
ThePhrase.id - Menteri Kebudayaan Fadli Zon meluncurkan buku penulisan ulang sejarah Indonesia di tengah kritikan dan penolakan dari banyak kalangan, termasuk dari sejarawan hingga aktivis hak asasi manusia (HAM).
Buku yang diberi judul Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global itu, disajikan dalam 10 jilid dan total 7.958 halaman. Fadli Zon menyebut sebanyak 34 perguruan tinggi turut terlibat dalam penulisan ulang buku sejarah tersebut.
Petinggi Gerindra itu juga menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia tidak ada campur tangan pemerintah, murni ditulis oleh para ahli.
“Jadi memang ini ditulis oleh para ahlinya, yaitu sejarawan Indonesia yang tadi telah disebutkan, 123 penulis dari 34 perguruan tinggi se-Indonesia,” kata Fadli dalam acara launching buku sejarah RI di Kantor Kemenbud, Jakarta, Minggu (14/12).
Kendati begitu, Fadli Zon mengakui bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia ini belum sempurna karena buku 10 jilid itu tidak akan mencakup seluruh sejarah Indonesia.
“Sepuluh jilid yang telah dihasilkan oleh para penulis, para sejarawan kita, tentu tidaklah sempurna. Kenapa saya katakan tidak sempurna? Karena pasti tidak akan mencakup secara keseluruhan,” ungkapnya.
Fadil Zon menyadari kritikan dan penolakan dari beberapa pihak sejak rencana penulisan ulang sejarah digulirkan. Namun, lanjut dia, penolakan itu suatu hal wajar dalam negara demokrasi.
“Saya kira kalau terjadi perbedaan pendapat itu satu hal yang sangat biasa, dan saya kira harus agree to disagree sebagai bagian dari demokrasi kita,” tuturnya.
Penolakan itu lahir dari Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), aliansi yang terdiri dari sejarawan, aktivis hak asasi manusia, tokoh masyarakat, hingga akademisi dari berbagai disiplin ilmu.
Ketua AKSI Marzuki Darusman menilai penulisan ulang sejarah Indonesia berpotensi menjadi instrumen legitimasi kekuasaan dan menutup peluang diskusi tentang masa lalu bangsa secara demokratis.
Selain itu, penulisan sejarah melalui tangan pemerintah dianggap tidak lazim dalam negara demokrasi. Kemudian, penulisan ulang itu berpotensi menghilangkan fakta-fakta sejarah masa lalu khsusunya pelanggaran HAM.
“Yang paling berbahaya adalah proyek ini bisa digunakan untuk mencuci dosa rezim baik yang berjalan saat ini maupun yang terjadi selama masa Orba di mana pelanggaran HAM berat masif terjadi,” kata Marzuki beberapa waktu lalu.
Bagi Marzuki, penulisan sejarah oleh negara hanya lazim terjadi di negara otoriter. Oleh sebab itu, penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan dinilai sama dengan langkah yang pernah dilakukan Adolf Hitler yang saat itu berupaya menuliskan sejarah Perang Dunia I.
“Ini yang sedang kami lakukan di Indonesia, menolak erosi demokrasi lewat penggelapan sejarah yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Hanya rezim berkarakter otoriter yang mencoba menuliskan ulang sejarah dengan label ‘sejarah resmi,’” tambah Marzuki.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyebut bahwa kebenaran sejarah di alam demokrasi tidak bisa dimonopoli oleh negara.
“Sejarah adalah milik publik termasuk para korban pelanggaran HAM. Mereka berhak untuk mencari, menafsirkan dan memaknainya secara merdeka tanpa campur tangan negara,” kata Usman yang juga anggota AKSI.
Tak hanya itu, Usman menilai penulisan ulang sejarah oleh negara merupakan upaya rekonstruksi dengan tujuan kultus individu dan glorifikasi masa lalu yang berlebihan. Kebijakan semacam ini berpotensi menghilangkan peristiwa dan ketokohan yang tidak cocok dengan kepentingan kekuasaan.
“Tindakan semacam ini adalah manipulasi sejarah. Betapapun gelapnya sejarah, ia harus tetap ditulis meski berdampak terhadap tragedi kemanusiaan dan mengungkapkan kesalahan kebijakan negara di masa lalu,” terangnya.
Namun, hal itu dibantah oleh Fadli Zon bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia tidak dilakukan hanya demi proyek politik, melainkan kepantingan bangsa dan negara.
“Saya yakin ini bukan untuk kepentingan politik, ini adalah untuk kepentingan bangsa dan negara kita. Dan ini adalah bagian dari upaya kita untuk merawat memori kolektif bangsa,” tandasnya. (M Hafid)