ThePhrase.id - Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Pendidikan (Dispendik) menginisiasi program bertajuk Kamis Mlipis, yang mewajibkan penggunaan Bahasa Jawa di lingkungan sekolah setiap hari Kamis. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya revitalisasi Bahasa Jawa, khususnya ragam Krama Inggil, di kalangan pelajar.
Kepala Dispendik Surabaya, Yusuf Masruh, menyatakan bahwa penggunaan Krama Inggil akan diintegrasikan langsung ke dalam Modul Ajar Bahasa Jawa. Ia berharap kebijakan ini dapat membiasakan siswa dan warga sekolah berkomunikasi dalam Bahasa Jawa secara aktif, bukan sekadar mempelajarinya secara teori.
"Kami sangat siap mendukung revitalisasi ini. Bahasa Jawa telah ditetapkan sebagai pelajaran wajib, dan Krama Inggil akan menjadi bagian tak terpisahkan dari modul ajar kami. Ini adalah langkah konkret untuk membiasakan siswa dan seluruh warga sekolah berkomunikasi dalam Bahasa Jawa, sehingga tidak hanya teori tapi juga praktik," ujar Yusuf, Rabu (2/7/2025).
Menyadari bahwa siswa memiliki latar belakang budaya dan kemampuan berbahasa yang beragam, Dispendik mengusung pendekatan yang inklusif. Materi yang diajarkan akan disesuaikan dengan karakteristik Bahasa Jawa khas Surabaya, termasuk penggunaan kosakata seperti “rek” dan “koen”.
Dalam penerapannya, Dispendik telah menjalin kerja sama dengan Balai Bahasa Jawa Timur dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa dalam menyusun langkah implementasi. MGMP Bahasa Jawa Kota juga diberi mandat menyusun modul ajar revitalisasi Bahasa Jawa lengkap dengan Surat Perintah Tugas resmi dari Dispendik.
Untuk mendukung sosialisasi, akan dibentuk tim khusus beranggotakan 24 guru yang terdiri dari 12 guru jenjang SD dan 12 guru jenjang SMP, yang bertugas menyampaikan program ini ke para koordinator guru di wilayah masing-masing.
Tak hanya berhenti pada proses belajar-mengajar, Kamis Mlipis juga akan menjadi prioritas dalam alokasi anggaran kegiatan sekolah. Beragam lomba akan digelar, mulai dari menulis cerpen, komedi tunggal, pidato, mendongeng, membaca puisi, menembang, hingga menulis aksara Jawa.
Langkah ini mendapat sambutan positif dari akademisi. Melansir detik.com, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Puji Karyanto, menilai program ini sebagai bentuk rekayasa budaya yang positif. Namun, ia menekankan pentingnya sinergi antara Bahasa Jawa dan pembelajaran budaya Jawa lainnya, seperti seni dan sastra.
Ia juga mengingatkan pentingnya konsistensi dan evaluasi rutin agar program ini benar-benar berdampak terhadap pelestarian budaya. Menurutnya, keberhasilan program akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang bahasa ibu siswa yang beragam, sehingga perlu strategi yang adaptif dan dukungan dari berbagai pihak. [nadira]