
Thephrase.id - Status tersangka Firli Bahuri sudah memasuki hari ke 734 atau dua tahun lebih empat hari per 26 November 2025, sejak diumumkan Polda Metro Jaya pada 22 November 2023. Status itu perlahan kabur dari ingatan masyarakat, tapi tertulis rapi dalam catatan kejahatan kepolisian.
Firli jadi tersangka dalam kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL), yang dilakukan ketika menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Firli disebut menerima uang sebesar Rp 1,3 miliar dari SYL secara bertahap, saat menangani kasus korupsi yang terjadi selama periode 2020-2023. Pemberian uang itu diakui SYL dalam persidangan pada Senin, 24 Juni 2024 di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Namun, kasus itu justru mandek. Polda Metro Jaya, yang kala itu masih berada di bawah kendali Irjen Karyoto sebagai Kapolda, terkesan tarik ulur untuk menyelesaikannya.
"Saya tidak diam, mana Dirreskrimsus? Buka telinga lebar-lebar, catat. Ketika perkara ini belum selesai, ini hutang saya," kelakar Karyoto saat berjanji akan menyelesaikan kasus itu dalam waktu dua bulan, yang disampaikan pada 31 Desember 2024 lalu.
Hingga Karyoto melepas kursi Kapolda Metro Jaya pada 5 Agustus 2025 dan menjadi Kabaharkam Polri menggantikan Komjen Fadil Imran, kasus itu tak kunjung selesai, hanya berjalan di tempat hingga hari ini.
Firli dituduh melanggar Pasal 12 e dan atau Pasal 12 B dan atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 65 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman penjara seumur hidup.
Kasak-kusuk Penanganan Perkara
Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto menyebut kasus yang menyeret Firli lebih kental unsur politisnya dibanding upaya penegakan hukum. Hari mengajak mundur jauh ke belakang, menilik muasal kasus itu.
Berdasarkan catatannya, kasus itu bermula ketika KPK, lembaga yang dinahkodai Firli sedang mengusut kasus dugaan suap pembangunan dan pemeliharaan jalur kereta api di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan di wilayah Jawa Tengah (Jateng).

Dalam penyidikannya, terungkap salah seorang pengusaha berinisial S sebagai calo dalam perkara itu. S disebut mendapat komisi Rp 5 miliar. Namun, dalam pemeriksaan lanjutannya, S disebut menerima uang Rp 50 miliar dari kasus tersebut.
Sejumlah uang yang diterima S kemudian dibagikan kepada beberapa pihak, termasuk kepada seseorang yang disebut memiliki ikatan keluarga dengan Joko Widodo (Jokowi), yang sedang menjabat sebagai presiden saat penyidikan dilakukan. Uang itu juga diberikan kepada seorang pejabat tinggi di Kementerian Sekretaris Negara (Kemensesneg) di era Jokowi. Temuan itu dilaporkan Firli ke Jokowi.
"Firli lapor ke Presiden ketika itu (Jokowi) atas musyawarah pimpinan KPK, dengan harapan kasus ditindak lanjuti," kata Hari saat ditemui ThePhrase.id di kawasan Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
Menurut Hari, Jokowi meminta Firli agar tidak menindak keluarganya, tapi cukup sampai sosok S. Namun, lanjut Hari, Firli tetap menyeret keluarga Jokowi itu dalam pusaran kasus suap di wilayah DJKA. "Firli dipandang melawan instruksi RI 1," ucapnya.
Pihak Jokowi kemudian meminta Kapolri, Listyo Sigit Prabowo untuk perintahkan Karyoto menjerat Firli dalam kasus hukum. Menurut Hari, Karyoto dijanjikan kompensasi yang mengarah pada posisi Kabareskrim.
Hari mengaitkan itu pada klarifikasi Karyoto terhadap isu yang menyebut dirinya marah kepada Kapolri lantaran dipindah ke Kabaharkam, bukan sebagai Kabareskrim Polri.
"Berdasarkan info di lapangan, bahwa dia berharap menjadi Kabareskrim. Bahkan ada info bahwa sempat terjadi ketika surat telegram itu turun, ada emosional. Itu langsung diklarifikasi oleh yang bersangkutan," ucap Hari.
"Artinya dengan dia mengklarifikasi itu berarti benar, dia emosi. Tidak sampai apa yang menjadi harapan, posisi yang diharapkan ternyata berbeda," imbuhnya.
Hari menduga, ada peran Jokowi di balik batalnya pemberian posisi Kabareskrim kepada Karyoto. Jokowi tidak ingin orang yang dianggap mengetahui banyak situasi dan keadaan, khususnya dalam perkara hukum diberi posisi penting.
"Mungkin tidak mau senjata makan tuan, kan? Itu bisa, ya ada dugaan ke situ, bisa," ungkapnya.
ThePhrase.id sudah menghubungi mantan Kapolda Metro Jaya, Karyoto melalui aplikasi perpesanan untuk mengklarifikasi informasi di atas, namun tidak ada respons hingga berita ini ditulis.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah punya pandangan yang sama dengan Hari. Dia menyebut kasus Firli tidak melulu penegakan hukum, melainkan ada aroma politik transaksional di balik kasus tersebut.
Salah satu indikasinya, kata pria yang karib disapa Castro itu, Polda Metro Jaya terkesan tidak serius dalam menangani perkara tersebut, sehingga status tersangka Firli dibiarkan menggantung begitu saja.
Menurut Castro, objek transaksional antara Firli dengan Polda Metro Jaya dalam hal ini Karyoto, bisa berupa kasus hukum yang ditangani oleh keduanya selama ini.
"Jadi saling menyandera dengan perkara tertentu. Itulah kemudian yang ditransaksikan, saling menahan diri, saling mengetahui kartu truf masing-masing, dan lainnya," kata Castro kepada ThePhrase.id, Kamis (20/11).

Sampai saat ini, perkara tersebut belum masuk persidangan, karena Polda Metro Jaya belum melengkapi berkas perkara yang diminta oleh pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta. Bahkan terjadi drama pengembalian berkas dari Kejati ke Polda Metro Jaya, lantaran berkas perkaranya belum lengkap.
Berkas perkara pertama kali dilimpahkan ke Kejati DKI Jakarta oleh Polda Metro Jaya pada 15 Desember 2023, tapi dikembalikan Kejati pada 29 Desember 2023 untuk dilengkapi. Berkas perkara diserahkan lagi ke Kejati pada 24 Januari 2024, namun dikembalikan lagi ke Polda Metro Jaya pada 2 Februari 2024. Sampai saat ini, berkas perkara itu belum dilimpahkan lagi oleh Polda Metro Jaya.
Castro menilai Polda Metro Jaya enggan untuk menyelesaikan kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi Firli. Salah satu alasannya, Firli merupakan bagian keluarga besar kepolisian. Posisi terakhir yang diduduki Firli di kepolisian adalah sebagai Kabaharkam Polri. Sesama polisi, lanjut Castro, ada rasa ingin saling menjaga dan melindungi satu sama lain.
Kendati Firli duduk di KPK pada saat itu, namun kondisi kebatinan sesama polisi dinilai masih sama. Maka tidak heran, kasus yang menyeret Firli terkatung-katung di Polda Metro Jaya. “Tapi jangan lupa Firli itu berasal dari institusi kepolisian yang tentu keengganan untuk menyelidiki, memproses hukum secara serius orang-orang di bawah korpsnya,” ucapnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai kasus tersebut murni penegakan hukum yang dilakukan Polda Metro Jaya.
"Ini murni penegakan hukum atas perbuatan kriminal yang dilakukan FB (Firli Bahuri)," ucapnya kepada ThePhrase.id, Senin (24/11).
Gantung-menggantung Status Tersangka
Kasus tersebut tidak hanya memunculkan drama lempar tendang perkara dari Polda Metro Jaya ke Kejati DKI Jakarta, namun juga diwarnai drama pengajuan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) sebanyak tiga kali oleh Firli, karena tidak terima ditetapkan tersangka.
Praperdilan pertama diajukan pada 11 Desember 2023. Gugatan itu berakhir ditolak oleh hakim Imelda Herawati yang menangani perkara tersebut. Pada 22 Januari 2024, gugatan praperadilan kedua dilayangkan Firli ke PN yang sama. Namun, pada sidang perdana praperdilan itu, Firli mencabut gugatannya.
Gugatan terakhir dilakukan pada 12 Maret 2025. Senasib dengan gugatan kedua, gugatan kali ketiga itu juga dicabut lantaran dianggap ada kekurangan.
“Kami menyatakan mencabut permohonan praperadilan yang telah kami daftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 12 Maret 2025,” kata kuasa hukum Firli, Ian Iskandar di PN Jaksel.
Hari Purwanto menyebut, pencabutan praperadila oleh Firli atas permintaan Istana, dalam hal ini Jokowi. Menurutnya, permintaan itu disertai dengan kompensasi pembebasan status tersangka usai pemilihan presiden (Pilpres) 2024 lalu.
Dia tidak mengungkapkan secara detail apa pertimbangan Jokowi meminta Firli mencabut gugatan praperadilannya. Paling tidak, permintaan itu dilakukan untuk mengantisipasi penanganan kasus tersebut tidak menjalar ke perkara lainnya.
"Itu kan karena keinginan Istana. Istana waktu itu presidennya Jokowi, nah kompensasinya status tersangka itu setelah Pilpres, status tersangka ini harusnya dihentikan, tapi ini kan enggak," ucapnya.
Menurut Hari, situasi itu menandakan bahwa institusi kepolisian saat itu menjadi alat politik Jokowi untuk memuaskan hasrat berkuasa.
Kendati demikian, Hari menegaskan bahwa semestinya kasus tersebut diperjelas arahnya, mau dihentikan atau dilanjutkan. Baginya, menggantung status tersangka bagi seseorang itu akan berdampak buruk terhadap institusi yang menanganinya.
Sementara itu, Ian Iskandar tidak merespons saat dihubungi ThePhrase.id hingga berita ini ditulis, guna mengklarifikasi informasi tersebut.
Abdul Fickar menilai kasus yang menyeret Firli harus tetap dilanjutkan. Baginya, kasus tersebut tidak boleh ada kompensasi lantaran Firli punya kedudukan strategis saat kasus ini bergulir, yakni sebagai Ketua KPK. Firli diduga menyalahgunakan kewenangannya dan merugikan negara.
"Polda seharusnya bekerja dengan serius sekalipun FB mantan polisi, tapi justru telah mempermalukan institusi kepolisian dan KPK serta penegak hukum pada umumnya," ucapnya.
Fickar menampik bahwa kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi oleh Firli sebagai akibat dari langkahnya dalam menangani perkara kasus suap dan gratifikasi di lingkungan DJKA wilayah Jateng, dimana disebutkan ada keluarga Jokowi yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.
Meski begitu, Fickar meminta aparat penegak hukum untuk tidak pandang bulu dalam penegakan hukum, apabila menemukan keterkaitan di antara dua kasus tersebut, termasuk kepada keluarga Jokowi sekali pun.
"Tetap harus disikat dan ditegakan hukumnya karena telah merugikan negara," ujarnya.
Pakar Hukum Pidana Universitas Tarumanegara (Untar) Herry Firmansyah menilai kasus tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi Polda Metro Jaya untuk dituntaskan.
Polda Metro Jaya harus menindaklanjuti perkara tersebut sebagai bentuk kepastian hukum dan penegakan yang transparan dan profesional. "Terlepas dari putusan akhirnya dilanjutkan atau tidak perkaranya yang kemudian bisa saja diuji di ruang publik nantinya," katanya kepada ThePhrase.id, Senin (24/11).
Selain itu, tindak lanjut terhadap suatu perkara ditujukan agar tidak memunculkan adanya prasangka soal ketidakmampuan atau memang terdapat keengganan dari aparat untuk menyelesaikan perkara itu.
Herry mengatakan, lambannya penanganan perkara oleh Polda Metro Jaya akan memicu isyarat negatif bahwa ada upaya melindungi pihak yang berperkara. Menurutnya, penyidik harus memastikan bahwa setiap proses hukum tetap berjalan di atas rel kebenaran.
Sementara soal kemungkinan kasus Firli ada sangkut paut dengan kasus DJKA Jateng, menurut Herry, penyidik harus menelusuri seluruh aktor yang terlibat dan mengungkap kasus secara paripurna. "Dengan bukti yang kuat agar tidak dianggap menggunakan ilmu cocokologi," tandasnya. (M. Hafid)