e-biz

Perang Dagang AS-China Kian Panas, Bagaimana Imbasnya ke Indonesia?

Penulis Firda Ayu
Apr 15, 2025
Ilustrasi uang rupiah (Foto: by Mufid Majnun on Unsplash)
Ilustrasi uang rupiah (Foto: by Mufid Majnun on Unsplash)

ThePhrase.id - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kian membara sejak Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden AS pada Januari 2025. Tidak tanggung-tanggung, pada 12 April lalu, Trump resmi menaikkan tarif impor untuk seluruh produk dari China menjadi 145 persen, hanya beberapa hari setelah pengumuman tarif awal sebesar 125 persen. 

Tak tinggal diam, Presiden China, Xi Jinping merespons dengan menaikkan tarif produk dari Amerika hingga 125 persen. Perang tarif ini kembali mengoyak stabilitas ekonomi global dan menimbulkan kekhawatiran terhadap sistem perdagangan global.

Pakar Ekonomi Internasional dari Universitas Airlangga, Rossanto Dwi Handoyo menjelaskan bahwa adu tarif AS dan China ini mulai berdampak dan terasa di berbagai negara, termasuk Indonesia. 

Di pasar domestik, pasca libur Idulfitri, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah langsung mengalami tekanan signifikan. IHSG bahkan sempat terkoreksi lebih dari 9 persen dalam waktu singkat. Penurunan tajam IHSG ini disebabkan oleh faktor psikologis investor yang terpengaruh akan ketidakpastian global.

“Kalau sudah di atas 2 persen itu berarti ada faktor psikologis pasar yang mempengaruhi investor,” ujar Rossanto.

Tak hanya pasar saham, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga ikut terguncang hingga menyentuh angka Rp17.000. Untungnya, BI berhasil menyelamatkan rupiah dengan melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menjaga stabilitas nilai tukar yang kini menyentuh Rp16.787 per 14 April 2025.

Namun, Tika Widiastuti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNAIR menyebut bahwa intervensi hanya efektif dalam jangka pendek. Kebijakan moneter yang yang adaptif, seimbang, dan berkelanjutan di tengah ketidakpastian global diperlukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi.

Selain itu, BI juga dapat mengembangkan instrumen seperti Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), kerja sama swap bilateral, serta pemberian insentif untuk mendorong arus valas dari ekspor dan remitansi agar stabilitas nilai tukar rupiah terjaga.

Selain memengaruhi IHSG dan nilai tukar rupiah, perang tarif AS- China juga berdampak langsung pada rantai pasok global dan perdagangan Indonesia. Saling balas tarif antara AS dan China berpotensi memicu lonjakan harga barang secara global. 

Menurut Rossanto, jika perang balas tarif terus berlanjut kondisi ini bisa mendorong penyusutan perdagangan global hingga 50 persen, mirip dengan peristiwa Great Depression tahun 1930-an.

Dampak ke Indonesia akan sangat terasa, terutama pada sektor ekspor dan investasi asing langsung. Ketidakpastian global membuat investor cenderung menahan ekspansi, bahkan mengalihkan dananya ke aset aman seperti emas.

Ekspor Indonesia ke Amerika yang menurun juga akan menurunkan produksi, risiko PHK, hingga penurunan investasi di sektor-sektor terkait. 

Sebagai negara berkembang yang belum memiliki ketergantungan dagang sebesar negara maju, Indonesia harus berhati-hati dalam menyikapi konflik ini. Langkah negosiasi disebut Rossanto sebagai solusi bijak agar Indonesia tidak justru merugi. 

Selain itu, penting bagi Indonesia untuk bersikap adaptif dan terbuka untuk bernegosiasi, mengingat ekspor Indonesia masih kecil dibanding negara ASEAN lain.

Di tengah situasi global yang belum menentu, para ahli ekonomi juga mengimbau masyarakat agar tetap tenang dan tidak panik menghadapi fluktuasi ekonomi. 

“Bagi masyarakat yang memiliki kelebihan aset dan khawatir terhadap penurunan nilai saham, rupiah, atau aset lainnya, dapat mempertimbangkan untuk mengalihkan dana ke aset yang lebih aman seperti emas, yang dikenal sebagai safe haven, atau ke instrumen deposito yang cenderung bebas risiko,” pungkasnya. [fa]

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic