ThePhrase.id - Media sosial tak pernah kehabisan tren, terutama yang menyangkut tubuh, makanan, dan kesehatan. Dari tips diet cepat hingga gaya hidup “sehat” ala seleb TikTok, semuanya bisa viral dalam hitungan jam. Salah satu tren terbaru yang ramai dibahas adalah SkinnyTok.
Lantas apa itu SkinnyTok?
SkinnyTok merujuk pada kumpulan konten diet ekstrem dan penurunan berat badan yang tersebar di TikTok, Instagram, Reddit, hingga YouTube. Di TikTok saja, tagar #SkinnyTok sudah dipakai lebih dari 38.000 kali.
Menariknya, ketika pengguna mencari kata kunci “SkinnyTok” di TikTok, akan muncul peringatan bertuliskan “You are more than your weight.” Pesan ini bisa diklik dan mengarah pada berbagai sumber bantuan terkait gangguan makan, termasuk dari National Eating Disorders Association (NEDA). Menurut perwakilan TikTok, fitur ini dikembangkan bersama pakar dari Cleveland Clinic, National Institute of Mental Health, dan World Health Organization.
Namun demikian, peringatan tersebut belum mampu menghentikan persebaran konten serupa. Masih banyak video yang menampilkan praktik body checking, transformasi tubuh ekstrem, serta saran-saran penurunan berat badan yang tidak sehat. Konten ini kerap dibungkus dalam istilah seperti "discipline," "tough love," atau "hard truths".
Konten di SkinnyTok sering kali mereduksi proses penurunan berat badan menjadi rumus sederhana: “makan lebih sedikit dan bergerak lebih banyak.” Padahal, realitasnya jauh lebih kompleks. Penurunan berat badan melibatkan faktor kesehatan fisik, mental, kondisi medis, hingga latar belakang sosial dan ekonomi seseorang.
Para ahli mengingatkan bahwa tren ini bisa menormalisasi rasa malu terhadap bentuk tubuh dan memperkuat standar kecantikan yang tidak realistis. Konten semacam ini berisiko memicu gangguan makan, citra tubuh negatif, hingga obsesi terhadap berat badan yang tidak sehat.
Dikutip dari TODAY.com, ahli gizi Andrea Mathis, pendiri blog Beautiful Eats and Things, menyebut SkinnyTok sebagai bentuk "kebangkitan yang berbahaya." Ia memahami daya tarik dari konten tersebut karena menjanjikan hasil cepat menuju tubuh ideal. Namun, justru karena tampak sederhana dan mudah diikuti, tren ini menjadi sangat berisiko dan dapat berujung pada obsesi yang tidak sehat.
Masyarakat perlu bersikap kritis terhadap konten yang dikonsumsi di media sosial. Perlu dipahami bahwa algoritma platform digital dirancang untuk menyajikan konten serupa dengan yang pernah disukai atau ditonton sebelumnya. Hal ini dapat menciptakan filter bubble yang terus memperkuat narasi tertentu, termasuk standar tubuh yang tidak realistis.
Jika kamu merasa terganggu atau terpengaruh secara negatif oleh konten semacam ini, itu bisa menjadi sinyal untuk mengambil jeda sejenak dan mengevaluasi jenis konten yang dikonsumsi. Tidak ada salahnya untuk membisukan, berhenti mengikuti, atau melaporkan akun yang menyebarkan informasi yang merugikan.
Yang tidak kalah penting, carilah informasi dari sumber yang kredibel seperti ahli gizi, psikolog, atau tenaga kesehatan profesional lainnya. [nadira]