ThePhrase.id - Pemerintahan Prabowo-Gibran memilih jalan mudah untuk menaikkan pendapatan negara, yakni memberlakukan Pajak Penambahan Nilai atau PPN 12 persen pada tanggal 1 Januari 2025 mendatang. Jalan mudah yang akan mendatangkan banyak kesulitan karena efek dominonya yang akan membuat masyarakat kecil dan pelaku UMKM kian terdesak dengan beban biaya yang makin mencekik. Dengan jalan menaikkan PPN 12 persen ini pemerintah akan memperoleh pendapatan Rp78,76 triliun atau hanya sekitar 2,62 persen dari postur anggaran pendapatan APBN 2025 sebesar Rp3.005,12 triliun.
Padahal ada jalan lain yang angkanya lebih dahsyat dari PPN 12 persen, karena potensinya lebih dari 1.000 triliun atau 40 persen dari APBN, yakni mengambil kekayaan negara yang ada di tangan dan kantong para koruptor melalui pemberlakukan Undang-Undang Perampasan Aset. Namun tampaknya jalan ini masih dihindari dan belum menjadi prioritas. Ada kendala besar untuk menjalaninya sehingga perlu mengulur waktu, untuk kalkulasi resiko karena jalan ini adalah jalan terjal lagi mendaki.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan pemerintah akan tetap menerapkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% pada Januari 2025. Sebuah kebijakan yang sudah diatur dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 yang disusun pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
"Sudah ada UU, nya kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan," tegas Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi XI DPR. Senin (25/11/2024).
Sontak, penegasan Sri Mulyani ini langsung disambut dunia usaha dan masyarakat berpenghasilan rendah dengan menolak kebijakan itu. Pemerintah dianggap menerapkan kebijakan yang tidak tepat di tengah dunia usaha yang masih berusaha bangkit pasca Covid 19 dan daya beli masyarakat yang masih rendah.
"Dampaknya besar sekali. Karena kenaikan 1% itu akan dirasakan oleh konsumen. Apalagi FMCG (fast moving consumer goods) pangan itu price sensitive," kata Adhi S Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Senin (25/11/2024).
"Bagi produsen, kenaikan PPN ini akan mengganggu cashflow perusahaan. Karena perusahaan kan harus membeli bahan baku, yang dikenakan PPN juga. Yang tadinya 11% jadi 12%. Artinya ini menambah beban di seluruh rantai nilai di tengah kesulitan cashflow yang sedang dialami sektor manufaktur kita," kata Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Senin (25/11/2024).
Redma juga mengingatkan, kebijakan PPN 12% di tahun 2025 berpotensi jadi bumerang bagi pemerintah. Karena, pada ujungnya, kenaikan PPN ini justru akan menggerus penerimaan negara.
Sementara Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menilai kebijakan ini berpotensi mengancam pemulihan sektor hotel dan restoran yang masih berjuang pasca pandemi Covid-19.
"Kami di sektor pariwisata itu sangat membutuhkan daya beli masyarakat yang terjaga dengan baik. Yang paling utama kita khawatirkan adalah daya belinya itu sendiri. Jadi kalau daya belinya terus menurun, tentu demand daripada hotel dan restoran itu otomatis akan terpukul nantinya. Karena kenaikan 1 poin itu dampaknya langsung ke masyarakat," kata Yusran, Senin (25/11/2024).
Selain pengusaha, kelompok buruh juga bereaksi dengan mengancam menggelar aksi mogok kerja nasional jika pemerintah tetap menaikkan PPN menjadi 12%. Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal dalam keterangannya menegaskan aksi mogok kerja akan dilakukan selama dua hari. Menurutnya upaya pemerintah meningkatkan rasio pajak seharusnya tidak dilakukan dengan membebani rakyat kecil. Kebijakan itu akan mengancam keberlangsungan bisnis yang akan meningkatkan potensi PHK di berbagai sektor.
"Lesunya daya beli ini juga akan memperburuk kondisi pasar, mengancam keberlangsungan bisnis, dan meningkatkan potensi PHK di berbagai sektor," ungkap Said Iqbal.
Sebelum ini, dengan PPN 11 persen saja, sudah banyak perusahaan garmen dan tekstil yang bangkrut dengan ribuan pekerja yang di PHK akibat kebijakan impor yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Termasuk raksasa tekstil PT. Sritek yang sedang gonjang-ganjing setelah diputuskan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang.
Gelombang PHK juga terus terjadi karena sejumlah perusahaan walaralaba menutup gerainya karena penjualan yang terus menurun, menyusul gelombang sebelumnya karena deretan ritel modern yang sudah tutup lebih dulu. Demikian juga pelaku Usaha Kecil Menengah banyak yang memilih menutup usahanya karena tak kuat menanggung beban biaya, seperti kasus UD Pramono, pengepul susu peternak di Boyolali yang memilih menutup usahanya karena tak kuat dikejar pajak.
Keputusan pemerintah menaikkan PPN 12 persen ini seperti menangguk ikan di dalam empang setelah gagal menangkap kakap dan paus yang berenang di lautan. Menjaring pajak di masyarakat kecil karena tak mampu mengejar pajak korporasi besar.
Ada opsi lain yang bisa ditempuh pemerintah untuk tetap membuat APBN 2025 lebih sehat, selain memberlakukan PPN 12 persen, yakni menarik uang negara yang ada di kantong para koruptor. Caranya dengan memperlakukan Undang-Undang Perampasan Asset yang sudah disusun sejak 2008 lalu namun masih mengendap di laci DPR. Padahal dengan opsi ini, pemerintah langsung mendapat dua keuntungan sekaligus, yakni mendapatkan pemasukan dengan kembalinya uang-uang negara yang dikentit dan membuat jera bagi mereka yang berniat korupsi atau mengulang perbuatannya. Cara ini juga dinilai dapat mempercepat pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang ditetapkan pemerintahan Prabowo.
Merajalelanya korupsi ini membuat APBN tak sehat dengan kebocoran hingga 40 persen. “Bayangkan, mencapai 20%-40% APBN bocor. Berapa triliun kah itu?,” kata Anggota DPR RI, Benny K Harman, dalam akun X, Jumat, (8/11/2024).
Bila APBN 2024 sebesar Rp3.325,1 triliun, maka 40 persennya adalah Rp1,330 triliun lebih yang sekarang mengendap di kantong-kantong para koruptor yang menggasak uang negara dengan bebagai cara. Maka mengambil kembali uang negara itu melalui pemberlakukan Undang-Undang Perampasan Aset adalah cara jitu dan strategis untuk membuat APBN 2025 sehat walafiat dan sejahtera.
Sayangnya, opsi ini tampaknya belum menjadi opsi utama karena ternyata RUU Perampasan Aset, tidak masuk dalam daftar program legislasi nasional atau Prolegnas Prioritas 2025. RUU tersebut masuk ke dalam Prolegnas jangka menengah 2025-2029 DPR.
Rapat Paripurna DPR RI Ke-8, Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025 di Jakarta pada Selasa, 19 November 2024, menyetujui 176 RUU masuk Prolegnas Tahun 2025-2029 dan 41 RUU masuk Prolegnas Prioritas 2025.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Bob Hasan mengatakan pertimbangan legislator belum memasukkan RUU Perampasan Aset ke dalam Prolegnas Prioritas 2025 karena materinya masih perlu dikaji atau didalami.
“Jadi masuk pertimbangan long list yang diajukan oleh pemerintah itu mungkin masih perlu membahas muatan materi yang menjadi draft. Karena perampasan aset itu bukan an sich sebagai di bidang korupsi, itu pidana yang dicampur sama perdata," kata Bob di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 19 November 2024.
Sementara Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas berdalih tidak masuknya RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas prirotas karena pihaknya sedang mengupayakan dialog dengan DPR untuk memuluskan pembahasan RUU tersebut.
“Sekarang kami lagi melakukan upaya dialog bersama dengan parlemen, dengan ketua-ketua umum partai politik, supaya begitu Presiden Prabowo Subianto akan mengirim surpres (surat presiden) untuk masuk di dalam prolegnas yang akan datang, memastikan bahwa itu akan dijamin dibahas di parlemen,” kata Supratman di kantornya pada Rabu, 20 November 2024.
Pengamat hukum dan pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho menilai tidak masuknya RUU Perampasan Aset ke dalam Prolegnas Prioritas 2025, menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dan tidak seriusnya DPR memberantas korupsi. Padahal RUU itu adalah instrumen penting untuk mengembalikan kerugian negara akibat korupsi dan tindak kejahatan ekonomi lainnya.
“Tanpa adanya regulasi ini, aset-aset yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat akan terus terhenti di tangan para pelaku kejahatan,” ujar Hardjuno dalam keterangan di Jakarta pada Jumat, 22 November 2024.
Hardjuno justru menyoroti langkah DPR memasukkan RUU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty ke dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025. Dia berpendapat keputusan itu janggal, karena RUU tersebut secara mendadak masuk dalam daftar panjang usulan Baleg DPR.
“Langkah ini menuai pertanyaan mengapa kebijakan yang berpotensi membebaskan pelanggar pajak dari tanggung jawab masa lalu menjadi prioritas, sementara RUU Perampasan Aset, yang memiliki dampak besar dalam pemberantasan korupsi, justru diabaikan,” tuturnya.
Penundaan pengesahan RUU Perampasan Asset ini memunculkan pertanyaan, apakah ini taktik mengulur waktu memberi kesempatan kepada koruptor memindahkan atau menyembunyikan asetnya? Sebab, jika UU Perampasan Aset berlaku maka akan banyak orang kaya yang miskin mendadak. Karenanya perlu diulur untuk memberi waktu kepada para koruptor untuk menyembunyikan hartanya sebelum undang-undang itu berlaku. Apalagi kalau koruptor itu ada di lingkungan sendiri, seperti teman, saudara atau keluarga.
Kalau benar itu yang terjadi, maka berarti kita akan kembali menelan janji pemberantasan korupsi yang kemarin menggelegar seperti suara geledek di pagi hari, tapi hujannya tak pernah turun ke bumi. (Aswan AS)