ThePhrase.id - Upacara Yadnya Kasada adalah ritual yang dirayakan oleh masyarakat suku Tengger setiap hari ke-14 di bulan Kasada dalam kalender tradisional Hindu Tengger. Dalam rangka perayaan upacara adat tersebut, Wisata Gunung Bromo ditutup sementara dari tangga 3 Juni hingga 5 Juni 2023.
Diunggah melalui laman Instagram Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTN BTS), atas permohonan dari Parisda Hindu Dharma Indonesia Kabupaten Probolinggo, bahwa keseluruhan kawasan Gunung Bromo akan ditutup untuk wisatawan.
Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini termasuk Penanjakan, Bukit Kedaluh, Bukit Cinta, Mentigen, Laut Pasir dan Savana. Penutupan ini dimulai pada hari Sabtu, 3 Juni 2023 pukul 18.00 WIB sampai dengan hari Senin, 5 Juni 2023 pukul 18.00 WIB.
Selain itu, ada juga pembatasan akses pengunjung ke kawasan Gunung Bromo, yaitu Kabupaten Probolinggo sampai Cemoro Lawang, Kabupaten Pasuruan sampai Pakis Bincil, Kabupaten Lumajang dan Malang sampai Jemplang.
Upacara ini merupakan kegiatan masyarakat suku Tengger yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Setiap tahunnya, mereka akan menyelenggarakan Yadnya Kasada untuk memberikan persembahan sajen kepada Sang Hyang Widhi.
Sejarah Yadnya Kasada
Diketahui masyarakat Tengger telah melakukan upacara ritual ini sejak masa Kerajaan Majapahit pada abad ke-13 Masehi. Ritual kepada Sang Hyang Widhi dilakukan dengan memberikan persembahan ke kawah Gunung Bromo.
Awal mula adanya ritual tersebut berasal dari dua pasangan Rara Anteng, putri raja Brawijaya, dan Joko Seger, putra seorang Brahmana Kediri. Mereka menikah dan tinggal tak jauh dari Gunung Bromo, tetapi mereka tidak dikaruniai anak sampai akhirnya keduanya berdoa kepada Sang Hyang Widhi.
Rara Anteng dan Joko Seger berjanji jika memiliki anak akan mengorbankan salah satu anaknya. Setelah itu, Rara Anteng melahirkan anak dan berujung memiliki 25 anak. Namun, suatu saat salah satu anaknya menghilang dan mendengar suaranya dari kawah Gunung Bromo.
Melansir Indonesia Kaya, ritual Yadnya Kasada berawal dari pasangan tersebut. Setiap keturunannya atau masyarakat Tengger harus memberi korban ke bawah kawah jika ingin hidup sejahtera. Maksud memberi korban adalah mempersembahkan hasil panen dan ternak.
Namun bedasarkan prasasti yang ditemukan, masyarakat Tengger mayoritas bekerja sebagai petani. Mereka memiliki hasil panen yang melimpah dan alam sekitarnya dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Maka, masyarakat merasa harus menghormati alam dan menjaga hubungan yang harmonis. Sehingga, ritual melemparkan atau mempersembahkan hasil panen ataupun ternak ke kawah Gunung Bromo merupakan sebuah penghormatan pada alam dan pensucian. [Syifaa]