ThePhrase.id - Perubahan status 4 pulau milik Aceh menjadi bagian wilayah Sumatera Utara oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian memunculkan banyak pertanyaan di tengah menyeruaknya kasus besar yang terjadi pada pemerintahan sebelumnya. Apakah kasus ini bagian dari upaya membuat kegaduhan untuk menutupi kasus-kasus besar yang sedang viral. Atau ada agenda lain yang lebih besar mengingat sejarah Aceh sebagai wilayah konflik yang mudah disulut. Dan banyak lagi pertanyaan yang muncul dan berujung pada satu pertanyaan besar, Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri itu sebenarnya sedang bekerja untuk siapa?
Pertanyaan tentang Tito Karnavian bekerja untuk siapa, karena sekarang Tito adalah bagian dari pemerintahan Prabowo Subianto, tetapi sosoknya lebih dikenal sebagai orangnya Jokowi. Keputusannya mengubah status 4 pulau milik Aceh menjadi bagian dari Sumatera utara telah menimbulkan kegaduhan dan pro-kontra. Sebuah keadaan yang selalu dihindari oleh Presiden Prabowo Subianto yang menginginkan suasana tenang dan stabil agar pemerintah lebih fokus membangun ekonomi dan menyelesaikan masalah kenegaraan lainnya.
Penerbitan SK Kemendagri terkait 4 pulau Aceh yang diserahkan ke Sumut itu menimbulkan kecurigaan adanya agenda politik terselubung di balik itu. Keterlibatan aktor politik kasus itu yang memiliki kedekatan personal terhadap Jokowi menjadi salah satu pertanyaan publik.
“Kecurigaan tersebut secara politik dikaitkan dengan keluarga Jokowi atau Geng Solo, Gubernur Sumut merupakan menantu Jokowi dan Mendagri juga dikenal sebagai loyalisnya Jokowi,” kata Direktur Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (12/6/2025).
Dari kepentingan Jokowi dan keluarganya, pemindahan status 4 pulau itu ada kepentingan ekonomi dan politik sekaligus. Kandungan gas di bawah 4 pulau itu disebut sebagai motif ekonomi Geng Solo untuk menguasainya. Apalagi keluarga Jokowi dan kroninya selama ini disebut memiliki sejumlah blok migas di Indonesia timur. Maka tak berlebihan jika ada pihak yang menuding pemindahan 4 pulau Aceh itu disebut sebagai hadiah untuk Jokowi dan keluarganya. Tudingan yang dibantah keras oleh Bobby Nasuiton, Gubernur Sumatera Utara yang juga menantu Jokowi.
"Kalau memang itu hadiah untuk Pak Jokowi, kenapa tidak dipindahkan saja ke Solo? Itu wilayah Tapteng, jadi hadiahnya bukan ke Bobby Nasution, tapi ke Bupati Tapteng. Karena nanti yang akan mengeluarkan izin segala macam itu Bupati Tapteng," ujar Bobby, Kamis (12/6/2025).
Bobby juga menegaskan bahwa dirinya tak tahu menahu soal kebijakan perubahan status 4 pulau itu karena keputusan itu wewenang Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri.
Dari sisi politik, keluarga Jokowi sangat berkepentingan dengan isu 4 pulau Aceh ini. Kegaduhan perubahan status 4 pulau itu dapat menutupi kasus-kasus yang sedang viral yang melibatkan Jokowi dan keluarganya. Seperti kasus ijazah palsu Jokowi yang sudah menyebut Pasar Pramuka sebagai tempat pembuatan dan sejumlah nama pelaku pembuatnya. Juga kasus tambang nikel Raja Ampat dengan beberapa kapal tug boat dan tongkang bertuliskan JKW dan Iriana di lambungnya. Kasus yang mengingatkan kembali tentang penyelundupan 5,3 juta ton nikel ke China yang disebut mendiang ekonom Faisal Basri melibatkan nama-nama besar di sekitar Jokowi.
Yang paling mencemaskan Jokowi dan keluarganya adalah pemakzulan Gibran yang prosesnya makin menguat yang sudah mencapai gedung parlemen di Senayan. Apalagi Mahfud MD, Mantan Menko Polhukam menyebutkan Gibran bisa dimakzulkan dengan memulai dari pembuktian akun Fufufafa itu sebagai miliknya.
"Kalau Fufufafa itu benar diungkap dan benar itu menyangkut Gibran, itu sudah jadi alasan yang sangat kuat untuk itu gitu ya," jelas Mahfudz di akun Youtube pibadinya, Selasa 10 Juni 2025.
Pemberitaan kasus-kasus itu sekarang agak tenggelam dengan kegaduhan yang ditimbulkan oleh Tito Karnavian melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menetapkan 4 pulau di Kabupaten Aceh Singkil kini masuk ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Sebuah keputusan yang sangat sensitif yang dapat menyulut konflik karena terjadi di wilayah Aceh, kawasan yang pernah terjadi konflik berkepanjangan karena ada rasa perlakuan tak adil dari janji yang tak tertunaikan oleh Pemerintah Pusat.
Dari sudut pandang ini, tindakan Tito Karnavian menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri itu sebuah tindakan by designed yang sengaja membuat kegaduhan dan konflik untuk kepentingan politik dan ekonomi pihak tertentu.
Dosen ilmu politik Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Langsa, Aceh, Muhammad Alkaf, mengatakan selama ini tidak pernah ada isu antara Aceh dan Sumatera Utara. Makanya, Alkaf menduga klaim 4 pulau ini panas karena ada memori kolektif lama yang terpendam soal Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan tegangannya dengan Pemerintah Pusat.
“Orang GAM yang sudah berdamai dengan peta pusat itu berpikir: mereka telah mengganti obsesi untuk merdeka dengan menerima otonomi khusus, tapi tiba-tiba dalam perjalanannya, kok bahasanya dicaplok, gitu,” kata Alkaf seperti dikutip Tempo Kamis, 12 Juni 2025.
Alkaf mengingatkan GAM dulu muncul atas keresahan warga Aceh yang tidak sejahtera. Salah satu penyebabnya adalah pengelolaan sumber daya alam oleh pusat. GAM kemudian membubarkan sayap militernya setelah Perjanjian Perdamaian Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Dengan isu pencaplokan empat pulau dapat membangkitkan lagi memori kolektif itu karena Aceh menolak tegas keputusan itu dengan tetap menganggap 4 pulau tersebut sebagai milik Aceh. “Itu memang hak Aceh, jadi saya rasa itu betul-betul Aceh dari segi apa saja, dari segi geografi perbatasan, sejarah, dan iklim,” kata Gubernur Muzakir Manaf di Jakarta, Kamis, 12 Juni 2025.
Tarik menarik kepentingan akan menciptakan ketegangan yang membuat 4 pulau menjadi titik konflik. Konflik yang tersulut bukan hanya soal batas wilayah tetapi karena ada kekayaan alam strategis di bawah bumi empat pulau itu. Persis seperti daerah-daerah konflik di Indonesoa, seperti Aceh di masa lalu yang ada kandungan gas dan minyak di perut buminya. Demikian juga Papua dengan kekayaan alamnya berupa emas, tembaga, nikel dan lain-lain.
Dari sudut ini, tak heran bila kelompok seperti KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) di Papua itu dibuat awet dan lama-lama karena Papua adalah wilayah yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya. Penyebutan nama atau istilah yang dilekatkan ke kelompok itu sebagai kriminal bersenjata atau kelompok separatis akan menentukan institusi mana yang kebagian untuk menanganinya.
Makanya, bila dilihat pada afiliasi politik dan rekam jejaknya, keputusan Mendagri Tito Karnavian ini untuk kepentingan siapa? Apakah benar untuk kepentingan bangsa dan negara? Sebab, selama menjabat sebagai Kapolri, Tito terbiasa menghandle kasus besar dengan anggaran dana yang besar pula.
Dia pernah minta tambahan dana Rp44,4 triliun dari pagu indikatif sebesar Rp76,9 triliun untuk rencana kerja Polri pada 2019. Dana Rp44.4 triliun itu disebutkan untuk meningkatkan penanggulangan terorisme.
"Lalu tantangan-tantangan lain seperti terorisme, saya ingin perkuat Satgas Densus yang selama ini hanya 16 satgas. Saya ingin jadi 34 Satgas. Ada di tiap provinsi," ujar Tito setelah rapat kerja dengan Komisi III di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Selasa (5/6/2018).
Di masanya juga ada kasus besar Covid-19 yang juga membutuhkan biaya pencegahan yang besar pula. Dan hari ini, kita pun tidak pernah tahu bagaimana proses hilangnya isu terorisme dan wabah Covid-19 dari negeri ini.
Karenanya, ketegangan di 4 pulau yang diubah statusnya itu, jangan sampai harus kita bayar dengan harga mahal yang membuat kita menyesal sebagai sebuah bangsa. Untungnya, Presiden Prabowo mengambil alih kasus ini untuk meredam kegaduhan yang berkepanjangan. Surat terbuka Mualem atau Muzakkir Manaf kepada Presiden Prabowo pun sangat menyejukkan hati yang menggugah semangat persatuan dan persaudaraan sebagai sebuah bangsa. (Aswan AS)