features

Purbayanomic: Angin Segar atau Populisme Semu

Penulis M. Hafid
Oct 12, 2025
Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Purbaya Yudhi Sadewo. (Foto: Instagram/menkeuri)
Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Purbaya Yudhi Sadewo. (Foto: Instagram/menkeuri)

Thephrase.id - Pada Senin (8/9) siang, telepon seluler Purbaya Yudha Sadewa tiba-tiba berdering. Suara Mayor Teddy Indra Wijaya, ajudan Prabowo Subianto yang kini naik tahta menjadi Sekretaris Kabinet (Seskab), terdengar di balik panggilan itu. Ia meminta Purbaya untuk bersiap-siap, sebab akan dilantik sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) yang baru.

Purbaya kaget bukan kepalang, perasaannya pecah menjadi dua; antara bahagia dan tidak percaya karena akan dilantik sebagai Bendahara Negara. Namun dia lekas menaruh curiga bahwa dirinya sedang ditipu oleh orang di balik suara tersebut. Nama dan nomor pemanggil pun dicek berulang kali.

"Saya cek yang telepon nomornya telepon beneran. Saya cek ternyata Seskab beneran," kata Purbaya dengan nada tak percaya. Berdasarkan pengakuannya, kabar itu datang 3,5 jam sebelum pelantikan di Istana Negara digelar. "Saya kaget juga, tadi dikasih tahu mungkin baru pukul 12.30 WIB," imbuhnya.

Pelantikan Purbaya sebagai Menkeu menandai titik akhir masa kepemimpinan Sri Mulyani Indrawati di posisi tersebut, posisi yang sudah diduduki selama kurang lebih 14 tahun sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Joko Widodo, hingga Prabowo.

Pencopotannya dinilai menambah daftar cobaan yang diderita Sri Mulyani. Sebab sepekan sebelumnya, dia harus menelan pil pahit usai kediamannya dijarah puluhan orang tak dikenal saat rentetan demonstrasi yang berujung anarkis pecah di akhir Agustus 2025. Berbagai barang berharganya raib digondol penjarah. Lukisan bunga yang dilukis melalui tangannya sendiri pada 17 tahun lalu, juga tak luput dijarah. Hati Sri Mulyani pun layu.

Rentetan demonstrasi sejak 25 Agustus yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia tidak hanya menyisakan goresan luka, tapi juga puing-puing bangunan dari pembakaran yang dilakukan terhadap gedung-gedung pemerintahan, kepolisian, hingga fasilitas umum. Amarah publik menyentuh titik kulminasi usai seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan meregang nyawa akibat dilindas kendaraan taktis (rantis) polisi.

Mirisnya, demonstrasi itu dianggap hanya sebatas suara sebagian kecil masyarakat yang merasa terganggu lantaran hidupnya penuh kekurangan dan tidak bisa makan enak. Nahasnya, pernyataan itu disampaikan Purbaya usai beberapa jam dilantik sebagai Menkeu. Purbaya lantas bertekad mengerek pertumbuhan ekonomi di Indonesia hingga mencapai 6-7%.

"Itu (demonstrasi) akan hilang dengan otomatis (jika ekonomi tumbuh). Mereka akan sibuk cari kerja dan makan enak dibandingkan mendemo," kata Purbaya menanggapi pertanyaan awak media ihwal adanya tuntutan publik '17+8' yang menggema di media sosial yang berujung permohonan maaf darinya.

Purbaya terkesan menganggap enteng persoalan pelik yang melilit rakyat bawah. Dia juga sesumbar mengaku sebagai ahli fiskal yang sudah berulang kali membantu pemerintah ketika perekonomian sedang terpuruk. Bahkan, dasar penunjukannya sebagai Menkeu disebut karena dirinya "jago" dalam hal memperbaiki ekonomi. "Saya ahli fiskal, jadi saya mengerti betul fiskal yang baik seperti apa," ucapnya.

Purbayanomic: Likuiditas Banjir, Kredit Tidak Ngalir

Genap satu bulan menjabat sebagai Menkeu per Rabu (8/10), langkah Purbaya dalam mempreteli perekonomian Indonesia sepintas telah melampaui ekspektasi masyarakat. Kritikan yang mengalir pada hari pertama menjabat lantaran pernyataan kontroversialnya soal aksi demonstrasi, kini justru berubah menjadi pujian di media sosial.

Bahasanya yang ‘ceplas ceplos’ dianggap tidak melulu kosong melompong, melainkan berisi gebrakan stimulus perekonomian. Gebrakannya itu kemudian disebut sebagai Purbayanomic. Pencabutan dana menganggur pemerintah atau yang disebut sisa anggaran lebih (SAL) sebesar Rp200 triliun dari total simpanan pemerintah Rp440 triliun di Bank Indonesia (BI), lalu menyalurkannya ke lima himpunan bank milik negara (Himbara), menjadi gebrakan pertama Purbaya.

Lima bank Himbara yang mendapat kucuran dana adalah Mandiri, BRI, BTN, BNI, dan BSI. Jumlah yang diterima kelima bank itu berbeda-beda, Mandiri, BNI, dan BRI sama-sama mendapat bagian Rp55 triliun. BTN Rp25 triliun, sedangkan BSI mendapat sebesar Rp10 triliun.  

Penggelontoran dana segar itu berlaku sejak 12 September 2025 dan sudah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025. Purbaya menganggap bank tersebut sedang mengalami kekeringan likuiditas, sehingga perlu untuk memberi tambahan likuiditas atau tambahan uang tunai kepada perbankan agar dapat menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat.

"Tujuannya supaya bank punya duit, banyak cash tiba-tiba, dan dia (bank) gak bisa naruh di tempat lain selain dikreditkan. Jadi, kita memaksa market mekanisme berjalan," katanya, Rabu (10/09). Berdasarkan logika Purbaya, bank yang diberi kucuran dana segar sudah siap apabila ada nasabah yang membutuhkan uang, misal dalam bentuk penarikan deposito, tabungan, hingga pinjaman.

Purbayanomic  Angin Segar atau Populisme Semu
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudha Sadewa. (Foto: Instagram/menkeuri)

Mantan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu, menyebut lesunya perekonomian Indonesia salah satu sebabnya adalah dana lebih milik pemerintah tidak dialirkan ke hal yang lebih produktif dan hanya dibiarkan mendekam di bank sentral. Akibatnya, perputaran ekonomi di masyarakat lemah, daya beli beli menurun, produksi pun berkurang, dan pada laju ekonomi nasional.

Beberapa minggu pasca penggelontoran dana tersebut, Purbaya mengklaim penyaluran yang dilakukan kelima bank itu menunjukkan tren positif, realisasi penyalurannya dari total Rp200 triliun sudah mencapai Rp112,4 triliun atau 56%. Rinciannya, Bank Mandiri sudah menyalurkan Rp40,6 triliun atau 74% dari Rp 55 triliun yang diterima, Bank BRI mencapai Rp33,9 triliun atau 62% dari jumlah dana yang sama.

Sementara, BNI baru menyalurkan Rp27,6 triliun atau 50% dari Rp55 triliun, realisasi penyaluran BTN sudah mencapai Rp4,8 triliun atau 19% dari Rp 25 triliun, dan BSI sebesar Rp5,5 triliun atau 55% dari Rp10 triliun.

Berkat lainnya dari penggelontoran dana tersebut berdampak pada pertumbuhan uang primer (M0). Menurutnya, pertumbuhan M0 pada September meningkat mencapai 13,2%, hal itu pertanda pencairan dana segar tersebut berdampak pada sistem keuangan. “Jadi tumbuh 13,2% cukup, nanti kalau kurang saya tambah lagi,” ucapnya.

Sepintas, gebrakan fiskal Purbaya tersebut memberi angin segar bagi perekonomian Indonesia, paling tidak berdasarkan klaimnya sendiri. Namun, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tak lebih hanya menganggap gebrakan tersebut sebagai "gula-gula" ekonomi di tengah merosotnya daya beli masyarakat. Klaim penyaluran kredit yang mencapai Rp112,4 triliun dari total Rp200 triliun itu, belum bisa dirasakan oleh mereka.

Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (AKUMANDIRI), Hermawati Setyorinny menyebut kebijakan Menkeu tersebut belum menyentuh akar persoalan yang dialami oleh pelaku UMKM, khususnya pelaku usaha mikro. Sebab akses permodalan tidak bisa didapatkan dengan mudah sekalipun sudah digelontorkan dana segar.

Menurut Hermawati, pelaku UMKM harus bersusah payah untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan pihak bank. Selain itu, ada tahapan pemeriksaan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) dalam pengajuan kredit. Pihak bank juga memeriksa data calon kreditur, apakah terdaftar sebagai penerima program kredit dari pemerintah atau tidak. "Nah, itu tahapan kedua itu yang kadang juga membuat sulit para pelaku UMKM," kata hermawati saat dihubungi ThePhrase.id, Rabu (8/10).

Purbayanomic  Angin Segar atau Populisme Semu
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (AKUMANDIRI), Hermawati Setyorinny. Foto: Antara/Pamela Sakina.

Kesulitan lainnya bagi pelaku UMKM yang hendak melakukan kredit adalah adanya kewajiban jaminan yang diminta oleh sebagian bank. tetapi, ada juga bank yang tidak mewajibkan adanya jaminan, hal itu menurut Hermawati, justru mempersulit pelaku UMKM untuk melakukan kredit. Seharusnya, lanjut dia, Rp200 triliun yang digelontorkan dan harus segera terserap membutuhkan akses kemudahan kredit bagi UMKM, sayangnya kemudahan itu belum terlihat hilalnya.

Hermawati mengungkapkan, yang tidak kalah menyulitkan bagi UMKM selain persyaratan pengajuan kredit adalah lemahnya daya beli masyarakat, sehingga pelaku UMKM memilih mempertimbangkan untuk tidak menarik kredit karena khawatir tidak mampu membayar, apalagi suku bunga kredit tidak bersahabat dengan pelaku usaha mikro.

"Yang paling penting adalah jika mereka mendapatkan kredit pun, mereka pasti butuh kehatian-kehatian. Karena gini, marketnya ada nggak? market ada, tapi daya beli masyarakat yang turun itu menjadikan konsumen akan mencari barang yang murah. Yang murah itu kebanyakan justru produk-produk impor yang berada di Indonesia, bukan produknya UMKM," paparnya.

Kekhawatiran pelaku usaha mikro itu sejalan data perkembangan uang beredar (M2), dimana kredit perbankan ke sektor UMKM hanya tumbuh 1,3% year on year (yoy) menjadi sebesar Rp1.494,5 triliun. Pertumbuhan ini jadi yang terburuk, setidaknya sejak pandemi Covid-19 dinyatakan berakhir pada Juni 2023.

Purbayanomic  Angin Segar atau Populisme Semu
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda. Foto: ANTARA/Rizka Khaerunnisa

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menyebut kebijakan Purbaya yang menggelontorkan Rp200 triliun ke lima bank Himbara itu tidak berpengaruh besar kepada perekonomian. Menurut dia, seretnya perekonomian Indonesia bukan karena likuiditas perbankan kering, melainkan karena terjadi penurunan permintaan kredit.

"Jadi kebijakan tersebut ya tidak akan berpengaruh banyak terhadap perekonomian. Bahkan Bank Himbara harus menanggung beban dari pemberian likuiditas tersebut," kata Huda kepada ThePhrase.id, Selasa (7/10).

Sementara itu, Ekonom Universitas Andalas Prof Syafruddin Karimi menilai, penyaluran kredit yang loyo dalam beberapa waktu terakhir disebabkan karena penurunan selera risiko, keterbatasan proyek bankable yang siap eksekusi, penyesuaian suku bunga yang belum tuntas, dan permintaan kredit yang tertahan oleh ketidakpastian.

"Penempatan Rp200 triliun mengurangi hambatan sisi pendanaan, tetapi kunci pemulihan kredit justru berada pada pipeline proyek, kecepatan proses persetujuan, dan kepastian pasar. Jika tiga faktor ini bergerak, penyaluran akan bangkit tanpa harus menurunkan standar prudensial," ujarnya kepada ThePhrase.id, Selasa (7/10).

Purbayanomic  Angin Segar atau Populisme Semu
Ekonom Universitas Andalas Prof Syafruddin Karimi. Foto: dok. pribadi

Menurutnya, kebijakan Purbaya tersebut justru dapat memunculkan risiko lain karena memaksa bank mengejar target penyaluran tanpa kesiapan proyek dan manajemen risiko. Misalnya, kredit yang terburu-buru berpotensi meningkatkan Non Performing Loan (NPL), menekan kualitas aset, dan melemahkan kemampuan bank menyalur ulang pembiayaan.

Tak hanya itu, Syafruddin juga menyampaikan bahwa kebijakan yang terlalu fokus pada pembelanjaan konsumsi tanpa penguatan pasokan logistik dan produksi dapat berisiko memantik lonjakan harga musiman. "Efek buruk lain timbul bila sinyal fiskal mengaburkan konsistensi defisit; persepsi pasar yang goyah bisa menahan arus modal dan mengerek biaya pinjaman pemerintah serta swasta," paparnya. (Penulis: M. Hafid dan Rangga Bijak Aditya)

Artikel Pilihan ThePhrase

- Advertisement -
 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic