ThePhrase.id - Puitis Walt Whitman pernah berkata, “Teruslah tatap matahari agar bayangan-bayangan jatuh di belakangmu.” Apa yang terjadi jika matahari terhalangi awan-awan? Atau, apa yang terjadi apabila gunung-gunung yang menutupi cahayanya?
Apa yang terjadi bila kita, remaja-remaja memiliki potensi kuat untuk menjadi orang yang bersinar, namun kita selalu tertutup oleh orang lain? Bagaimana kita bisa melihat cahaya jati diri masing-masing bila kitaa terlalu fokus melihat gunung-gunung kesuksesan orang lain?
Di era digital ini, kita bisa menghabiskan waktu yang amat sangat lama dalam melihat hal-hal yang belum tentu begitu penting dan berdampak positif dalam hidup kita. Hanya dengan satu klik yang mudah dilakukan, kita dapat memperoleh informasi-informasi baru baik yang baik, maupun yang tidak.
Dilansir dari IDN Media melalui lembaga risetnya IDN Research Institute bekerja sama dengan Populix dalam laporannya yang bertajuk "Indonesia Gen Z Report 2022" mengungkapkan bahwa mayoritas Gen Z mengakses media sosial lebih dari tiga jam dalam sehari. Dan tidak menutup kemungkinan angka ini terus bertambah tiap tahunnya.
Dampak dari media sosial sendiri apabila digunakan secara positif dapat memperluas pergaulan, menyebar informasi yang baik dengan cepat, dan juga bisa menjadi tempat yang terbuka bagi semua orang untuk mengekspresikan dirinya. Namun, ada juga dampak negatif yang dapat timbul akibat penggunaan media sosial, apalagi jika kita terlalu banyak menggunakannya. Dampak negatif media sosial sangat krusial karena berdampak pada kesehatan mental.
Remaja, dengan pemikiran, juga karakter yang belum matang, di mana mereka masih rentan terhadap kehidupan di dunia nyata, menjadikan media sosial sebagai sebuah “escape from reality.” Walau nyatanya, sosial media dapat berdampak buruk bagi keberlangsungan hidup mereka.
Bercerita dari pengalaman saya sendiri, saya adalah pengguna aplikasi Instagram. Di saat saya berada di bangku SMP, saya dibilang masih sangat mudah terpengaruh dengan apa yang liat. Tidak, saya tidak melihat hal-hal yang tidak baik atau asusila. Melainkan, saya melihat foto dan video kehidupan
orang-orang, baik terdekat maupun hanya figur media sosial, yang terlihat sempurna.
Kehidupan mereka yang terlihat begitu menarik dan seru, meraih prestasi hebat, bergaul dengan teman-teman, mengunjungi cafe yang populer, mencoba makanan-makanan viral, menggunakan baju
dan make-up yang terbaru. Begitu iri saya melihat orang-orang yang menyebarkan kehidupan sempurna mereka di media sosial, sedangkan saya dengan kehidupan saya yang terlihat monokrom dibanding kehidupan mereka yang terlihat sangat berwarna.
Dari banyaknya informasi yang saya proses dari sosial media, saya menggunakan sisa masa SMP saya untuk mencoba menyusun dan menata hidup saya seolah-olah semenarik seperti punya orang lain. Secara bertahap, gaya hidup saya berubah, saya membeli pakaian-pakaian terbaru, produk make-up dan skincare yang sedang trending, mencoba makanan viral, dan lainnya.
Tak hanya itu, sifat saya berubah total, saya menjadi orang yang suka bersosialisasi, suka berteman, mudah membuat orang tertawa, dan dapat mengikut tren-tren yang semua orang sedang bicarakan.
Meski perubahan yang terjadi dalam diri saya terlihat positif, tapi, nyatanya, hidup saya terasa lebih kosong setelah mengikuti kehidupan yang ideal. Saya merasa menjadi sebuah boneka wayang, digerakkan oleh media sosial untuk melakukan hal apa saja demi penampilan saya agar terlihat sempurna, dan mendapat validasi dari orang-orang yang melihat saya.
Nyatanya, saya bukan tipe orang yang suka berbicara di depan publik, saya bukan tipe orang yang ingin untuk selalu berada di spotlight. Namun, saya hanyalah remaja yang ingin memiliki hidup indah, dengan gengsi dan ego saya yang tinggi. Saya masih bingung dengan transisi yang saya alami, saya hanya bisa mengikuti apa yang saya lihat karena kepribadian saya yang rentan.
Di masa itu, saya tidak menyadari, the Phrase atau kutipan yang disandingkan dengan Abraham Lincoln, “Don’t believe everything you see on the internet” bisa mengelabui saya. Saya pikir saya adalah orang yang sudah cukup cerdas dan bijaksana yang dapat memisahkan hal asli dengan yang tidak. Tetapi “perfect lifestyle” yang ada di media sosial sendiri dapat dikategorikan sebagai salah satu hal yang tidak perlu kita percayai, karena, bagaimanapun, tidak mungkin hidup seseorang sesempurna seperti apa yang mereka tunjukkan di media sosial.
Sejak saya menyadari kenaifan saya dalam mencerna informasi dari aplikasi sosial media yang saya gunakan, sedikit demi sedikit saya mulai menerima bahwa kehidupan saya tidaklah dan tidak akan mungkin untuk sempurna, dan itu tidak apa-apa, saya harus belajar untuk menerima jati diri saya apa adanya tanpa harus mengubahnya demi validasi dari orang lain.
Untuk mencapai kesadaran akan realita pahitnya hidup bukanlah hal yang mudah. Orang yang sudah terlalu membentuk dirinya untuk selalu menjadi sempurna alias perfectionist dapat memiliki reaksi yang defensif, di mana mereka bisa denial mengetahui hidup bisa saja tidak sejalan dengan keinginan atau ekspektasi mereka. Namun mungkin bila orang yang lebih easy-going, dapat lebih terbuka dengan hal tersebut. Meski dengan asumsi tersebut, kita tidak dapat menspesifikasi semua manusia ke dalam dua golongan tersebut, karena manusia adalah makhluk yang kompleks dan semua orang memiliki sifat yang berbeda-beda.
Kesadaran betapa media sosial dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup baik secara fisik maupun mental akan timbul dalam diri kita masing-masing dengan waktu sendiri. Karena pada akhirnya, rasa-rasa negatif yang timbul dalam diri kita dapat dihilangkan dengan langkah-langkah mudah yakni dengan mengenal, mengerti, menerima, dan menyayangi diri kita sendiri.
Dengan tumbuhnya self-love terhadap diri sendiri, hal-hal negatif yang berada melekat di sekitar, baik dari lingkungan ataupun diri kita sendiri, akan lama-lama pudar karena tergeser dengan rasa positif. Namun, perlu diketahui harus ada keseimbangan antara positif dan negatif, apabila terlalu banyak salah satunya dapat menimbulkan hal yang tidak baik. Dengan terlalu banyak rasa positif/percaya diri, kita dapat menjadi terlalu percaya diri ataupun egois, dan apabila terlalu banyak rasa negatif, kita dapat menjadi orang yang mudah cemas dan sedih.
Pada akhirnya, hal yang terpenting adalah kita dapat menjaga jati diri kita dengan cara terus menyayangi dan menerima diri kita, dan mengembangkan menjadi persona original kita masing-masing.