ThePhrase.id - Mengikuti kesuksesan besar dari adaptasi empat film The Hunger Games yang telah tayang sebelumnya, film prekuel karya penulis Suzanne Collins, The Ballad of Songbirds and Snakes berhasil mengguncang dunia.
Film ini berhasil meraih US$44 juta dari 3,776 bioskop di Amerika Utara dan US$98 juta secara global dalam akhir pekan perilisannya yang pertama.
Namun, bagaimana kisah prekuel 'The Hunger Games' berjalan tanpa kehadiran Jennifer Lawrence sebagai pemimpin pemberontak Katniss Everdeen?"
The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes" mengambil latar 64 tahun sebelum film "The Hunger Games" pertama. Kisah baru ini berfokus pada kehidupan muda Coriolanus Snow (Tom Blyth), pria yang kelak menjadi tokoh antagonis Presiden Snow, yang diperankan oleh Donald Sutherland dalam film-film sebelumnya.
Setelah kilas balik singkat masa kecil di mana Snow dan sepupu perempuannya Tigris (Hunter Schafer) menyaksikan seorang pria kelaparan memotong lengan mayat, penonton diperkenalkan pada Coriolanus Snow pada usia 18 tahun, seseorang yang berasal dari keluarga kaya namun agak kurang beruntung setelah kematian ayahnya. Coriolanus, seorang penduduk kota Capitol, diberi tugas menjadi mentor salah satu "perwakilan" untuk The Hunger Games, sebuah acara realitas di mana 24 anak berusia 12-18 tahun bertarung untuk bertahan hidup sampai satu yang tersisa.
Coriolanus terpilih untuk menjadi mentor perwakilan District 12, penyanyi Lucy Gray Baird (Rachel Zegler). Meskipun memiliki semangat pemberontak dan pesona untuk bersaing dalam permainan, Lucy Gray kurang memiliki kekuatan fisik. Coriolanus dan Lucy Gray harus bekerja sama, melanggar aturan, untuk memiliki peluang dalam permainan tersebut.
Film prekuel ini terbagi menjadi tiga bagian: "The Mentor", "The Prize", dan "The Peacekeeper", masing-masing menampilkan Coriolanus Snow dalam tahap hidup yang berbeda. Pada bagian pertama, sutradara Francis Lawrence menyoroti kehidupan Coriolanus sebagai seorang anak yatim piatu. Di sini, penonton diperkenalkan pada sisi Coriolanus Snow yang membuat penoton merasakan simpati. Ini krusial, mengingat penonton sebelumnya telah mengenalnya sebagai tokoh jahat dalam film-film sebelumnya.
Bagian ini juga menyoroti pertemuan Coriolanus dengan Lucy Gray Baird. Hubungan mereka dibangun dengan hati-hati, dengan sentuhan romansa yang mulai muncul. Namun, interaksi yang paling menarik di layar adalah antara Snow dan Kepala Perancang Permainan, Volumnia Gaul. Diperankan oleh Viola Davis yang brilian, Gaul menjadi sosok eksentrik yang sinis dan aneh. Dari hubungan mereka, penonton dapat melihat transformasi Coriolanus Snow dari seorang anak yatim piatu yang perlu dikasihani menjadi seseorang yang membantu membentuk The Hunger Games menjadi seperti yang kita kenal dari empat film sebelumnya.
Di bagian kedua, penoton diajak kembali ke ranah yang sudah dikenal, yakni The Hunger Games. Berbeda dengan peristiwa Hunger Games pada zaman Katniss Everdeen, Lucy Gray Baird harus bertahan hidup dalam arena yang lebih kecil. Di sini, tingkat ketegangan film ini meningkat.
Dengan keberanian memperlihatkan kekejaman, The Ballad of Songbirds & Snakes menampilkan adegan pembunuhan yang tak mengenakkan dan mengerikan. Jadi, sebaiknya hindari membawa anak kecil menonton film ini, terutama mengingat akhir tragis dari Tribut termuda dan paling polos, Wovey (diperankan oleh Sofia Sanchez).
Rachel Zegler tampil luar biasa saat dia menyanyikan lagu pada akhir The 10th Hunger Games. Dia adalah pilihan yang sangat tepat untuk peran Lucy Gray.
Namun, yang membuat film kelima ini menjadi salah satu yang terbaik dalam franchise ini adalah bagian kedua yang penuh ketegangan dan paranoia. Snow mendapati dirinya diasingkan ke Distrik 12 sebagai penjaga perdamaian setelah ia ketahuan berbuat curang sebagai mentor, dan simpatinya terhadap para pemberontak tampak berubah-ubah.
Meskipun kita tahu apa yang akhirnya dia lakukan, menyaksikan prosesnya dalam menentukan tuannya yang seharusnya ia layani, sembari melakukan penyusupan, berbohong, dan pengkhianatan, sungguh menarik. Jarang sekali melihat ambivalensi moral digambarkan secara begitu netral, terutama dalam film blockbuster. Saat ia menyusuri kegelapan industri, penonton terdorong untuk berharap agar dia berhasil.
Meskipun film ini berhasil menghadirkan kisah dan plot yang menyentuh, ini belum bisa mengungguli ketegangan serta cerita yang disuguhkan oleh film kedua dari franchise ini, The Hunger Games: Catching Fire.
Tidak mampu menampilkan dialog batin dari Coriolanus Snow sebagaimana yang ada dalam buku, film ini terkesan terlalu memuja Presiden Snow. Dalam film, ia tampak memiliki alasan yang lebih jelas mengapa ia berubah menjadi sosok jahat. Namun, dalam buku, sangat jelas bahwa Snow sejak awal adalah individu yang narsistik dan gila terhadap kekuasaan. Ini mengubah sosok Snow yang sudah dikenal sejak awal.
Meskipun dengan kekurangan tersebut, The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes tetap dapat menjadi tontonan yang menghibur sambil membangkitkan rasa nostalgia akan kisah fantasi The Hunger Games. The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes saat ini dapat disaksikan di seluruh bioskop Indonesia
[nadira]