features

Tarif Impor Trump, Berkah atau Musibah?

Penulis Aswandi AS
Apr 10, 2025
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. (Foto: Instagram/realdonaldtrump)
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. (Foto: Instagram/realdonaldtrump)

ThePhrase.id - Kenaikan tarif impor yang diterapkan Donald Trump kepada Indonesia sebesar 32 persen  telah menjadi tekanan tersendiri  bagi pemerintahan Prabowo Subianto yang sedang berupaya menstabilkan ekonomi yang sedang terpuruk yang diwariskan pemerintah sebelumnya.  Meskipun sudah diprediksi, namun kenaikan tarif ini tetap saja membuat gusar yang mengharuskan pemerintah mengambil langkah strategis  agar tarif tinggi ini tidak berdampak signifikan terhadap neraca perdagangan negara.  

Pemerintah telah mengumumkan tiga strategi yang telah disiapkan untuk menghadapi kenaikan tarif ini, Pertama, memperluas mitra dagang dengan terlibat dalam kerja sama multilateral. Kedua, memaksimalkan peran Danantara dalam mempercepat hilirisasi. Ketiga, program untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

Pemerintah menyebut, tiga strategi itu dirumuskan berdasarkan pada pemahaman hubungan internasional dan perdagangan global dalam menjaga kestabilan ekonomi Indonesia.

“Dalam menghadapi tantangan global, termasuk kebijakan tarif baru Amerika Serikat, Presiden Prabowo menunjukkan ketajaman melihat dinamika geopolitik. Pemahaman mendalam tentang hubungan internasional dan perdagangan global menjadi kekuatan utama dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia,” kata Deputi Bidang Diseminasi dan Media Informasi Kantor Komunikasi Kepresidenan, Noudhy Valdryno dalam keterangannya pada Kamis (3/4/2025).

Kenaikan tarif impor Trump ini tidak menjadi masalah serius jika fondasi ekonomi Indonesia kuat dan stabil.  Namun, kanikan tarif ini terjadi ketika ekonomi Indonesia dalam kondisi rapuh, karena banyak belanja negara diarahkan untuk aktivitas yang tidak produktif  seperti pemilu, pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) dan pembayaran utang.

"Pondasi ekonomi kita saat ini rapuh karena belanja yang tidak produktif," kata Direktur Kebijakan publik dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyu Askar kepada Media Indonesia, Senin (23/9/ 2024).

Pondasi rapuh dengan beban utang yang menggunung  membuat sedikit goncangan saja dapat menyebabkab ekonomi negara mengalami kontraksi.

Ditambah lagi selama ini, pejabat  Indonesia dikenal doyan impor yang membuat negara sangat bergantung dengan barang impor. Termasuk mengimpor barang atau produk yang bisa dibikin di dalam negeri atau ditanam sendiri seperti produk pertanian, semisal beras, gula, jagung, singkong, garam dan lain-lain. Kebiasaan Impor selama ini bukan sekadar untuk menutup kekurangan produk kebutuhan dalam negeri, tetapi cara untuk berburu rente dari selisih harga atau fee impor tersebut.

Badan Pusat Satasistik (BPS) mencatat sepanjang 2024 lalu neraca perdagangan Indonesia masih surplus. Hingga November 2024,  surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar 4,42 miliar dollar AS,  yang berasal dari sektor nonmigas 5,67 miliar dollar AS. Namun, dari sektor migas defisit senilai 1,25 miliar dollar AS.

Kebijakan proteksionisme Donald Trump yang menaikan tarif impor, mengancam neraca perdagangan Indonesia, karena Amerika adalah pasar ekspor nonmigas terbesar kedua dengan share sebesar 10,33 persen.  China di urutan pertama dengan share sebesar 27,52 persen, dan India  di urutan ketiga  sebesar 6,97 persen.

Kenaikan tarif menyebabkan produk Indonesia akan menjadi barang mahal di pasar Amerika yang membuat produsen Indonesia kesulitan menjual produknya di negeri  Paman Sam itu.  Dengan sendirinya, penurunan ini juga akan berdampak pada turunnya nilai ekspor Indonesia ke negara itu.  Mau tak mau agar  produksi tetap berjalan, produsen harus mencari pasar baru di negara-negara potensial atau fokus dengan pasar yang ada di dalam negeri. Keduanya memiliki tantangan sendiri-sendiri, menjajaki pasar baru di negara lain perlu waktu dan biaya yang tak sedikit, sementara menggarap pasar dalam negeri, daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan.

Berkah atau Musibah?

Tarif Impor Trump  Berkah atau Musibah
Presiden RI, Prabowo Subianto saat menghadiri acara Sarasehan Ekonomi di Jakarta, Selasa (08/04/25). (Foto: Tangkapan layar YouTube/Sekretariat Presiden)

Pemerintahan Prabowo Subianto, mengalami pukulan beruntun sejak awal kekuasaannya. Belum sempat membayar utang yang jatuh tempo sebesar Rp800 trilliun lebih pada 2025 ini, badai PHK sudah terjadi di mana-mana yang membuat daya beli masyarakat menurun yang berdampak melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional.  

Menurunnya daya beli ini jelas tergambar pada turunnya pemudik sebesar 24 persen pada Lebaran 2025 ini. Kementerian Perhubungan mencatat, jumlah pemudik pada 2025 sebanyak 146,48 juta orang. Angka ini turun dari tahun 2024 yang mencapai 193,6 juta orang.  Sebuah kondisi yang menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat.  

Pukulan itu menguat dengan melemahnya Rupiah yang sudah menyentuh angka 17.000/1 US Dolar.  Anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan  di zona merah pada perdagangan Selasa 8 April 2024, juga menjadi indikasi pasar yang lesu dan pemerintah belum menemukan resep untuk mendongkrak pertumbuhan.

Kenaikan tarif impor Trump menambah pukulan yang membuat pemerintah tersudut dan harus bergerak cepat menghindar  agar tidak ambruk. Dalam posisi terdesak seperti sekarang, satu-satunya pihak yang dapat membantu cepat adalah rakyat Indonesia, yang sudah terbukti sepanjang sejarah selalu hadir setiap kali ada ancaman dan menjadi penyangga ketika negara dalam keadaan sulit.  

Rakyat Indonesia sudah teruji bisa bertahan dan dapat hidup dalam kondisi minus dengan penghasilan yang tak masuk akal dan di luar formula  para ekonom.  Dalam situasi negara krisis, rakyat saling bahu membahu membantu satu sama lain ketika orang-orang  kaya sibuk menyelamatkan diri sendiri dan menyembunyikan aset-asetnya.

Kehilangan pasar ekspor 10 persen ke Amerika karena kenaikan tarif Trump itu bisa diatasi dengan menggarap pasar dalam negeri. 180 juta jiwa penduduk Indonesia adalah pasar terbesar keempat dunia yang diinginkan oleh semua negara produsen untuk menjual produknya. Syaratnya, pemerintah harus membangun pasar itu dan memasok semua kebutuhannya dengan produk yang dibuat oleh anak negeri sendiri dan memproteknya seperti yang dilakukan Donal Trump memprotek industri dalam negerinya dengan menaikkan tarif produk dari luar. Bukan membebaskan barang dari luar yang menjadikan Indonesia sebagai pasar besar dan aset bagi negara lain membangun kekayaannya.

Syarat lainnya, pemerintah juga harus tulus dan tidak modus membuat kebijakan dan menjelaskan kepada publik.  Selama ini masyarakat sudah sering kena “prank” dengan kebijakan-kebijakan yang tidak memihak. Mereka banyak yang kehilangan tanah sebagai aset satu-satunya yang diambil  paksa atau dikuasai secara licik dengan mengakali aturan  melalui tangan aparat yang menyalahgunakan wewenang. Seperti yang terjadi dalam 10 tahun terakhir, dua priode pemerintahan Jokowi yang  menyebabkan kepercayaan rakayat kepada pemerintah  menurun drastis.  Imbasnya sedikit banyak akan berdampak kepada pemerintahan Prabowo karena ada Gibran yang duduk menjadi wakilnya  sebagai representasi Jokowi.

Karena itu, momentum kenaikan tarif impor Donald Trump dapat menjadi momentum bagi pemerintahan Presiden Prabowo untuk memuliakan rakyat Indonesia dan menjadikannya pasar besar untuk membangun kedaulatan dan ketahanan ekonomi  negara. Dengan demikian. Kenaikan kenaikan  tarif impor Trump akan menjadi “blessing indisguize” bagi pemerintah untuk membangun kekuatan pasar sendiri.  

Namun sebaliknya, jika momen ini tidak disikapi dengan tepat dan masih tergantung dengan potensi dan kekuatan di luar negeri sendiri, maka kenaikan tarif impor Donald Trump ini akan menjadi musibah yang akan membuat pemerintah goyah bahkan tidak mustahil akan ambruk. Semoga tidak. (Aswan AS)

Artikel Terkait Pilihan ThePhrase

 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic