features

Ramai-ramai Gabung Prabowo-Gibran, Masyarakat Pemilih Kena Prank?

Penulis Aswandi AS
May 02, 2024
PKB nyatakan dukung pemerintahan Prabowo-Gibran. (Foto: Instagram/cakiminow)
PKB nyatakan dukung pemerintahan Prabowo-Gibran. (Foto: Instagram/cakiminow)

ThePhrase.id - Melihat kasak kusuk pemimpin dan pengurus partai politik pasca pilpres 2024 yang berlomba-lomba mendekat ke presiden dan wakil presiden terpilih,  membuat sebagian dari publik mempertanyakan hal itu,  kaitannya dengan nilai dan kepatutan dalam politik yang  kita anut selama ini.  Beberapa netizen merasa kena “prank”   karena partai-partai yang kalah kemudian  memilih bergabung dengan partai yang calonnya menang  dalam pilpres  lalu.  

Ada juga netizen yang berkomentar, mengapa kita capek-capek disuruh untuk memilih capres dan cawapres dari partai merah, kuning, hijau dan biru, kalau ternyata pemenangnya adalah partai yang besar kuasanya dan yang paling banyak lembaran merah dan birunya?

Bagi publik awam yang tak terbiasa bermain politik praktis, akan melihat Pilpres 2024 lalu sebagai sesuatu yang anomali, mengapa? Karena banyak peringatan dan teguran dari para guru besar, akademisi, dan masyarakat sipil pegiat demokrasi tentang penyimpangan dan pelanggaran pemilu oleh penguasa yang tidak digubris dan tak dianggap sebagai pelanggaran atau kesalahan. Celakanya lagi, ketika dibawa ke pengadilan atau Mahkamah Konstitusi, pelanggaran dan peyimpangan itu dianggap sah dan baik-baik saja  melalui keputusan yang menolak gugatan pihak yang mempersoalkan pelanggaran dan perilaku cawe-cawe itu.

Thephrase.id telah mencatat ada dua pertanyaan publik tentang hal-hal yang terkait pilpres dan fenomena ikutan setelahnya. Pertama, mengapa peringatan para guru besar, akademisi, pendidik dan pegiat demokrasi tentang pelanggaran aturan dan konstitusi tidak digubris penguasa.

Jawaban yang paling banyak terdengar  dari pertanyaan ini adalah sengketa pilpres  tentang kecurangan dan pelanggaran pilpres sudah diselesaikan di MK. Keputusan MK  itu mengikat dan tak bisa diganggu gugat.  Seperti disampaikan oleh Ahli Hukm Tata Negara Abdul Chair Ramadhan  yang menyebut keputsan MK itu sudah final dan mengikat.

“Putusan Mahkamah konstitusi itu final and binding. Jadi Tidak ada lagi upaya-upaya hukum lain,” kata Chair Ramadhan  pada Senin 22 April 2024.

Namun penjelas pertanyaan ini bisa dilihat pada dua perspektif politik. Aktivis dan Pengamat Politik Syahganda Nainggolan menyebut dua perspektif itu dengan Politik Normatif dan  Politik Kekuasaan. Para guru besar dan akademisi melihat perilaku penguasa dengan kacamata politik normatif, yakni politik  yang melihat bagaimana dunia ini  berfokus  pada ekplorasi nilai-nilai  dan apa yang harus dilakukan berdasarkan nilai tersebut.  Sebaliknya, penguasa atau rezim menjalankan politik dengan politik kekuasaan, yakni politik praktis untuk mendapatkan kekuasaan dan bagaimana cara mempertahankannya.  Jika tidak ada kontrol, politik kekuasaan ini akan menabrak nilai dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.  

Ramai ramai Gabung Prabowo Gibran   Masyarakat Pemilih Kena Prank
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. (Foto: Instagram/cakiminow)

Sebagai negara hukum, tentu semua perilaku dan langkah politik harus terukur sesuai dengan aturan dan konstitusi. Karena itu, apabila ada dugaan pelanggaran dalam langkah dan perilaku poltik, harus diuji pada proses hukum di institusi hukum dalam hal ini Mahkamah Konstitusi.  Namun sayangnya, di Indonesia hukum belum jadi panglima tetapi masih berada dalam kekuasaan politik yang berakibat  pada banyaknya proses hukum yang diintervensi oleh kekuatan dan kepentingan politik.

“Belum ada dalam sejarah kita, Mahkamah Konstitusi memenangkan guguatan pihak yang kalah,” kata Syahganda  di channel Abraham Samad Speak up.

Kedua, Mengapa pimpinan partai politik yang kalah dalam kontestasi bisa langsung bergabung pada partai atau pihak yang menang? Mengapa tidak memilih menjadi oposisi sebagai kekuatan penyeimbang untuk mengontrol penguasa menjalankan pemerintahannya?  

Sebagai negara yang menganut sistem politik presidentil, Indonesia tidak mengenal  oposisi  sebagaimana oposisi yang ada pada negara dwi partai seperti Amerika atau pada negara dengan sistem parlementer.   Konstitusi Indonesia tidak mengatur tentang oposisi dalam penyelenggaraan pemerintahan.  Karena itu, tidak ada larangan bagi pihak yang kalah untuk bergabung pada pihak yang menang. Kalaupun ada partai yang menamakan diri oposisi atau oposan karena lebih pada sikap atau keputusan partai itu yang memilih untuk tidak bergabung dengan pemerintah.

Memang untuk check and balance, oposisi menjadi penting agar penguasa dapat menjalankan pemerintahannya sesuai aturan.   Anies Baswedan dalam beberapa kesempatan semasa kampanye kerap menyinggung jika oposisi sama mulianya  dengan  pihak yang berkuasa.

“Sayangnya, tidak semua orang tahan menjadi oposisi,” kata Anies, pada debat capres,  12 Desember 2023 lalu.

Prabowo Subianto sendiri pernah mengakui bahwa banyak usahanya mandek dan asetnya macet karena tidak berkuasa. “Banyak aset saya yang mandek, tidak dapat kredit. Karena saya tidak berkuasa 20 tahun,” ujar Prabowo Subianto di Universitas Gadjah Mada, Rabu 20 September 2023.

Ramai ramai Gabung Prabowo Gibran   Masyarakat Pemilih Kena Prank
Partai NasDem nyatakan dukung pemerintahan Prabowo-Gibran. (Foto: Instagram/sufmi_dasco)

Ucapan Prabowo ini menjadi alasan yang menjelaskan mengapa partai yang jagonya kalah di pemilihan itu buru-buru mendukung dan merapat kepada pihak yang menang.  Seperti yang dilakukan ketua Nasdem Surya Paloh, yang mengucapkan selamat kepada Prabowo-Gibran begitu KPU mengumumkan hasil Pilpres 20 Maret 2024. ‘

“NasDem menyatakan sekali lagi demi kepentingan persatuan nasional, ya menerima hasil Pemilu 2024," jelas Surya Paloh di NasDem Tower, Gondangdia, Jakarta Pusat.

Sejumlah pihak mempertanyakan gerak cepat Surya Paloh menerima hasil Pemilu ini karena tahapan pemilu masih belum selesai, karena masih ada satu tahapan lagi yakni membawa sengketa Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.

Namun, jika melihat ucapan Prabowo di atas  tentang usahanya yang mandek karena tidak berkuasa selama 20 tahuh, maka  sikap Surya Paloh dan Nasdemnya  itu bisa dipahami. Karena selain sebagai politisi, Surya Paloh juga adalah seorang pengusaha yang pasti tak ingin usahanya mandek jika tidak berkuasa.

Karena itu, kalaupun ada tudingan terhadap kecurangan kepada pihak yang menang itu merupakan bagian dari strategi atau cara untuk bisa bergabung  bersama dengan pemenang.  Seperti yang disinyalir oleh Pengamat Politik, Adi Prayitno  yang menilai  tudingan kecurangan itu, sejatinya itu bagian dari cara agar bisa gabung menjadi bagian dari koalisi kubu yang menang.

“Yang ramai itu hanya tim hukum yang saling tuding siapa yang salah dan benar. Nanti para politisi dan ketum-ketum partai mendukung calon presiden dan wakil presiden yang dinilai menang dengan kecurangan untuk menjadi bagian dari koalisinya,” kata Adi di channel Youtube Inews.

Karena itu, meskipun alasan verbal partai atau tokoh politik yang kalah merapat kepada pemenang untuk keutuhan bangsa negara, namun di balik itu juga ada alasan pragmatis  yakni agar partai dan politisinya juga ikut kebagian cuan. Apalagi bisnis atau usaha pengurus dan anggota partai berasal dari proyek pemerintah yang dianggarkan dari APBN.

Perilaku pemilih akar rumput yang sudah terbiasa dengan menerima uang  pada setiap pemilihan juga memaksa para pengurus dan anggota partai untuk mengumpulkan cuan sebanyak-banyaknya, untuk persiapan pada pemilihan berikutnya.  Dari sudut ini bisa dipahami kalau ada slogan “no Cuan, No Kemenagan”.

Harus ada penjelasan

Terlepas dari adagium politik, tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi, namun pertanyaan sebagian publik  seputar  fenomena yang ada dalam perpolitikan kita hari  ini harus ada penjelasan yang tegas tentang sistem politik dan demokrasi yang kita gunakan dalam tata kelola kenegaraan kita. Hal ini penting agar tak memunculkan frustasi di kalangan pemilih rasional,  yang memilih partai atau presiden dan wakil presiden berdasarkan  pada gagasan, rekam jejak dan flatform yang diusung para kontestan.  Jangan sampai  publik ini merasa hanya diperalat oleh para politisi untuk legitimasi kepentingannya, yang akan mendegrasi partasipasi mereka dalam pemilu berikutnya. (Aswan AS)

Tags Terkait

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic