Thephrase.id - “Ternyata baru setahun ya, kok terasa lama banget.” Kalimat dengan nada jengkel itu terlontar dari mulut Santi (bukan nama sebenarnya), seorang pekerja di salah satu instansi pelat merah, menanggapi pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang baru memasuki tahun pertamanya pada 20 Oktober 2025.
Santi menggelengkan kepalanya berulang kali seraya menggigit bibir bawahnya, seakan tidak terima dengan sisa empat tahun masa pemerintahan Prabowo. Ia menghela nafas panjang, perasaannya campur aduk. “satu tahun udah lama banget, apalagi ini masih ada 4 tahun lagi,” ucapnya ketus saat berbincang dengan ThePhrase.id, Kamis (16/10).
Perempuan berusia 26 tahun itu, menyoroti langkah efisiensi terhadap Kementerian/Lembaga (K/L) yang dilakukan Prabowo tak lama setelah dilantik. Pemangkasan anggaran itu membuat ruang gerak lembaganya menyempit, tak terkecuali uang dinasnya. Sementara target kerjanya masih sama dengan sebelum terjadi pemangkasan.
Bukan hanya itu, efek domino dari efisiensi bagi perekonomian masyarakat juga tak luput dari perhatian Santi. Akibat kebijakan itu, ribuan pekerja menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK), daya beli merosot tajam, dan ekonomi pun terjerembab dalam.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Februari 2025 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang. Angka ini meningkat sekira 83 ribu orang atau setara 1,11 persen dibanding Februari 2024.
Situasi berbeda dialami Wahyudi, pria paruh baya itu tak menampik manfaat dari kebijakan efisiensi, khususnya bagi masyarakat miskin. Dia mendapat kabar bahwa sebagian dari pemangakasan anggaran itu disalurkan ke masyarakat dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT).
Bagi Wahyudi, BLT yang rutin diberikan setiap bulan sekali dapat membantu meringankan beban ekonomi masyarakat bawah. "Apalagi kayak saya yang nggak tentu dapat berapa (omset) per harinya," kata Wahyudi saat berbincang dengan ThePhrase.id, Minggu (19/10).
Wahyudi yang merupakan penjual gorengan di daerah Ciputat, Tangerang Selatan itu, tidak mempermasalahkan kebijakan efisiensi oleh Prabowo, selagi diberikan untuk rakyat. Kendati begitu, dia mengaku tidak mengetahui dampak kebijakan tersebut berujung pada banyaknya jumlah korban PHK sebagaimana banyak diberitakan.
Sebagian pihak menganggap kebijakan efisiensi bertentangan dengan langkah Prabowo yang membentuk kabinet super jumbo. Ada sebanyak 48 menteri dan 56 wakil menteri yang dilantik dalam postur kabinet awal, belum lagi lembaga baru yang dibentuk belakangan. Masyarakat memendam ribuan tanya dan kecewa atas kebijakan tersebut.
Satu tahun Pemerintahan Prabowo juga diwarnai kritikan dan amarah masyarakat di ruang-ruang media sosial hingga di jalanan Jakarta. Narasi Indonesia Gelap tidak hanya berkumandang di ruang maya, tapi nyaring di pengeras suara mobil-mobil komando para demonstran. Tagar Kabur Aja Dulu juga sempat memuncaki percakapan media. Dua istilah itu menjadi kritikan atas ketidakpastian hidup di Indonesia, mulai dari persoalan ekonomi, hukum, hingga politik.
Seperti anomali, tingkat kepuasan masyarakat terhadap satu tahun usia pemerintahan Prabowo-Gibran disebut meningkat. Lembaga survei Index Politica mencatat, kepuasan masyarakat mencapai 83,5 persen dari 1.600 responden yang tersebar di 27 provinsi. Eksposur pemberitaan positif di media menjadi salah satu pemantiknya.
Survei yang dilakukan Rumah Politik Indonesia (RPI) justru menunjukkan angka yang lebih tinggi mencapai 86,4 persen puas atas kinerja Prabowo-Gibran. Sementara angka yang relatif lebih rendah ditunjukkan dari hasil survei Poltracking Indonesia, yakni sebesar 78,3 persen puas.
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, menyebut satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran banyak melahirkan kebijakan paradoks. Hal itu diakibatkan dari inkonsistensi pemerintah antara input dan outputnya dalam menjalankan suatu kebijakan.
Wasisto menyebut kebijakan paradoks memang kerap muncul di awal suatu pemerintahan, karena harus melakukan penyesuaian dari masa transisi menuju konsolidasi pemerintahan. Hanya saja, perlu ada upaya dari pemerintah untuk segera menyelaraskan kebijakannya.
Dia menyebut efisiensi anggaran menjadi salah satu contoh kebijakan paradoks Prabowo. Sebab, di satu sisi melakukan pemangkasan besar-besaran untuk mengurangi defisit anggaran, tapi di sisi lain justru menggemukkan kabinetnya.
“Hal paradoks misalnya capaian pertumbuhan yang masih di bawah 5, jauh dari target 8 %, efisiensi tapi struktur di pusat melebar,” kata Wasisto. (M Hafid & Rangga)