ThePhrase.id - Tanah, bagi sebagian besar rakyat Indonesia bukan hanya sekadar sebuah asset yang bernilai ekonomi tetapi juga identitas sosial dan budaya. Namun dalam konflik pertanahan rakyat selalu kalah dan harus melepaskan tanahnya dengan terpaksa meskipun ada dokumen kepemilikan dan sudah turun temurun tinggal di tanahnya itu.
Dalam banyak kasus, konflik pertanahan terjadi ketika ada korporasi besar ingin menguasai tanah warga untuk tujuan bisnis dan kepentingan lainnya. Kasus PIK 2 adalah contoh mutakhir konflik pertanahan yang akan menguji kemana keberpihakan pemerintah di era Presiden Prabowo Subianto.
Ketika konflik tanah terjadi, rakyat hanya punya dua pilihan melawan tapi akan kehilangan atau menyerah dan melepas tanah dengan harga murah. Bila melawan mereka akan dihadapi dengan kekerasan dan intimidasi. Seperti yang dialami masyarakat Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau yang terus bergolak hingga saat ini. Proyek Rempang Eco City yang dilabeli sebagai Proyek Strategis Nasional pada era pemerintahan Jokowi telah menjadi mimpi buruk bagi warga suku Melayu, suku Laut dan suku lain yang ditinggal di pulau itu.
Mereka dipaksa untuk mengosongkan pulau itu karena pemerintah akan merombak wilayah tersebut menjadi The New Engine of Indonesia’s Economic Growth. Rencana itu kemudian dimasukkan ke dalam PSN dengan nama Rempang Eco City, yang diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023.
Pada 7 September 2023, terjadi bentrokan antara aparat dengan warga di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Bentrok terjadi akibat warga menolak untuk digusur dari kampungnya untuk kepentingan proyek tersebut. Akibatnya 11 orang korban dilaporkan dilarikan ke rumah sakit, 10 di antaranya adalah siswa dan seorang guru. Bentrokan itu pun terus berlanjut hingga beberapa hari setelahnya yang mengakibatkan bertambahnya enam orang korban luka-luka.
Pengembangan proyek Rempang Eco City ini merupakan hasil kerja sama antara pemerintah pusat melalui Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam alias BP Batam dan Pemerintah Kota Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) yang merupakan anak usaha Artha Graha, kelompok usaha yang dibangun Tomy Winata.
Kawasan Rempang Eco City direncanakan dibangun dengan luas kurang lebih 165 kilometer persegi. Dalam pengembangannya, PT MEG bakal menyiapkan Pulau Rempang sebagai kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang terintegrasi. PT MEG akan mengembangkan proyek senilai Rp43 triliun bekerjasama dengan Xinyi International Investment Limited, calon investor yang bakal membangun pusat pengolahan pasir kuarsa dan pasir silika di Rempang. Pemerintah mengklaim komitmen investasi Xinyi bakal mencapai Rp381 triliun hingga 2080.
Kekerasan kepada warga Rempang masih terus terjadi hingga Rabu dini hari (18/12/24). Posko warga menjadi sasaran serangan brutal yang diduga dilakukan oleh kelompok yang terkait dengan perusahaan. Dalam serangan itu dilaporkan ada 8 warga yang mengalami luka-luka. Kasus ini melengkapi ironi pembangunan yang digaungkan pemerintah akan membawa kesejahteraan. Pemerintah gagal menyeimbangkan antara ambisi pembangunan ekonomi dengan keadilan sosial bagi warga negaranya.
Pemerintah mengabaikan keberadaan masyarakat adat di Pulau Rempang, yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut, dan suku lainnya, telah menempati tanah itu selama lebih dari dua abad. Bagi suku-suku ini, tanah merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas dan keberlanjutan budaya. Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT. MEG tanpa konsultasi atau musyawarah dengan komunitas adat merupakan pelanggaran atas asas partisipasi dalam pembangunan dan bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945 yang menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Penguasaan tanah oleh korporasi tidak hanya terjadi pada tanah adat yang tidak memiliki dokumen seperti di Rempang, tetapi juga pada tanah yang memiliki sertipikat hak milik. Seperti yang terjadi pada tanah-tanah yang masuk dalam kawasan pengembangan Pantai Indak Kapuk atau PIK 2 di Tangerang. Caranya dengan mengkriminalisasi pemilik dengan melibatkan aparat hukum. Seperti yang dialami Charlie Chandra ahli waris lahan 8,7 hektar di Desa Lemo, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, yang menolak tawaran PT Agung Sedayu yang ingin membeli lahan itu sebagai bagian dari kawasan komersil PIK 2.
Charlie dilaporkan PT MBM anak perusahaan Agung Sedayu ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan melanggar Pasal 266 dan 372 KUHP. Namun, pada 23 Mei lalu Polda Metro Jaya menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) untuk laporan Agung Sedayu terhadap Charlie Chandra.
"SP3 karena kurang alat bukti ini merupakan upaya kriminalisasi kepada klien kami. Kami yakin setelah ini akan ada laporan lainnya yang tujuannya menekan pemilik lahan agar mau menjual tanah mereka," kata Fajar Gora, pada Kamis 1 Juni 2023 lalu.
Pihak Agung Sedayu kemudian menguasai lahan itu secara sepihak dan telah diubah menjadi lahan komersil dan dipasarkan dengan harga Rp 20 juta/meter. Lahan itu kini secara fisik berada dalam kluster Tokyo Riverside yang berada dalam kawasan PIK 2 milik pengembang PT Agung Sedayu Grup.
Ayah Charlie , Sumita Chandra, juga pernah dlaporkan karena menolak tawaran itu. Sumita dilaporkan atas kasus pemalsuan cap jempol ke Polda Metro Jaya pada Juni 2014. Kasus itu menyebabkan Sumita tertekan hingga jatuh sakit dan meninggal dunia.
Bila seorang Charlie yang well educated dan memiliki dokumen kepemilikan tanah lengkap dapat diambil tanahnya dengan mudah oleh Agung Sedayu, bagaimana dengan warga kampung atau nelayan yang hanya memiliki dokumen kepemilikan yang levelnya di bawah sertipikat seperti girik atau letter C. Pasti kisahnya lebih miris lagi dan hanya menerima nasib karena negara tidak hadir membela mereka. Justru aparat negara seperti kepala desa dan pegawai pertanahan memihak kepada korporasi. Warga yang mencoba bertahanpun akan menyerah karena tak tahan dengan intimidasi dan tanah yang diurug paksa.
Korporasi seperti Agung Sedayu Group tidak hanya merusak dan mengubah lahan, tetapi juga merusak nilai dan tatanan sosial dan hubungan kekerabatan warga yang telah ada bertahun-tahun hidup di masyarakat itu. Sekaligus juga menghilangkan identitas warga yang selama melekat pada tanah yang dimilikinya.
Atas nama pembangunan dan pertumbuhan, pemerintah telah menghilangkan keadilan dan kesejahteraan bagi para warga yang tanahnya masuk dalam proyek pengembangan perusahaan. Apakah ini akan terus berlanjut setelah pergantian pemerintahan dan rezim? Kita tunggu saja waktu untuk menguji kemana pemerintahan Prabowo akan berpihak, kepada rakyat atau kepada konglomerat? (Aswan AS)