features

Rapor Merah Kinerja Satu Tahun Prabowo-Gibran

Penulis Redaksi
Oct 21, 2025
Presiden RI, Prabowo Subianto dan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka. (Foto: Instagram/presidenrepublikindonesia)
Presiden RI, Prabowo Subianto dan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka. (Foto: Instagram/presidenrepublikindonesia)

ThePhrase.id - Hasil survei terbaru dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memberi “rapor merah” bagi kinerja satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka. Dengan skor rata-rata hanya 3 dari 10, survei ini menunjukkan ketidakpuasan publik terhadap arah kebijakan dan efektivitas program pemerintah.

Mayoritas responden menilai janji politik dijalankan setengah hati, kebijakan belum menyentuh kebutuhan masyarakat, serta komunikasi publik pemerintah belum memuaskan. Kritik juga mengemuka terhadap aspek transparansi anggaran dan penegakan hukum yang dinilai semakin tumpul. Bagi CELIOS, temuan ini menandakan adanya jurang antara retorika kampanye dan realitas kebijakan di lapangan, di mana masyarakat mulai menuntut hasil konkret dari narasi besar “melanjutkan pembangunan”.

Dari sisi sosial dan ekonomi, survei ini menyoroti rasa frustrasi publik terhadap beban pajak dan pungutan yang dinilai memberatkan, serta program bantuan ekonomi yang belum banyak membantu kebutuhan dasar. Sebanyak 96 persen responden bahkan menyetujui wacana reshuffle kabinet sebagai langkah penyegaran agar pemerintahan lebih responsif terhadap aspirasi rakyat.

Meskipun hasil ini berbeda dengan survei lembaga lain yang menunjukkan tingkat kepuasan di atas 70 persen, riset CELIOS menegaskan pentingnya mengukur kinerja tidak hanya dari popularitas, tetapi dari sejauh mana kebijakan menghadirkan kesejahteraan yang nyata dan keadilan sosial bagi masyarakat luas.

Rapor satu tahun Kabinet Prabowo–Gibran, sebagaimana tergambar dalam survei CELIOS menjadi cermin awal bagi publik untuk menilai arah pemerintahan baru yang lahir di tengah ekspektasi besar sekaligus skeptisisme mendalam. Dengan skor keseluruhan hanya “3 dari 10”, dan catatan bahwa hampir seluruh komponen penilaian publik menunjukkan ketidakpuasan signifikan, rapor ini bukan sekadar kumpulan angka, melainkan refleksi dari ketegangan antara janji politik, realitas kebijakan, dan aspirasi ekonomi rakyat yang masih jauh dari terpenuhi.

Dari kacamata ekonomi politik, rapor ini memperlihatkan gejala klasik sebuah pemerintahan yang belum mampu menyeimbangkan kekuatan oligarki ekonomi dengan tuntutan keadilan sosial, sekaligus menandakan lemahnya proses institusionalisasi kebijakan publik yang berpihak kepada masyarakat bawah.

Nilai 56% pada indikator “Janji Politik Setengah Hati” mengisyaratkan bahwa mayoritas responden melihat janji politik Prabowo–Gibran hanya terealisasi sebagian kecil. Dari perspektif ekonomi politik, hal ini berkaitan erat dengan bagaimana janji kampanye sering kali berfungsi sebagai alat legitimasi elektoral, bukan sebagai kontrak sosial yang mengikat secara etis dan kebijakan.

Retorika populisme ekonomi yang menonjol dalam kampanye, seperti “makan siang gratis”, “bantuan langsung rakyat”, atau “hilirisasi berkeadilan”, kini berhadapan dengan struktur birokrasi dan ekonomi yang dikuasai elite lama. Dalam konteks teori Gramscian, blok kekuasaan yang menopang pemerintahan justru tampak lebih dekat pada kepentingan kapital besar ketimbang rakyat pekerja.

Dengan demikian, janji politik setengah hati ini menunjukkan bukan hanya persoalan teknis implementasi, tetapi juga problem ideologis, yakni absennya orientasi ekonomi yang benar-benar redistributif.

Di sisi lain,  publik memerikan angka 72% untuk “Capaian Program Masih Belum Efektif”, memperlihatkan bahwa sebagian besar masyarakat menilai kebijakan pemerintah belum menyentuh akar persoalan kesejahteraan. Dalam satu tahun pertama, program ekonomi makro lebih banyak berfokus pada kesinambungan proyek pemerintahan sebelumnya seperti pembangunan infrastruktur besar, alih-alih memperkuat ekonomi rakyat kecil.

Secara teoretis, efektivitas program publik harusnya diukur bukan hanya dari output (berapa dana terserap), melainkan dari 'outcome' sosial dan  ekonomi yang nyata,  misalnya penurunan kemiskinan, pengendalian harga bahan pokok, dan penciptaan lapangan kerja produktif.

Ketika kebijakan lebih berpihak pada sektor padat modal dan ekstraktif seperti tambang nikel dan energi, maka rakyat kecil hanya menjadi penonton dari pertumbuhan yang timpang.

Hal ini memperkuat argumen David Harvey tentang “accumulation by dispossession”, yakni akumulasi kekayaan melalui perampasan sumber daya publik oleh segelintir elite ekonomi dan politik.

Survei CELIOS juga menempatkan indikator “Rencana Kebijakan Tak Sesuai Kebutuhan Publik” pada angka 80%, sebuah sinyal bahwa perencanaan kebijakan masih top-down dan teknokratis. Dalam kerangka ekonomi politik, ketidaksesuaian ini muncul karena proses perumusan kebijakan tidak berbasis pada partisipasi masyarakat dan data kebutuhan lokal.

Pola perencanaan nasional masih mengikuti logika pembangunanisme lama, yang menekankan pertumbuhan ekonomi makro dan investasi asing, sementara kebutuhan dasar seperti akses pendidikan, kesehatan, dan pangan lokal masih terpinggirkan. Kesenjangan kebijakan semacam ini memperlihatkan bahwa negara lebih berperan sebagai fasilitator akumulasi kapital daripada sebagai pelindung kesejahteraan sosial.

Aspirasi rakyat yang menuntut pemerataan dan jaminan sosial justru tenggelam di bawah narasi “daya saing global” yang sering digunakan untuk menjustifikasi kebijakan pro-korporasi.

Pada bagian kualitas kepemimpinan, publik memberikan nilai 64% pada “Kualitas Kepemimpinan di Bawah Ekspektasi”.  Hal ini mencerminkan krisis legitimasi moral dan kapasitas administratif di tubuh pemerintahan. Dalam perspektif ekonomi politik, ini menandai problem sirkulasi elite: kekuasaan berpindah tangan di antara jaringan politik yang sama tanpa perubahan paradigma kepemimpinan.

Figur-figur lama dari militer, partai besar, dan korporasi masih mendominasi struktur pemerintahan, sedangkan regenerasi politik belum melahirkan pemimpin dengan visi transformasi sosial. Keterlibatan Gibran sebagai wakil presiden muda semestinya membawa semangat pembaruan, namun dalam praktiknya masih dipandang simbolis dan penuh patronase. Akibatnya, politik representasi gagal berubah menjadi politik partisipasi yang melibatkan rakyat secara substantif.

Pemerintahan Prabowo-Gibran juga didera oleh tata kelola anggaran dan komunikasi publik yang buruk. Dua indikator; “Tata Kelola Anggaran Belum Transparan” (81%) dan “Komunikasi Kebijakan Belum Memuaskan” (91%) menjadi kritik paling keras terhadap aspek akuntabilitas pemerintahan. Transparansi anggaran adalah fondasi demokrasi fiskal, tetapi dalam kenyataan, publik sulit mengakses data detail mengenai alokasi dan efektivitas belanja negara.

Keterlambatan publikasi data APBN dan minimnya pelibatan masyarakat sipil dalam audit anggaran memperlihatkan lemahnya mekanisme kontrol sosial. Dari sisi komunikasi kebijakan, pemerintah tampak lebih mengandalkan narasi media arus utama ketimbang dialog substantif dengan masyarakat.

Dalam perspektif teori deliberasi  ruang publik, kegagalan komunikasi ini menandakan bahwa pemerintah belum menciptakan ruang deliberatif yang sehat, di mana warga dapat berpartisipasi aktif dalam wacana kebijakan. Alih-alih dialog, yang muncul justru monolog kekuasaan yang dibungkus jargon populis.

Pada bagian penegakan hukum, publik menilai Indikator “Penegakan Hukum Semakin Tumpul” (75%) dan “Pemberantasan Korupsi Belum Maksimal” (43%) menegaskan menurunnya kepercayaan publik terhadap integritas lembaga hukum. Lemahnya penegakan hukum bukan semata masalah teknis, tetapi merupakan konsekuensi logis dari relasi kuasa antara aktor politik dan ekonomi. Ketika kepolisian dan kejaksaan masih terikat pada kepentingan penguasa atau kelompok bisnis besar, maka hukum kehilangan fungsi egalitariannya.

Rapor Merah Kinerja Satu Tahun Prabowo Gibran
Pengajar Perbandingan Politik, STISNU Kota Tangerang, Abdul Hakim. (Foto: Istimewa)

Kasus korupsi yang menjerat pejabat publik sering berakhir tanpa kejelasan, sementara aparat penegak hukum cenderung represif terhadap aktivis atau jurnalis yang kritis. Dalam kondisi demikian, negara tampak berfungsi sebagai “aparat ideologis”, meminjam istilah Althusser,  yang menjaga stabilitas kepentingan elite, bukan sebagai penjamin keadilan rakyat.

Kinerja menteri yang buruk dan ketimpangan koordinasi antar lembaga juga menjadi perhatian utama publik, 96% responden menilai “Menteri Berkinerja Buruk dan Dituntut Mundur”, serta 58% yang menyebut koordinasi “Lintas Lembaga Tak Serasi”, terlihat jelas adanya fragmentasi dalam kabinet.

Dari sisi ekonomi politik pemerintahan, disharmoni ini muncul karena kabinet dibentuk bukan berdasarkan kompetensi teknokratik, melainkan hasil kompromi politik koalisi besar. Ketika kementerian menjadi alat bagi partai-partai untuk mengamankan rente dan sumber daya, maka koordinasi kebijakan menjadi lemah dan tumpang tindih.

Publik merasakan langsung dampaknya: kebijakan ekonomi yang tidak konsisten, program bantuan sosial yang tidak tepat sasaran, dan regulasi investasi yang berubah-ubah. Dalam jangka panjang, fragmentasi seperti ini menurunkan efisiensi birokrasi dan memperlambat pemulihan ekonomi rakyat.

Di tengah ekonomi yang melambat, beban pajak dan bantuan ekonomi dinilai tidak berpihak pada masyarakat kecil. Nilai 84% untuk “Pajak dan Pungutan Memberatkan Masyarakat” dan 53% untuk “Bantuan Ekonomi Tak Membantu Kebutuhan Harian” mengindikasikan bahwa arah kebijakan fiskal masih belum berpihak pada kelas pekerja dan pelaku usaha kecil.

Dalam logika ekonomi politik neoliberal, negara cenderung menekan beban pajak kepada masyarakat umum melalui skema PPN dan retribusi, sementara memberikan berbagai insentif kepada korporasi besar. Akibatnya, terjadi redistribusi terbalik, dari bawah ke atas, yang memperlebar jurang ketimpangan.

Program bantuan langsung tunai atau ekonomi harian yang bersifat karitatif tidak mampu mengimbangi beban struktural tersebut, karena tidak disertai kebijakan penguatan produksi rakyat, seperti dukungan terhadap UMKM, koperasi, dan sektor pertanian lokal. Aspirasi rakyat jelas: mereka menuntut negara yang lebih protektif terhadap ekonomi domestik, bukan sekadar pembagi bantuan temporer.

Kita juga masih menyaksikan kemandekan reformasi birokrasi dan lemahnya pemberantasan korupsi. Skor terendah pada “Pemberantasan Korupsi Belum Maksimal” (43%), masyarakat mengirim sinyal keras bahwa janji reformasi birokrasi masih sebatas retorika.

Dalam perspektif ekonomi politik, korupsi bukan hanya tindakan individu, melainkan mekanisme distribusi rente di dalam sistem kapitalisme patronase. Ketika jabatan publik digunakan sebagai instrumen akumulasi, maka pemberantasan korupsi tidak akan efektif tanpa restrukturisasi sistem politik dan ekonomi.

Upaya penegakan hukum yang selektif dengan menjerat lawan politik tetapi menoleransi kroni kekuasaan turut memperdalam sinisme publik terhadap lembaga negara. Akibatnya, legitimasi moral pemerintahan tergerus, dan kepercayaan terhadap reformasi hilang dari horizon masyarakat.

Salah satu catatan paling signifikan dalam rapor tersebut adalah turunnya elektabilitas Prabowo Subianto menjadi 34%. Penurunan ini bukan sekadar fluktuasi politik, melainkan refleksi dari akumulasi kekecewaan sosial. Aspirasi rakyat Indonesia saat ini cenderung menuju dua arah: pertama, keinginan akan pemerintahan yang tegas, bersih, dan mandiri; kedua, harapan terhadap kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil, bukan elite korporasi.

Ketika pemerintahan gagal memenuhi dua aspirasi ini secara bersamaan, maka jarak antara negara dan rakyat semakin melebar. Dalam konteks ekonomi politik, inilah gejala “krisis hegemonik” di mana pemerintah kehilangan kemampuan membangun persetujuan moral dan intelektual dari masyarakat, dan hanya mengandalkan kekuasaan koersif atau simbolik untuk mempertahankan legitimasi.

Rapor satu tahun Kabinet Prabowo–Gibran memperlihatkan realitas pahit transisi politik: bahwa pergantian kepemimpinan tidak otomatis membawa perubahan struktural. Skor rendah pada hampir semua aspek kinerja menunjukkan bahwa janji keberpihakan terhadap rakyat belum diwujudkan dalam kebijakan nyata.

Dalam perspektif ekonomi politik, kegagalan ini bukan hanya akibat lemahnya kapasitas birokrasi, tetapi karena struktur ekonomi-politik Indonesia masih dikendalikan oleh oligarki, sekelompok kecil elite yang menguasai modal, media, dan kekuasaan politik secara bersamaan. Aspirasi rakyat untuk keadilan sosial dan pemerintahan bersih masih terjebak dalam sistem yang lebih mementingkan stabilitas kekuasaan daripada distribusi kesejahteraan.

Namun demikian, rapor ini juga membuka peluang refleksi. Bagi masyarakat sipil, akademisi, dan gerakan sosial, data tersebut menjadi alat kritik yang sah untuk menuntut perubahan arah kebijakan. Kritik terhadap rendahnya transparansi anggaran, lemahnya komunikasi publik, dan buruknya penegakan hukum harus diartikulasikan sebagai dorongan menuju reformasi institusional yang lebih dalam.

Pemerintahan yang berani mendengarkan aspirasi rakyat dan memperbaiki kinerjanya secara substantif masih memiliki ruang untuk memulihkan kepercayaan publik. Tetapi bila pola patronase, oligarki, dan populisme kosmetik terus dipertahankan, maka krisis legitimasi hanya akan semakin dalam, dan demokrasi kehilangan substansinya, yakni pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. (Penulis: Abdul Hakim, Pengajar Perbandingan Politik, STISNU Kota Tangerang)

Artikel Pilihan ThePhrase

- Advertisement -
 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic