ThePhrase.id - Wacana tentang peluang PDI Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk menjadi oposisi pemerintahan Prabowo-Gibran memberikan angin segar terhadap perpolitikan di Tanah Air. Kedua partai itu dapat menjadi kekuatan penyeimbang untuk mengontrol kekuasaan agar tidak disalahgunakan.
“Ke depan kalau demokrasi mau baik, maka PDIP dan PKS harus sebagai kekuatan oposisi jadi jangan semua masuk koalisi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Kalau semua parpol masuk, nanti kekuasaan terlalu mayoritas, maka kekuasaan bisa disalahgunakan,” kata pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, Senin, 29 April 2024.
Harapan kepada PDI Perjuangan dan PKS untuk bisa menjadi oposisi karena keduanya adalah partai yang sudah terbiasa berada di luar pemerintahan. PDI Perjuangan sudah pernah menjadi oposisi selama 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Demikian juga dengan PKS (Partai Keadilan Sejahtera), hingga saat masih istiqomah berada di luar pemerintahan Jokowi Widodo.
Rekam jejak kedua partai ini yang sudah pernah berada di luar pemerintahan, memungkinkan keduanya memiliki daya tahan dan daya kritis terhadap penguasa. Karena dalam situasi politik saat ini tidak mudah juga untuk jadi oposisi ketika oposisi dianggap sebagai pengganggu jalannya kekuasaan.
“Ketika politik makin padat modal dan pemilu kian berwajah lautan amplop, maka terminologi oposisi makin bikin ngeri. Menjadi hantu yang harus dihindar-jauhi,” kata Katua Umum Partai Kebangkitan Nusantara, Anas Urbaningrum dalam akun media X pribadinya, Kamis (16/5).
Menjadi oposisi menurut Anas identik dengan minimnya proyek untuk mendanai aktivitas politik mendatang. Sebab menjadi oposisi, ujar Anas diartikan sebagai musim kemarau dan tempat yang asing dari sumber-sumber logistik atau percetakan amplop.
Karena itu pilihan PDI Perjuangan dan PKS untuk menjadi oposisi saat ini layak mendapat apresiasi dan penghargaan tinggi. Karena tidak banyak pihak atau partai yang dapat berada di luar pemerintah. Seperti Nasdem yang buru-buru mengucapakan selamat kepada Prabowo-Gibran sebelum tahapan Pemilu usai karena memang tidak tahan menjadi oposisi.
Jika harapan oposisi partai politik ada pada PDI Perjuangan dan PKS, maka oposisi secara invidual dan ketokohan ada pada Anies Baswedan. Sebagai Capres yang kalah atau dikalahkan pada pemilihan presiden, Anies diharapkan dapat memainkan perannya sebagai penyeimbang pemerintah. Apalagi, dalam debat capres lalu, Anies mengatakan bahwa oposisi itu sama mulianya tapi banyak pihak tidak tahan menjadi oposisi.
Namun sejauh ini Anies Baswedan masih belum memberikan pernyataan tentang kesiapan dirinya menjadi oposisi. Justru Calon Presiden dari PDI Pejuangan, Ganjar Pranowo yang telah menyatakan akan berada di luar pemerintahan setelah kalah dalam pilpres lalu.
"Saya declare pertama, saya tidak akan bergabung di pemerintahan ini, tapi saya sangat menghormati pemerintahan ini," ungkap Ganjar pada acara halal bihalal Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, di Jalan Teuku Umar 9, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 6 Mei 2024).
Harapan terhadap Anies untuk melanjutkan semangat perubahan yang dikumandangkannya saat kampanye lalu masih cukup besar. Ketua Sahabat Anies Internasional, DR. Robi Nurhadi sedang melakukan inisiasi untuk mendirikan Partai Perubahan Indonesia (PPI) sebagai kendaraan Anies untuk melanjutkan semangat perubahan itu. Namun tampaknya, ini bukan opsi strategis sebagai jalan perubahan atau sebagai oposisi mengingat PPI ini baru pada tahap rintisan.
Apalagi ada tawaran lain yang lebih memompa adrenalin politik Anies berupa dorongan untuk menjadi gubernur lagi dengan bertarung pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta bulan November nanti. Seperti dari dorongan warga Jakarta yang datang langsung ke rumahnya di kawan Lebak Bulus pada 7 Mei 2024 lalu. Juga dari Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didiek J Rachbini dan termasuk juga dari Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Didin S Damanhuri yang menilai bertarung menjadi di Pemilihan Guberur 2024-2024 sebagai pilihan logis. Namun demikian Prof. Didin mendoakan agar Anies diberi tempat yang cocok untuk dirinya dan terbaik untuk negeri ini.
“Semua sibuk membicarakan Anies, padahal dia sendiri akan atau sedang istikharoh yang meminta keputusan terbaik dari Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Mudah-mudahan Allah sudah memberikan keputusan terbaik untuknya,” kata Didin S Damanhuri berharap.
Menguatnya wacana oposisi ini, setelah adanya upaya Prabowo-Gibran untuk membentuk kabinet gemoy dengan 40 menteri untuk mengakomodir menteri-menteri dari partai politik yang akan bergabung.
Namun politisi PDIP yang juga capres pada pemilu 2024 lalu, Ganjar Pranowo mengingatkan bahwa jumlah menteri kabinet sudah diatur dalam undang-undang kementerian negara sehingga jumlahnya tidak bisa ditambah-tambah seenaknya. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 menyebutkan bahwa jumlah menteri kabinet paling banyak adalah 34.
"Setahu saya undang-undang itu sudah membatasi jumlahnya. Maka kalau lebih dari itu pasti tidak cocok atau tidak sesuai dengan undang-undang," jelas Ganjar.
Keinginan Prabowo untuk menarik semua partai politik dalam pemerintahnnya tercermin jelas pada pernyataannya di Rekernas PAN di Jakarta pada 9 Mei 2024. Prabowo Subianto mengingatkan pihak-pihak yang tidak mau diajak bekerja sama agar tidak mengganggu pemerintahannya.
"Kalau ada yang mau nonton di pinggir jalan, silakan jadi penonton yang baik. Tapi, kalau sudah tidak mau diajak kerja sama ya jangan mengganggu," kata Prabowo.
Ucapan Prabowo ini memberi pesan bahwa dirinya tak ingin direcoki atau tidak ada pihak yang akan menjadi oposisi kekuasaanya. Padahal oposisi itu sangat penting sebagai control agar kekuasaan tidak disalahgunakan.
Belajar dari pemerintahan Joko Widodo, selama hampir sepuluh tahun ini Jokowi memerintah nyaris tanpa kontrol yang berarti. Ketiadaan kontrol ini akibat tidak adanya lembaga atau pihak oposisi yang sungguh-sungguh menjalankan fungsinya sebagai kekuatan penyeimbang atau check and balance terhadap pemerintah. Pada periode pertama pemerintahannya, beberapa partai seperti PAN, Demokrat dan PKS tidak bergabung dalam kabinet Jokowi. Namun, di ujung periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, hanya menyisakan PKS yang masih berada di luar pemerintahan.
Akibatnya, apapun yang diinginkan pemerintah akan disetujui DPR karena parlemen telah menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi Widodo dan tidak lagi menjadi lembaga penyeimbang yang mengontrol jalannya pemerintahan. Sehingga banyak tata kelola negara dijalankan sesuai selera penguasa dengan membuat undang-undang sesuai keinginan dan pesanan.
Dampaknya, Indonesia yang kita rasakan hari ini. Korupsi merajalela yang membuat keuangan negara tercekik dan defisit. Untuk menutup defisit itu, pajak dan harga-harga naik yang membuat rakyat makin terjepit. Utang negara bertambah secara fantastis yang membuat Indonesia masuk dalam Debt Trap (jebakan utang) China. Akibatnya negara ini hilang kedaulatan yang membuat warga negara asing berani melakukan tindakan illegal dalam mengeruk kekayaan negeri ini. Seperti warga negara China yang menambang emas di Ketapang Kalimantan Barat, Solok Sumatera Barat, dan beberapa pulau di Indonesia Timur. Termasuk juga berdirinya 40 pabrik baja illegal milik warga negara China di Serang Banten yang jelas-jelas telah mengancam Krakatau Steel, BUMN yang ditugaskan untuk mengelola industri strategis itu.
Dalam demokrasi, Opsisi itu sangat penting sebagai bagian dari cara kita mengotrol jalannya negeri ini. Jika kita tidak mengintrolnya, maka kekuatan asing yang akan mengontrol penguasa negeri ini untuk mengeruk kekayaan negeri kita. Wallahu’alam. (Aswan AS)