ThePhrase.id - Beberapa tahun terakhir, istilah quiet quitting ramai diperbincangkan di dunia kerja. Konsep ini menggambarkan sikap karyawan yang memutuskan untuk tidak melampaui atau melakukan lebih dari tugas dasar mereka sebagai upaya menjaga keseimbangan hidup dan menghindari stres berlebihan.
Namun, di tengah perhatian yang masih melekat pada quiet quitting, kini muncul fenomena baru yang disebut quiet cracking. Apa sebenarnya fenomena ini, dan bagaimana dampaknya di lingkungan kerja?
Quiet cracking merujuk pada kondisi ketika seseorang diam-diam mengalami tekanan mental, kelelahan emosional, atau hampir burnout tanpa memperlihatkan tanda-tanda jelas. Berbeda dengan burnout yang biasanya terlihat dari penurunan kinerja atau perubahan sikap, quiet cracking kerap tidak terdeteksi.
Fenomena ini bisa dianggap sebagai “retakan kecil” dalam kondisi psikologis seorang karyawan. Mereka tetap menyelesaikan tugasnya, tetapi sebenarnya sudah berada di ambang kelelahan berat. Umumnya, mereka memilih menutup diri, enggan bercerita, dan berusaha keras menjaga performa meski sedang kesulitan.
Ada beberapa faktor yang kerap memicu terjadinya quiet cracking, di antaranya:
Karena sifatnya tersembunyi, quiet cracking dapat menimbulkan sejumlah risiko, seperti:
Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berdampak jangka panjang, baik bagi individu maupun organisasi.
Melansir Fortune, perusahaan sebenarnya bisa mencegah quiet cracking sebelum terlambat. Salah satunya dengan lebih peka terhadap tanda-tanda keterlibatan karyawan.
“Jika terlihat ada karyawan yang makin tidak bersemangat, cobalah luangkan waktu untuk berdiskusi,” ujar Martin Poduška, editor in chief dan career writer di Kickresume. Menurutnya, memberikan tantangan baru, kesempatan belajar, atau sekadar percakapan jujur bisa membantu mengembalikan motivasi.
Meski begitu, tanggung jawab sepenuhnya bukan hanya ada di pihak perusahaan. Karyawan juga bisa mengambil langkah proaktif. Poduška menekankan pentingnya mengenali akar ketidakpuasan. Jika merasa tidak memiliki peluang berkembang, komunikasikan dengan atasan untuk menyusun rencana pengembangan karier. Bila tidak ada dukungan, mungkin saatnya mempertimbangkan pindah tim, departemen, atau bahkan karier baru.
“Kadang, yang dibutuhkan hanyalah sesuatu yang baru. Entah itu proyek berbeda, rotasi peran, atau langkah besar seperti perubahan karier total,” tambahnya. [nadira]