ThePhrase.id - Genre distopia yang sering kali menggali isu-isu mendalam tentang masyarakat, identitas dan kemanusaiaan memiliki potensi yang besar. Contoh suksesnya adalah The Hunger Games, yang mampu menyampaikan pesan yang jelas dan menggugah penonton.
Namun, hal ini sayangnya tidak tercermin dalam film terbaru Netflix, Uglies, yang dibintangi Joey King. Diadaptasi dari novel populer Scott Westerfeld, film ini mengusung premis menarik yang sayangnya berujung pada eksekusi tergesa-gesa dan mengecewakan.
Uglies berpusat pada Tally (Joey King), seorang remaja yang hidup di dunia distopia di mana setiap orang harus menjalani operasi pada usia 16 tahun untuk menjadi "Pretty." Di dunia ini, kecantikan fisik dianggap sebagai kunci harmoni sosial, sementara individualitas dipandang sebagai ancaman. Konsep ini semestinya bisa menjadi kritik tajam terhadap obsesi masyarakat kita akan penampilan, namun sayangnya film ini terasa seperti sajian fiksi ilmiah setengah matang yang dibungkus dengan eksekusi datar.
Dari awal, narasi yang dibawakan Joey King terasa monoton. Pembukaan yang seharusnya memukau malah menyajikan latar belakang dunia Uglies dengan cara yang membosankan.
Narasi yang membosankan itu memberikan salah satu plot paling absurd: anggrek ajaib yang entah bagaimana berhasil menyelesaikan krisis minyak sebelum dunia hancur. Bagaimana bunga bisa menyelamatkan dunia dan kecantikan menjadi solusi? Elemen cerita ini membuat film terasa tidak logis dan membingungkan.
Karakter-karakternya? Mereka ada di sana, tetapi tanpa kedalaman emosional yang membuat penonton peduli. Dengan durasi hanya 102 menit, film ini terlalu terburu-buru dalam menyelesaikan alur cerita, tanpa memberi ruang bagi pengembangan karakter yang berarti. Akibatnya, sulit bagi penonton untuk benar-benar merasa terikat dengan siapa pun dan apa pun di layar.
Untuk film yang bertujuan mengkritik konformitas dan obsesi kecantikan, Uglies justru terjebak dalam permukaan yang dangkal. Pesan tentang "kecantikan dari dalam" begitu mudah ditebak dan disampaikan dengan buruk. Pada saat Tally mengatakan, "Aku tidak tahu bahwa harga menjadi cantik adalah pikiranmu," rasa peduli penonton sudah lama hilang.
Secara visual, Uglies juga mengecewakan. CGI yang digunakan sangat buruk; para "Pretty" terlihat seperti menggunakan filter TikTok, dan desain kota dystopianya hambar serta generik, mirip screensaver Windows XP. Bahkan markas pemberontak tidak memiliki daya tarik visual yang kuat. Desain kostum yang biasa-biasa saja menjadi peluang besar yang terlewatkan, mengingat tema sentral film ini adalah tentang penampilan.
Dari segi akting, sulit untuk menyalahkan para pemain sepenuhnya. Joey King mencoba memberikan yang terbaik dengan naskah yang dangkal, namun karakternya tetap terasa seperti tipikal protagonis distopia YA yang mudah dilupakan. Dr. Cable (Laverne Cox) seharusnya menjadi penjahat utama, tetapi penampilannya terlalu datar dan tidak meyakinkan. Yang cukup menyelamatkan adalah Keith Powers sebagai David dan Brianne Tju sebagai Shay, yang berhasil memberikan momen keaslian di tengah film yang membosankan.
Pada akhirnya, Uglies hanya meninggalkan satu emosi: frustrasi. Potensinya untuk mengeksplorasi tema penting seperti standar kecantikan dan kontrol sosial gagal disampaikan dengan baik, sehingga film ini sangat sulit untuk dianggap serius.
Jika kamu penggemar film distopia, sebaiknya lewati film ini. Bahkan Divergent, dengan segala kekurangannya, terlihat lebih baik dibanding Uglies. Divergent setidaknya memiliki dunia yang lebih koheren dan rasa urgensi dalam penceritaannya. Sulit untuk percaya bahwa penulis skenario yang sama yang bekerja di Divergent, Vanessa Taylor, bisa bertanggung jawab atas naskah yang tak bernyawa ini.
Pada akhirnya, Uglies adalah entri yang bisa dilupakan dan dieksekusi dengan buruk dalam genre distopia YA yang tidak menawarkan hal baru. Jika kamu penggemar bukunya, kamu mungkin akan kecewa. Dan jika kamu tidak akrab dengan bukunya, kamu mungkin akan merasa bingung dan tidak terkesan. [nadira]