regionalBatik

Motif Batik Larang, Batik yang Terikat Aturan Tertentu di Keraton Yogyakarta

Penulis Ashila Syifaa
Nov 18, 2024
Macam-macam motif Parang. Foto: kratonjogja.id
Macam-macam motif Parang. Foto: kratonjogja.id

ThePhrase.id - Batik yang menjadi warisan budaya Indonesia memiliki beragam motif dari yang kuno hingga modern. Namun, dalam tradisi Jawa, beberapa motif batik memiliki aturan yang tak boleh gunakan sembarangan, terutama di lingkungan keraton Yogyakarta terdapat motif batik larangan yang terkait dengan turan tertentu.

Batik larangan Keraton Yogyakarta juga disebut sebagai Awisan Dalam yang merupakan motif batik yang berkaitan dengan aturan-aturan tertentu dari Keraton Yogyakarta dan tidak semua orang boleh menggunakannya.

Bagi Keraton Yogyakarta, motif-motif batik tersebut memiliki kekuatan spiritual dan makna filsafat di dalamnya. Sehingga membatasi penggunaan batik tersebut dan termasuk dalam batik larangan.

Selain itu, batik larangan juga dipercaya mampu menciptakan suasana yang religius serta memancarkan aura magis sesuai dengan makna yang ada di dalam goresan motif batik larangan. 

Motif-motif batik yang termasuk dalam motif batik larangan ditentukan oleh setiap sultan yang memiliki kewenangan.

Terdapat beberapa motif yang termasuk dalam batik larangan di keraton Yogyakarta antara lain Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan Huk.

Motif Parang Rusak merupakan salah satu motif yang pertama kali ditetapkan sebagai motif larangan oleh Sri Sultan Maengku Buwono I pada tahun 1785. Sedangkan motif larangan Huk dan Kawung ditetapkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada masa pemerintahannya.

Berikut motif batik larangan dan aturan khusus:

1. Motif Huk

Motif Huk terdiri dari kerang, binatang, tumbuhan, cakra, burung, sayap (sawat), dan garuda. Setiap elemen memiliki makna filosofis, seperti kerang yang melambangkan kelapangan hati dan tumbuhan yang menggambarkan kemakmuran. Motif ini mencerminkan pemimpin yang berwibawa, cerdas, dan tabah. Dalam Keraton Yogyakarta Motif Huk hanya digunakan untuk raja dan putra mahkota.

2. Motif Kawung

Motif ini berupa pola geometris empat elips yang mengelilingi satu pusat, dikenal dalam budaya Jawa sebagai "keblat papat lima pancer," melambangkan kesucian dan manfaat bagi lingkungan.  Motif ini digunakan oleh para sentana dalem atau keluarga dekat raja.

3. Motif Parang

Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921–1939), motif parang dan variasinya ditetapkan sebagai batik larangan di Keraton Yogyakarta. Ketentuan ini tercantum dalam “Rijksblad van Djokjakarta” tahun 1927, yang mengatur penggunaannya dalam busana kerajaan. Dengan adanya atauran penggunaannya, Motif Parang mencerminkan hierarki dan nilai tradisional yang dijunjung tinggi di lingkungan keraton.

4. Motif Semen 

Bermakna “semi” atau “tumbuh,” motif ini melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Motif ini sering dihiasi dengan gambar gunung, garuda, dan naga.  Motif ini digunakan oleh keturunan sultan, penghulu, dan pejabat keraton tertentu.  Selain itu, Motif Semen memiliki pola sederhana tanpa ornamen tambahan dapat dikenakan siapa saja. 

5. Motif Cemukiran

Berbentuk lidah api atau sinar, motif ini melambangkan keberanian, kesaktian, dan wahyu yang harus dimiliki seorang raja dan hanya digunakan untuk raja dan putra mahkota. 

6. Motif Udan Liris

Motif ini menggambarkan hujan gerimis yang membawa kesuburan dan harapan. Terdiri dari berbagai pola seperti lidah api, kawung, dan tritis yang diatur diagonal. Motif ini digunakan oleh putra garwa ampeyan, cucu, dan keturunan lain raja. [Syifaa]

 

Tags Terkait

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic