leader

Prof. Dr. Nurhaya Muchtar, Anak Betawi Yang Jadi Guru Besar Komunikasi di Amerika Serikat

Penulis Aswan AS
Sep 13, 2021
Prof. Dr. Nurhaya Muchtar, Anak Betawi Yang Jadi Guru Besar Komunikasi di Amerika Serikat
ThePhrase.id - Nurhaya Muchtar anak Betawi yang jadi guru besar komunikasi di Amerika Serikat, tepatnya di Indiana University of Pennsylvania (IUP). Pilihan menjadi akademisi di AS ia jalani bak air mengalir.

“Hidup saya itu mengalir saja seperti air.  Tapi begitu ada momen, saya akan mengambil apa yang bisa saya dapatkan di momen itu,” ujar Nurhaya Muchtar kepada Aswan AS dari ThePhrase.id ketika menjelaskan tentang pilihan hidupnya menjadi seorang akademisi di Amerika Serikat.

Menurut Aya, nama panggilannya, menjadi akademisi itu seperti sebuah kebetulan yang tidak dirancang  sebagai cita-cita sejak kecil.  Meskipun profesi sebagai pengajar dijalankannya setelah menyelesaikan S1 di IKIP Jakarta (sekarang UNY). Dia mengajar di sebuah SMA sebagai PKL dan di lembaga kursus bahasa Inggris di Jakarta Selatan. Selain mengajar dia juga seorang aktivis di “Internews” sebuah  LSM yang fokus meningkatkan kompentensi jurnalis, serta terlibat di berbagai organisasi seperti ISAI dan USAID.

Nurhaya Muchtar.


Di tengah menjalani aktivitasnya sebagai pengajar dan aktivis, Aya mendapatkan kesempatan untuk berangkat ke Amerika mengikuti fellowsip program selama beberapa minggu sebagai bagian dari pekerjaannya di Internews. Dia pun diterima dan berangkat ke AS bersama dengan 10 orang wartawan radio.

Selama mengikuti program itu dia melihat kuliah di Amerika itu menarik, apalagi setelah dia tahu ada ada peluang untuk kuliah sambil bekerja. Kesempatan itupun diambilnya dan menyelesaikan S2 Komunikasinya di Ohio University (OU).

“Di Amerika itu, ada kesempatan untuk bisa kuliah dan bekerja di universitas yang bersangkutan. Bukan beasiswa, tapi istilah disini Namanya assistanship,” katanya menjelaskan proses pendidikan yang diambilnya.

Cara ini pula yang ditempuh Aya  untuk menyelesaikan program doktoralnya. Selain kuliah, dia juga mengajar kelas public speaking. Mengajukan beberapa lamaran ke universitas yang memiliki program tersebut dan ternyata dia diterima di 4 univeritas berbeda. Namun dia memilih The University of Tennessee (UT)  untuk menyelesaikan S3 Komunikasi.

“Saya suka dengan suasana kampusnya dan juga para pengajarnya,” kata Aya beralasan.

Setelah menyelesaikan S3, Aya kemudian memilih menjadi pengajar di Indiana University of Pennsylvania (IUP).

“Saya mengajar Komunikasi dari teori hingga praktek seperti memproduksi berita TV. Selain itu, sebagai akademisi ada keharusan  untuk menulis jurnal dan riset,” jelasnya.

Salah satu riset yang biasa dilakukannya adalah tentang aktifitas dan kecendrungan media  pada kurun waktu tertentu.

Nurhaya Muchtar (kanan).


Di rumahnya yang asri di sebuah perumahan di Indiana, Pennsylvania, akhir pekan Aya diisi dengan bersantai menikmati alam pedesaan, ke danau, hiking, dan lain-lain. Sesekali dia juga mengumpulkan para mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di universitas di Tennessee, Pennsylvania, Ohio  dan beberapa negara bagian di sekitarnya.

“Ini terkait dengan kebiasaan kita di sini sekaligus posisi saya sebagai ketua ASIRPA atau Asian Society of International Relations and Public Affairs,“ imbuh Aya menjelaskan bahwa ASIRPA memiliki kegiatan konferensinya setahun sekali. Pada tahun ini, karena masih pandemi, konferensi akan diadakan online pada tanggal 2 Oktober mendatang. Yang hadir, teman-teman akademisi dari Amerika, Indonesia dan beberapa negara di Eropa.

ASIRPA adalah kumpulan akademisi Asia yang salah satu tujuannya adalah membantu networking untuk mahasiwa dan dosen dari kawasan Asia, terutama Indonesia  yang ingin belajar ke Amerika dan kolaborasi riset. Salah satu kegiatannya adalah konferensi tahunan dan publikasi tulisan ilmiah.

Anak Betawi

“Saya ini asli Betawi. Keluarga besar saya tinggal di kawasan Cililitan,” Aya menceritakan latar belakang keluarganya.

Layaknya, anak Betawi yang lain, masa kecilnya  dilalui dengan pendidikan formal di pagi hari dan madrasah di sore hari.  Malamnya, mengaji berbagai ilmu agama Islam di majelis taklim yang dikelola ibunya.

“Ibu saya punya majelis taklim tempat ibu-ibu dan anak-anak belajar agama” jelas Aya.

Sang Ibu, Hj. Aisyah  memang sangat memperhatikan pendidikan agama anak-anaknya.  Sementara Sang Ayah, H. Muhammad Muchtar selalu memotivasi dan mendorong anak-anaknya untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya selagi ada peluang dan kesempatan.

Nurhaya Muchtar.


“Dalam desertasi, saya mencantumkan nama ayah saya sebagai orang yang paling berpengaruh terhadap pendidikan saya.  Beliau selalu bilang jangan sampai anak Betawi dikenal  sebagai orang yang  tidak berpendidikan,” kenang Aya kepada almarhum ayahnya.

Sekalipun tinggal bertahun-tahun di negeri orang, bersentuhan dengan banyak kalangan dan beragam budaya, namun Aya tetap menjaga identitasnya sebagai Anak Betawi.

“Sholat, puasa mah kudu dijalanin, meski tidak seperti di Jakarta. Sholat biasanya saya di rumah, karena kantor ke rumah cuma 5 menit sambil makan siang.  Sama dengan tarawih di bulan puasa, saya lebih sering tarawih sendirian,” ungkapnya.

Aya selalu menyempatkan berkomunikasi dengan Sang Ibu setiap hari. Ibu bagi Aya, adalah episentrum spiritualnya. Ibunya pun sudah beberapa kali diajak jalan-jalan ke Amerika.

“Pertama kali ibu saya ke sini, karena saya ingin menghiburnya  sepeninggal Aba, kakak dan adik saya yang meninggal dalam waktu berdekatan,” Aya berkisah.

Aya mengajak ibunya  keliling Amerika selama 6 minggu. Hikmahnya, Sang Ibu merasa lebih tenang dan tidak was-was setelah melihat langsung kehidupan sehar-hari anak perempuannya itu.  Untuk bertemu sang ibu dan keluarga yang lain, Aya menjadwalkan pulang ke Indonesia setiap 6 bulan sekali atau sewaktu-waktu jika ada keperluan.

Sebagai akademisi, Aya telah menulis berbagai pemikirannya dengan beragam tema baik jurnalistik, komunikasi, sosial-budaya dan agama. Publikasi Aya diterbitkan dalam bentuk jurnal maupun buku.

Aya sendiri sebenarnya ingin menjadi akademisi di Indonesia, hanya saja Aya belum mendapatkan kesempatan tersebut. Kesempatan justru datang dari berbagai universitas di luar negeri.

Nurhaya Muchtar (kiri).


“Dulu saya pernah beberapa kali untuk mengajukan aplikasi ke beberapa perguruan tinggi di Indonesia, namun tidak satupun yang merespon. Tapi ketika saya meng-apply di US, justru ada beberapa yang merespon dan saya memilih di tempat saya mengajar sekarang.  Sepertinya, pola penerimaan dosen di Indonesia berbeda mekanismenya dengan di sini,” ujar Aya.

Sebagai professional, Aya pun ingin bekerja dengan penuh dedikasi sebagai ladang ibadah.

"Ya, saya ingin melakukan yang terbaik dengan profesi ini. Saya ingin menjadikan profesi ini sebagai bagian dari ibadah saya dengan cara melakukan yang terbaik yang saya bisa seperti yang disampaikan Aba saya dulu,” tandas Aya.

Namun demikian, Aya tetap ingin kembali ke Indonesia. Bagaimanapun Indonesia adalah tanah kelahirannya.

“Saya ingin balik ke Indonesia. Mengerjakan apa saja sesuai dengan kompetensi saya apakah sebagai konsultan atau peneliti, kita lihatlah nanti. Yang pasti balik ke Indonesia seperti mengulang masa kecil untuk kembali mendengar suara adzan atau  makan makanan kesukaan saya, Lontong dan Gemblong, ha ha ha,” ujar Aya mengenang.

Dalam riset dan penelitiannya, Aya memfokuskan pada jurnalis dan media di berbagai negara  dunia. Untuk Indonesia, dia telah melakukan riset bersama koleganya, Masduki, Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Hasil penelitian itu dituangkan dalam sebuah buku “Jurnalis Di Indonesia, Antara Otonomi dan Intervensi”  yang diterbitkan oleh UII Press, Yogyakarta.  (Aswan AS)

Tags Terkait

-

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic