lifestyleHealth

Setelah 'Quiet Quitting', Kini Muncul Fenomena Baru 'Quiet Cracking', Apa Itu?

Penulis Nadira Sekar
Aug 23, 2025
Foto: Ilustrasi Quiet Cracking (freepik.com)
Foto: Ilustrasi Quiet Cracking (freepik.com)

ThePhrase.id  - Beberapa tahun terakhir, istilah quiet quitting ramai diperbincangkan di dunia kerja. Konsep ini menggambarkan sikap karyawan yang memutuskan untuk tidak melampaui atau melakukan lebih dari tugas dasar mereka sebagai upaya menjaga keseimbangan hidup dan menghindari stres berlebihan.

Namun, di tengah perhatian yang masih melekat pada quiet quitting, kini muncul fenomena baru yang disebut quiet cracking. Apa sebenarnya fenomena ini, dan bagaimana dampaknya di lingkungan kerja?

Apa itu Quiet Cracking?

Quiet cracking merujuk pada kondisi ketika seseorang diam-diam mengalami tekanan mental, kelelahan emosional, atau hampir burnout tanpa memperlihatkan tanda-tanda jelas. Berbeda dengan burnout yang biasanya terlihat dari penurunan kinerja atau perubahan sikap, quiet cracking kerap tidak terdeteksi.

Fenomena ini bisa dianggap sebagai “retakan kecil” dalam kondisi psikologis seorang karyawan. Mereka tetap menyelesaikan tugasnya, tetapi sebenarnya sudah berada di ambang kelelahan berat. Umumnya, mereka memilih menutup diri, enggan bercerita, dan berusaha keras menjaga performa meski sedang kesulitan.

Penyebab Quiet Cracking

Ada beberapa faktor yang kerap memicu terjadinya quiet cracking, di antaranya:

  • Tekanan kerja berlebihan: beban yang terus meningkat tanpa dukungan cukup.
  • Lingkungan kerja kurang suportif: minim komunikasi terbuka, apresiasi, maupun perhatian pada kesejahteraan karyawan.
  • Peran ganda: kesulitan menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dengan kehidupan pribadi.
  • Stigma kesehatan mental: rasa takut dianggap lemah atau tidak profesional jika mengaku stres.

Dampak di Lingkungan Kerja

Karena sifatnya tersembunyi, quiet cracking dapat menimbulkan sejumlah risiko, seperti:

  • Penurunan produktivitas yang sulit dideteksi.
  • Meningkatnya potensi kesalahan atau kecelakaan kerja.
  • Hubungan antar rekan kerja menjadi renggang.
  • Memburuknya kesehatan mental hingga berujung burnout berat.

Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berdampak jangka panjang, baik bagi individu maupun organisasi.

Bagaimana Cara Mengatasinya?

Melansir Fortune, perusahaan sebenarnya bisa mencegah quiet cracking sebelum terlambat. Salah satunya dengan lebih peka terhadap tanda-tanda keterlibatan karyawan.

“Jika terlihat ada karyawan yang makin tidak bersemangat, cobalah luangkan waktu untuk berdiskusi,” ujar Martin Poduška, editor in chief dan career writer di Kickresume. Menurutnya, memberikan tantangan baru, kesempatan belajar, atau sekadar percakapan jujur bisa membantu mengembalikan motivasi.

Meski begitu, tanggung jawab sepenuhnya bukan hanya ada di pihak perusahaan. Karyawan juga bisa mengambil langkah proaktif. Poduška menekankan pentingnya mengenali akar ketidakpuasan. Jika merasa tidak memiliki peluang berkembang, komunikasikan dengan atasan untuk menyusun rencana pengembangan karier. Bila tidak ada dukungan, mungkin saatnya mempertimbangkan pindah tim, departemen, atau bahkan karier baru.

“Kadang, yang dibutuhkan hanyalah sesuatu yang baru. Entah itu proyek berbeda, rotasi peran, atau langkah besar seperti perubahan karier total,” tambahnya. [nadira]

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic