yang dikombinasi dengan ornamen klowong dan tembokan.

Proses pewarnaan dimulai dengan warna biru atau medel, diikuti dengan proses penyikatan atau pengikisan lilin pada bagian-bagian yang akan diwarnai dengan soga, seperti cecek dan klowong. Bagian cecek yang tidak akan diwarnai dengan soga harus ditutup dengan lilin agar tetap terlihat putih setelah disikat. Setelah penyikatan, lilin kemudian dihilangkan untuk menghasilkan motif akhir. Batik ini juga dikenal dengan motif yang cenderung rumit dan dibuat di kedua sisi kain.

Meskipun secara harfiah kegiatan membatik melibatkan penggunaan lilin dengan canting untuk membuat motif yang dapat berbentuk apa pun, istilah "nitik-nitik" ini menunjukkan adanya hubungan sejarah.

Hubungan tersebut adalah bahwa motif nitik sebenarnya berasal dari adaptasi pola anyaman kain tenun Patola dari India (yang dikenal dengan sebutan "kain Cinde") yang pada akhir abad ke-18 penjualannya mengalami penurunan. Padahal, kain ini sebelumnya menjadi sangat populer di Nusantara.

Perempuan Jawa berperan penting dalam memulai pembuatan batik dengan motif Patola. Kain Patola yang diimpor sejak abad ke-17 dimonopoli oleh pemerintah kolonial Belanda, sehingga harganya sangat tinggi. 

Masyarakat memilih batik karena harganya lebih terjangkau, sehingga hal ini mengarah pada meningkatnya popularitas batik di Jawa dan Sumatera pada akhir abad ke-19. 

Dengan demikian, pembuatan Batik Nitik, meskipun mengadaptasi motif Patola, menjadi salah satu faktor yang membantu mengurangi dominasi kain impor India dan mempromosikan kemandirian dalam produksi kain di Nusantara. Sehingga, batik menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan Belanda, menjadi milik pribumi dan dianggap sebagai usaha kaum pemberontak.

Ketika motif Batik Nitik menyebar ke daerah pedalaman dan bahkan ke lingkungan kraton Yogyakarta, warnanya diadaptasi sesuai dengan karakteristik batik daerah tersebut. 

Pada tahun 1950, GBRY Brongtodiningrat mengumpulkan sebanyak 56 motif nitik. Pengembangan motif nitik terus berlanjut dengan inspirasi yang bersumber dari selera, lingkungan, dan pengetahuan pembuatnya (pembatik). 

Batik Nitik memegang peran penting dalam masyarakat DI Yogyakarta. Secara ekonomi, Batik Nitik diproduksi secara luas oleh masyarakat melalui kerja kelompok. Paguyuban Sekar Nitik di Kembangsongo, Jetis Bantul, misalnya, memberikan kesempatan kepada ibu-ibu untuk meningkatkan perekonomian keluarga mereka. [Syifaa]

Tags Terkait

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic