ThePhrase.id - Beberapa tahun belakangan ini, bencana-bencana besar terus terjadi di berbagai belahan dunia, mulai dari banjir, kebakaran hutan, hingga tornado. Para ahli pun mengatakan bahwa bencana besar ini akibat dari perubahan iklim yang mengancam, dampak dari aktivitas manusia.
Foto: Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (freepik.com photo by jplenio1)
Menurut laporan yang diterbitkan Global Carbon Project (GCP) awal bulan ini, sekelompok ilmuwan yang menganalisis emisi mengungkap bahwa emisi CO2 diperkirakan meningkat sebesar 4,9 persen pada tahun 2021 dibandingkan tahun sebelumnya.
Untuk mencegah dampak buruk akibat perubahan iklim terus terjadi, seluruh dunia perlu melakukan penanganan. Energi nuklir pun jadi harapan.
Energi nuklir adalah salah satu sumber energi rendah karbon paling andal yang dapat diakses. Tetapi, bencana di Fukushima, Chernobyl, dan Three Mile Island masih menimbulkan keraguan dan kecemasan terhadap energi nuklir.
Pembangkit nuklir juga terkenal mahal untuk dibangun. Konstruksi cenderung menghabiskan anggaran yang besar dan waktu yang lama.
Selain itu, penyimpanan limbah radioaktif juga dikatakan sangat sulit. Namun skala krisis iklim yang tengah terjadi telah mendorong pemerintah-pemerintah dunia dan investor lain untuk melihat industri nuklir lagi.
Dampak Penggunaan Energi Nuklir
Menurut World Nuclear Association, saat ini, 10% produksi listrik dunia menggunakan nuklir. Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Inggris memproduksi 20% dari listriknya dari nuklir. Sedangkan Perancis dikatakan memproduksi 70% listriknya dari nuklir.
Sementara tenaga nuklir tidak menghasilkan gas rumah kaca ketika digunakan, uranium yang dibutuhkan sebagai bahan utama pembuatan energi nuklir harus ditambang, yang menciptakan gas rumah kaca.
Meskipun demikian, menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Komisi Eropa, ketika seluruh siklus produksi diperhitungkan, emisi nuklir kira-kira sama dengan energi angin dan lebih kecil dari energi matahari.
Menurut penelitian yang dikoordinasikan oleh IAEA, negara-negara mulai dari Armenia dan Ghana hingga Polandia dan Turki menunjukkan potensi yang signifikan untuk menggunakan energi nuklir. Hal ini sebagai upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan memenuhi tujuan perubahan iklim, termasuk yang disepakati pada KTT iklim COP26.
Pemerintah Indonesia sendiri telah memproyeksikan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang akan commercial operation date (COD) pada 2049. Kapasitas PLTN tersebut dikatakan akan mencapai 35 gigawatt (GW). [nadira]