ThePhrase.id - Netflix baru saja merilis film dengan visual memukau, The Electric State, sebuah adaptasi dari buku ilustrasi retro-sci-fi karya Simon Stålenhag. Disutradarai oleh Russo bersaudara, film ini menghadirkan jajaran aktor ternama seperti Millie Bobby Brown, Chris Pratt, dan Stanley Tucci.
Dengan premis dunia pasca-perang antara manusia dan robot, ditambah konsep AI yang seharusnya relevan dengan perkembangan teknologi saat ini, film ini terlihat menjanjikan. Namun, apakah The Electric State benar-benar berhasil menghadirkan kisah yang menggugah? Sayangnya, tidak.
Film ini berlatar di versi alternatif tahun 1990-an, di mana manusia pernah berperang melawan robot yang awalnya diciptakan oleh Walt Disney pada 1950-an.
Di tengah dunia yang kacau ini, Michelle (Millie Bobby Brown), seorang remaja nakal yang hidup di panti asuhan kehilangan orang tua dan adik jeniusnya, Chris (Woody Norman), dalam sebuah kecelakaan mobil. Suatu malam, versi robot dari Kid Cosmo, karakter kartun kesukaan Chris, muncul di rumahnya dan mengklaim bahwa ia adalah Chris, atau setidaknya kesadarannya, yang dikendalikan dari suatu tempat misterius. Michelle kemudian memulai perjalanan untuk menemukan tubuh asli Chris.
Konsep yang terdengar menarik ini berubah menjadi tontonan yang membosankan. Dengan durasi yang terlalu panjang, film ini berjalan lambat tanpa momen yang benar-benar membangkitkan emosi atau ketegangan. Bahkan saat dipercepat hingga 1.5x, film ini tetap terasa melelahkan. Ketika Michelle akhirnya dihadapkan pada pilihan besar di akhir cerita, tidak ada dampak emosional yang terasa, hanya keinginan agar film ini segera selesai.
Millie Bobby Brown tampil cukup baik sebagai Michelle, meskipun karakternya terasa datar dan kurang berkembang. Chris Pratt? Dia tetap Chris Pratt, tidak buruk, tapi juga tidak istimewa.
Stanley Tucci menyenangkan untuk ditonton, tapi bahkan kehadirannya tidak cukup untuk mengusir rasa hambar yang menyelimuti film ini. Karakter-karakternya terasa kurang berkembang, sehingga sulit untuk benar-benar peduli dengan perjuangan mereka.
Kalau ada satu hal yang patut diapresiasi dari film ini, itu adalah visualnya. CGI dan sinematografinya benar-benar membuat kita merasa berada di dunia distopia yang mereka ciptakan. Dengan anggaran sebesar itu, memang sudah seharusnya efek visualnya sebagus ini.
Soundtrack-nya juga cukup menonjol, bahkan kadang lebih menghibur daripada cerita filmnya sendiri. Uniknya, unsur musik dalam film ini justru memberi sentuhan komedi yang lebih segar dibanding aspek lainnya. Seandainya The Electric State lebih berani bermain di ranah komedi, mungkin hasil akhirnya akan lebih menarik.
Pada akhirnya, The Electric State adalah film dengan kemasan luar biasa, tetapi tanpa jiwa. Ide tentang AI dan identitas seharusnya bisa dieksplorasi lebih dalam, tetapi eksekusinya terasa datar dan kurang menggigit secara emosional. Dengan ritme lambat, karakter yang kurang menarik, serta cerita yang tidak begitu berkesan, film ini sulit untuk dinikmati.
Kecuali jika kalian hanya ingin menikmati visualnya, kamu bisa skip film ini.
[nadira]