ThePhrase.id - Istilah period poverty atau kemiskinan menstruasi belakangan menjadi topik hangat di media sosial. Di Indonesia, perhatian terhadap isu ini semakin meningkat setelah ditetapkannya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025.
Kenaikan ini diperkirakan akan berdampak pada harga produk kewanitaan dan sanitasi menstruasi, sehingga berpotensi memperburuk masalah period poverty.
Lantas apa itu period poverty?
Menurut laman unwomen.org, period poverty adalah kondisi ketidakmampuan untuk membeli dan mengakses produk menstruasi, fasilitas sanitasi, serta mendapatkan edukasi dan kesadaran tentang kesehatan menstruasi.
Beberapa faktor utama yang menyebabkan period poverty meliputi:
Kondisi ini diperparah oleh kebijakan pajak yang tidak berpihak pada gender, seperti pink tax—pajak tambahan untuk produk feminin. Sebagai contoh, di beberapa negara bagian Amerika Serikat, produk seperti Viagra untuk disfungsi ereksi dikategorikan sebagai barang kesehatan bebas pajak, sementara produk sanitasi menstruasi dikenai pajak tinggi sebagai barang mewah.
Tidak semua negara menerapkan pajak pada produk menstruasi. Beberapa negara bahkan memberikan tarif nol persen atau tidak memungut pajak sama sekali.
Menurut Periodtax.org, berikut adalah negara-negara yang membebaskan pajak pada produk sanitasi menstruasi:
Selain itu, sejumlah negara, termasuk Jerman, Polandia, Vietnam, dan Nepal, menetapkan tarif pajak lebih rendah untuk produk menstruasi.
Menurut data Direktorat Jenderal Pajak, pembalut dan produk sanitasi menstruasi lainnya di Indonesia saat ini dikenakan PPN sebesar 11 persen. Dengan tarif pajak tersebut, period poverty tetap menjadi salah satu masalah yang memengaruhi perempuan di Indonesia.
Jika kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025 juga diterapkan pada produk menstruasi, maka beban perempuan yang menghadapi period poverty diperkirakan akan semakin berat.
[nadira]