lifestyleHealth

Mengenal Male Loneliness Epidemic, Kesepian Pria di Balik Normalitas Stoik

Penulis Ashila Syifaa
Nov 02, 2025
Ilustrasi male loneliness epidemic. (Foto: Freepik.com)
Ilustrasi male loneliness epidemic. (Foto: Freepik.com)

ThePhrase.idPernah mendengar istilah male loneliness epidemic? Istilah ini belakangan sering muncul di media sosial seperti TikTok. Beberapa menjelaskan bahwa saat ini semakin banyak laki-laki yang merasa kesepian dibandingkan perempuan, dan fenomena ini disebut sebagai male loneliness epidemic. Namun, apa sebenarnya male loneliness epidemic itu, dan apakah fenomena ini benar-benar nyata?

Secara harfiah, male loneliness epidemic berarti epidemi kesepian pada laki-laki. Istilah ini merujuk pada fenomena meningkatnya tingkat kesepian yang dialami pria, khususnya di era modern. Namun, istilah ini menimbulkan perdebatan di media sosial, di mana ada pria yang menyalahkan perempuan karena tidak ingin menjalin hubungan serius dengan mereka, sementara ada juga perempuan yang memilih mundur dari hubungan karena merasa kurang puas dengan hubungan yang dijalani bersama pria.

Meskipun rasa kesepian bukanlah hal yang berdasarkan gender, sebuah survei Pew Research menunjukkan bahwa sekitar 16 persen pria mengaku merasa kesepian. Dalam sebuah video TikTok milik @curntymama42069 yang viral dengan 9,1 juta penonton dan 1,9 juta likes, dijelaskan bahwa fenomena male loneliness epidemic ini nyata. Video tersebut mengkritik bahwa banyak pria zaman sekarang yang tidak tahu cara berkencan dan kurang menghargai perempuan secara layak.

Menurut Psychology Today, penyebab male loneliness epidemic antara lain pertemanan pria yang lebih jarang dibanding perempuan. Selain itu, pria seringkali didorong untuk menjadi stoik dan menahan emosi, sehingga sulit bagi mereka untuk mengekspresikan perasaan secara mendalam, termasuk kepada pasangan. Hal tersebut membuat pria cenderung lebih tertutup dan kesulitan mempertahankan hubungan emosional yang sehat.

Namun, munculnya fenomena ini juga seringkali disalahkan pada perempuan dengan alasan seperti "perempuan sekarang terlalu mandiri" atau "terlalu pilih-pilih". Padahal, kenyataannya pria justru lebih banyak mengalami kesulitan dalam keterampilan komunikasi untuk membangun koneksi yang berarti.

Perlu digarisbawahi bahwa kesepian bukan hanya masalah pria, melainkan kondisi yang bisa dialami siapa saja, baik pria maupun perempuan. Namun, cara kesepian tersebut dirasakan dan dihadapi bisa berbeda. Pada pria, kesepian seringkali dipicu oleh tekanan sosial agar selalu kuat dan enggan menunjukkan kerentanan secara emosional. Sebaliknya, perempuan mungkin lebih mudah berbagi perasaan dan mencari dukungan, walau bukan berarti mereka tidak mengalami kesepian yang mendalam.

Cara menghadapi kesepian pun berbeda antara pria dan perempuan. Pria biasanya perlu didorong untuk membuka diri secara emosional dan membangun jejaring sosial yang kuat agar tidak merasa terisolasi. Sedangkan perempuan, walaupun lebih terbuka dalam berbagi, juga membutuhkan pemahaman dan dukungan untuk mengatasi perasaan kesepian yang muncul dari tekanan hidup atau dinamika hubungan.

Penting untuk dipahami bahwa kesepian bukanlah kegagalan salah satu gender terhadap yang lain, melainkan kondisi manusia yang perlu ditangani dengan empati dan dukungan tepat bagi siapa pun yang mengalaminya. Dengan pendekatan ini, perdebatan yang hanya menyalahkan satu pihak tidak akan membawa solusi yang konstruktif. Sebaliknya, fokus pada peningkatan kemampuan komunikasi dan membangun hubungan yang sehat akan lebih bermanfaat bagi semua yang merasakan kesepian, baik pria maupun perempuan. (Syifa) 

Artikel Pilihan ThePhrase

- Advertisement -
 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic