ThePhrase.id – Nasaruddin Umar dan Alissa Wahid dianugerahi Soetandyo Award 2021 yang digelar bersamaan dengan Dies Natalis FISIP Unair yang ke-44 tahun pada Selasa (14/12).
Penghargaan yang telah tujuh tahun diselenggarakan kali ini terasa istimewa karena untuk pertama kalinya FISIP Universitas Airlangga (Unair) menganugerahkan penghargaan kepada dua tokoh sekaligus.
Penghargaan Soetandyo Award sendiri digelar dengan inspirasi dari sosok Prof. Soetandyo Wignyosoebroto, pendiri FISIP Unair.
Dekan FISIP Unair Prof Bagong Suyanto mengungkap bahwa penghargaan ini memiliki tujuan untuk memberi penghargaan terhadap tokoh-tokoh yang berdedikasi dalam mengembangkan ilmu-ilmu sosial dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan mendorong lahirnya tokoh-tokoh muda yang memiliki concern dan kemampuan mengembangkan spirit Soetandyo di bidang ilmu sosial dan HAM.
“Waktu mendirikan FISIP, prinsipnya Prof Soetandyo masing-masing departemen tidak boleh berdiri sendiri-sendiri. Masing masing departemen bisa belajar ilmu lain, saling menyapa, dan menjadi seorang yang generalis. Makanya ada tokoh-tokoh yang kita pilih dan kita apresiasi untuk mendapat Soetandyo Award,” jelas Prof Bagong.
Perwakilan dari tim dewan juri Soetandyo Award 2021 (Foto: istimewa)
Perwakilan dari tim dewan juri, Gitadi Tegas Supramudyo menjelaskan bahwa terdapat berbagai tahapan penilaian sebelum akhirnya ditentukan dua nama penerima award ini.
“Ketika kami berdialog dengan Prof Nasar, beliau menyampaikan ‘kalau ada kandidat yang lebih bagus dari saya, monggo silahkan’. Nah, kesederhaan dan kerendahatian beliau ini yang menjadi salah satu poin yang akhirnya menentukan. Termasuk dengan Mbak Alissa Wahid,” ucap Gitadi.
Prof. K.H. Nasaruddin Umar
Kesederhanaan, kerendahan hati, serta perhatian besar terhadap HAM dan kesetaraan gender menjadi poin yang membawa Imam Besar Masjid Istiqlal ini dianugerahi penghargaan Soetandyo Award.
Nasarudin yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Agama 2011-2014 ini memandang Soetandyo Award sebagai amanah dan siap award tersebut dicabut darinya apabila ia melakukan kesalahan di masa depan.
Terima Soetandyo Award, Nasarudin Umar Serukan Penghargaan Tinggi bagi Makhluk Hidup (Foto: istimewa)
“Saya bukan manusia sempurna. Saya anak seorang desa terpencil yang bahkan kalau ke kecamatan harus melewati gunung dan danau di Sulawesi sana. Saya tak punya apa-apa selain membawa prinsip hadits Nabi dan Al-Qur’an yang mengajarkan rasa cinta pada makhluk hidup,” ungkap sosok yang pernah mengenyam pendidikan di 6 universitas luar negeri mulai dari Leiden University Belanda, George Town University AS, hingga Paris University Prancis itu.
Nasarudin menyebut bahwa ia lebih memahami hakikat manusia dan makhluk hidup melalui hadits dan Al-Quran. Hal ini juga menginspirasinya menulis disertasi berjudul ‘Perspektif Gender dalam Islam’. Menurutnya, Islam adalah agama yang mengajarkan persaudaraan antar anak cucu Adam, terlepas apapun gender, latar belakang, maupun agama mereka.
“Penghargaan HAM dan penghormatan terhadap agama lain begitu tinggi di Islam. Saya juga mengembangkan pikiran baru untuk berbagi kesetaraan tidak hanya berhenti pada mikrokosmos, tapi juga makrokosmos,” ucap Guru Besar Bidang Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.
Nasarudin yang juga merupakan pendiri Organisasi Masyarakat Dialog antar Umat Beragama tersebut meyakini penghormatan makhluk hidup tidak hanya terbatas pada manusia, akan tetapi juga hewan, alam, dan tumbuhan.
Dengan prinsip ini, Nasarudin mengembalikan uang penghargaan Soetandyo Award kepada Unair untuk menghidupkan taman di sekitar Unair.
“Izinkan saya, penghargaan dalam bentuk uang akan saya kembalikan ke UNAIR untuk menghidupkan taman-taman di sekitar kampus kita,” serunya di akhir pidato penghargaan tersebut.
Itikad baik ini juga merupakan juga menggambarkan alasan penganugerahan Nasarudin yang kekeuh membela kaum minoritas terhadap akses dan agama, penghargaan sesama, dan upaya penjagaan harmoni lintas agama.
Alissa Wahid
Alissa Wahid yang juga merupakan Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian bertahun-tahun telah malang-melintang memperjuangkan multikulturalisme, HAM, serta hak-hak bagi kaum minoritas. Menurutnya, penghargaan ini mampu membawa makna tersendiri bagi seorang Alissa Wahid.
“Anugerah ini saya terima sebagai amanah dan refleksi diri. Saya masih seorang murid yang mencoba meneladani sosok Soetandyo. Hari ini saya diingatkan Prof. Tandyo dan UNAIR untuk meneguhkan tekad, kemana akan saya arahkan energi, pikiran, waktu, dan uang saya bagi perjuangan yang lebih besar,” tuturnya di Aula Garuda Mukti Kantor Manajemen UNAIR, Kampus C.
Pejuang Kaum Minoritas Alissa Wahid Dapat Anugerah Soetandyo Award (Foto: istimewa)
Alissa menceritakan bahwa sejak sang Ayahanda, Abdurrahman Wahid, menjabat sebagai presiden, ia sulit tampil di ruang publik demi menjaga privasi. Namun, begitu banyak kaum minoritas yang datang kepadanya dan keluarga seusai wafatnya sang Ayahanda.
“Mereka datang ke kami dan bertanya, siapa yang akan membela mereka setelah Gus Dur wafat? Hal tersebut mendorong kami berpikir untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan Gus Dur,” cerita Sekretaris Jenderal Gerakan Suluh Kebangsaan ini.
Momen tersebut kemudian membawa Alissa untuk berjuang dari desa ke desa mengusahakan hak-hak kaum marginal dan menjahit jaringan murid-murid Gus Dur yang tersebar di berbagai daerah.
“Saat itu saya bukan siapa-siapa. Punya uang tidak, dikenal tidak, sumber daya tidak ada. Saya hanya membawa semangat yang sudah diperjuangkan ayah, kakek, hingga buyut saya,” kenang Alissa.
Alissa juga bercerita bagaimana ia seringkali harus berhadapan dengan pemerintahan saat mendampingi kelompok minoritas. Keislamannya pun seringkali dipertanyakan saat memperjuangkan hak-hak kebebasan beragama bagi kalangan minoritas. Ia tidak mengelak merasa takut akan itu semua, namun petuah dari Gus Dur selalu menjadi prinsipnya dalam bertindak.
“Dalam hidup nyata dan perjuangan tidak mudah. Kita bukan tokoh dongeng dan mitos yang gagah berani dan penuh sifat kepahlawanan. Meski takut kita jalan terus, berani melompati pagar batas ketakutan tadi. Mungkin di situ harga kita ditetapkan,” ujarnya mengutip nasihat dari Gus Dur.
Melalui Soetandyo Award yang diberikan FISIP UNAIR ini, Alissa memastikan komitmennya untuk terus belajar dan mengamalkan karakter yang telah diajarkan baik oleh Gus Dur maupun Prof. Soetandyo.
“Mereka adalah sosok principle center leader yang menempatkan prinsip sebagai poros hidupnya. Untuk itu, saya berterima kasih atas penghargaan ini dan berusaha melanjutkan perjuangan Prof. Soetandyo akan nilai-nilai HAM dan inklusivitas,” tutupnya. [fa]