ThePhrase.id - Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Listyo Sigit Prabowo telah menerbitkan Peraturan Kapolri (Perkap) No. 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Kepolisian Negara RI.
Perkap yang diteken oleh Listyo pada 29 September 2025 itu, memberikan kewenangan kepada polisi dalam penggunaan senjata api untuk menindak perbuatan yang dianggap melanggar hukum, dalam hal ini melakukan penyerangan terhadap kepolisian.
Aksi penyerangan terhadap kepolisian yang dimaksud meliputi penyerangan atau perusakan terhadap markas kepolisian, ksatrian, asrama/rumah dinas Polri, satuan pendidikan, hingga rumah sakit/klinik/fasilitas kesehatan Polri.
Selain itu, anggota kepolisian juga diberi kewenangan untuk menindak seperti upaya paksa atau tindakan lain untuk mencegah, menghambat atau menghentikan pelaku penyerangan yang mengancam keselamatan atau membahayakan jiwa, harta maupun kehormatannya.
Berdasarkan Perkap yang berisi 18 pasal itu, langkah-langkah yang bisa diambil oleh kepolisian antara lain memberikan peringatan, penangkapan, pemeriksaan/penggeledahan, pengamanan barang/benda yang digunakan untuk menyerang, serta penggunaan senjata api secara tegas dan terukur.
Kabag Penum Divhumas Polri, Kombes Erdi A. Chaniago, mengatakan Perkap ini diterbitkan untuk menjadi pedoman bagi anggota kepolisian dalam mengambil tindakan ketika menghadapi penyerangan.
"Perkap Kapolri Nomor 4 Tahun 2025 ini disusun untuk memberikan pedoman jelas bagi anggota Polri ketika menghadapi aksi penyerangan. Jadi bukan sekadar merespons satu kejadian, melainkan upaya antisipasi agar tindakan kepolisian di lapangan selalu tegas, terukur, dan sesuai ketentuan hukum," kata Erdi dalam keterangannya, Rabu (1/10).
Menurut Erdi, keselamatan jiwa personel dan masyarakat menjadi prioritas utama ketika berada dalam situasi penyerangan.
"Dengan adanya peraturan ini, anggota memiliki dasar yang kuat untuk bertindak, mulai dari pemberian peringatan, penangkapan, hingga penggunaan senjata api secara proporsional," ungkapnya.
Lahirnya Perkap tersebut mendapat banyak kritikan dari masyarakat, karena dianggap akan menjadi legitimasi oleh pihak kepolisian untuk menembak sesorang yang dianggap perusuh.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat, bahwa pelegalan penggunaan senjata api bagi anggota kepolisian yang diatur melalui Perkap, dinilai sudah melampaui kewenangan yang diatur dalam peradilan pidana.
Fickar menilai, Perkap tersebut sudah batal demi hukum lantaran berlawanan peraturan yang ada dalam peradilan pidana. Sebab, penggunaan senjata dalam suatu peristiwa yang belum memiliki kekuatan hukum, seperti belum ada proses pengadilan baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun upaya hukum lainnya dianggap melawan ketatapn hukum itu sendiri.
"Artinya ketentuan Perkap ini sudah melampaui batas kewenangan peradilan pidana, dengan kata lain Perkap itu sudah tindakan yang melawan hukum, oleh karenanya batal demi hukum," kata Fickar dalam keterangannya kepada ThePhrase.id, Kamis (2/10).
Bagi Fickar, penggunakan senjata api bagi anggota kepolisian sudah diatur sedemikian ketat dan demi kehati-hatian. Senjata api dapat digunakan apabila suatu perkara sudah punya ketatapan hukum dan dalam situasi yang urgen serta mendesak.
"Bahwa penggunaan senjata api untuk menembak dalam konteks peradilan Pidana adalah hukuman atau eksekusi terhadap hukuman mati atas sebuah putusan Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkraht)," terangnya.
Selain itu, Fickar mengungkapkan bahwa tugas kepolisian adalah menjaga keamanan dan ketertiban, penegakan hukum dan pelayanan masyarakat atau Kantibmas. Sehingga, lanjut Fickar, semua tindakan kepolisian tidak boleh melenceng dari koridor pelayanan masyarakat.
Oleh sebab itu, Fickar meminta agar Perkap tersebut dibatalkan karena bertentangan dengan prinsip negara hukum yang selama ini dianut di Indonesia.
"Diminta kepada Presiden Prabowo mengingatkan bawahannya, Kapolri untuk mencabut Perkap tersebut. Satu dan lain hal penerbitan Perkap tersebut selain bertentangan dengan prinsip negara hukum, juga dapat mencederai demokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan negara secara keseluruhan," tandasnya. (M. Hafid)