trending

Perpol 10/2025: Pembangkangan Penegak Hukum Terhadap Undang-Undang

Penulis M. Hafid
Dec 15, 2025
Ilustrasi anggota kepolisian saat berjaga aksi demonstrasi. Foto: istimewa.
Ilustrasi anggota kepolisian saat berjaga aksi demonstrasi. Foto: istimewa.

ThePhrase.id - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dinilai sebagai aparat penegak hukum (APH) yang memberi contoh untuk tidak taat pada hukum, buntut penerbitan Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025.

Perpol yang memberi ruang bagi polisi aktif untuk menduduki jabatan sipil itu, dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Pasalnya, putusan itu melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil, kecuali mundur atau pensiun dari kepolisian.

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melontarkan pertanyaan kritis ihwal penerbitan Perpol oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Lebih-lebih, jarak penerbitannya hanya terpaut 27 hari dari putusan MK yang diterbitkan pada 13 November 2025, sedangkan Perpol terbit pada 10 Desember 2025.

"Loh, penegak hukum kok ngajari melanggar hukum, membangkang konstitusi?" tanya Sudirman melalui akun X pribadinya dikutip pada Senin (15/12).

Sudirman juga mempertanyakan sikap Presiden Prabowo Subianto yang dianggap membiarkan Listyo melakukan pembangkangan terhadap konstitusi. "Apa kabar Reformasi Polri? Jadi, ini negara apa?" ucapnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Mahfud MD menyebut Perpol bertentangan dengan putusan MK yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil. Putusan MK bersifat final dan mengikat.  

“Putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Polisi aktif yang menjabat di luar Polri harus pensiun, tidak bisa hanya ditugaskan,” kata Mahfud di akun media sosilanya, dikutip Senin (15/12).

Mahfud juga menyebutkan bahwa Perpol tidak punya dasar hukum yang kuat, baik di dalam Undang-Undang (UU) Polri maupun dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN).

Dengan demikian, anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri itu, menilai Perpol berpotensi menimbulkan konflik norma dan mengaburkan prinsip pemisahan antara jabatan sipil dengan penegak hukum aktif.

“Sebab semua harus sesuai dengan bidang tugas dan profesinya. Misalnya meski sesama dari institusi sipil, dokter tidak bisa jadi jaksa, dosen tidak boleh jadi jaksa, jaksa tak bisa jadi dokter,” terangnya.

Setali tiga uang, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai penerbitan Perpol sebagai upaya perlawanan terhadap putusan MK dan menunjukkan wajah penegak hukum yang tidak taat terhadap hukum.

“Perpol ini jelas melawan putusan MK, melanggar hukum, dan memperlihatkan ketidaktaatan penegak hukum terhadap hukum itu sendiri secara terang benderang,” kata Usman, Sabtu (13/12).

Menurut Usman, Kepolisian terus berupaya agar anggotanya dapat menduduki jabatan sipil dengan menyiasati putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025.

“Karena, dalam putusan tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif,” ucapnya.

Pandangan berbeda justru disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman. Dia menilai Perpol selaras dengan putusan MK dan dinyatakan konstitusional.

”Perpol Nomor 10 Tahun 2025 konstitusional dan tidak bertentangan dengan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025,” kata Habiburokhman.

Menurut Habiburokhman, putusan MK hanya menghapus frasa multitafsir yang berbunyi atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri di dalam penjelasan Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri.

”Sementara rumusan lengkap Pasal 28 Ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 adalah yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak memiliki sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari kapolri,” terangnya.

Menurut Habiburokhman, putusan MK dianggap tidak membatalkan jabatan yang tidak memiliki sangkut paut dengan kepolisian, sehingga masih memungkinkan polisi aktif bertugas di kementerian atau lembaga lain. Namun dengan catatan dan penegasan bahwa tugas yang diemban di luar instansi Polri masih berkesinambungan.

Politisi Partai Gerindra itu juga menukil Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 terkait tugas kepolisian. Disebutkan bahwa tugas polisi adalah melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.

Oleh sebab itu, penempatan polisi aktif di 17 kementerian dan lembaga lain yang tercantum dalam Perpol, tidak melanggar dan bertentangan dengan konstitusi.

”Sepanjang penugasan anggota Polri di sejumlah kementerian dan lembaga sebagaimana diatur Perpol 10 Tahun 2025 adalah dalam konteks melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat atau menegakkan hukum, maka hal tersebut jelas ada sangkut pautnya dengan tugas kepolisian dan tentu saja tidak bertentangan dengan konstitusi dan putusan MK,” terangnya.

Seirama dengan Habiburokhman, pengamat intelijen dan geopolitik Amir Hamzah menilai Perpol 10 Tahun 2025 itu tidak melanggar putusan MK. Sebab, Kapolri disebut sudah berkonsultasi dengan DPR serta melaporkan secara resmi kepada Presiden sebelum regulasi itu diberlakukan.

"Informasi yang saya dapatkan, Perkap (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 itu sudah melalui konsultasi dengan DPR dan dilaporkan ke Presiden. Jadi sangat keliru jika disebut sebagai bentuk perlawanan Kapolri terhadap Presiden Prabowo," kata Amir dalam keterangannya, Senin (15/12).

Menurut Amir, Putusan MK mengatur prinsip-prinsip dasar profesionalisme dan netralitas Polri.

"Perkap (Perpol) ini justru hadir sebagai instrumen teknis internal untuk memastikan penugasan anggota Polri tetap berada dalam koridor hukum dan pengawasan negara," ujarnya.

Dia mengatakan bahwa dalam praktik ketatanegaraan modern, regulasi internal lembaga penegak hukum merupakan hal yang lazim, selama tidak mengubah norma undang-undang dan tidak menabrak prinsip konstitusional.

Dengan begitu, Amir menyebut framing yang menyebut Perpol sebagai pembangkangan Kapolri terhadap Presiden maupun MK sebagai narasi yang dipaksakan dan menyesatkan publik.

Sebab, lanjut dia, dalam sistem presidensial, Kapolri tidak berada di luar kendali Presiden. Kapolri adalah pembantu Presiden di bidang keamanan. Secara struktural dan politik, kata dia, mustahil Kapolri mengeluarkan kebijakan strategis tanpa sepengetahuan Presiden.

"Kritik itu penting dalam demokrasi, tapi kritik harus adil dan berbasis fakta. Jangan sampai kita merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara hanya karena salah membaca konteks," tandasnya.

Seperti diketahui, Kapolri menerbitkan Perpol Nomor 10 tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam Perpol itu disebutkan ada 17 jabatan posisi di kementerian/ lembaga yang dapat diduduki oleh polisi aktif. Berikut rinciannya:


Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Kementerian Hukum
Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan
Kementerian Kehutanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Kementerian Perhubungan
Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI)
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Lembaga Ketahanan Nasional
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Badan Narkotika Nasional (BN)
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Badan Intelijen Negara (BIN)
Badan Siber Sandi Negara (BSSN)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Artikel Pilihan ThePhrase

- Advertisement -
 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic