ThePhrase.id - Polemik soal hak cipta musik kembali mencuat. Kali ini, sorotan tertuju pada gerai Mie Gacoan di Bali yang diduga melakukan pelanggaran hak cipta.
Direktur PT Mitra Bali Sukses, pemegang lisensi waralaba Mie Gacoan, I Gusti Ayu Sasih Ira, telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta. Ia diduga memutar lagu di gerai tanpa izin dari pemilik hak cipta dan tanpa membayar royalti sejak 2022.
Kasus ini dinilai sebagai pelanggaran terhadap hak ekonomi pencipta lagu, terutama terkait performing rights, yakni hak untuk mempertunjukkan atau memperdengarkan karya secara publik, baik di restoran, kafe, hotel, pusat perbelanjaan, maupun tempat umum lainnya.
Lantas, bagaimana aturan royalti performing rights di Indonesia?
Melansir detik.com, secara umum, distribusi royalti performing rights terbagi dalam tiga kategori:
Dalam konteks kasus ini, Mie Gacoan diduga melanggar kategori non-digital, dengan tidak membayar royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) atau Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) selaku pengelola hak cipta musik.
Melansir kompas.com, kewajiban pembayaran royalti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. PP ini mewajibkan setiap pihak yang memanfaatkan lagu secara komersial untuk:
Berikut daftar tarif lisensi resmi berdasarkan kategori usaha:
Dalam kasus Mie Gacoan yang dikategorikan sebagai restoran atau kafe, perhitungan royalti dilakukan dengan rumus: Jumlah kursi x Rp 120.000 x 1 tahun x jumlah outlet. [nadira]