features

Wacana Jokowi 3 Periode Kembali Bergulir

Penulis Aswan AS
Mar 21, 2022
Wacana Jokowi 3 Periode Kembali Bergulir
ThePhrase.id - Setelah wacana penundaan Pemilu 2024 yang dilontarkan oleh Ketum (ketua Umum) PKB, Golkar dan PAN mendapat perlawanan dari berbagai elemen masyarakat, kini wacana Jokowi 3 periode bergulir kembali.

Baliho Jokowi 3 periode bermunculan di sejumlah kota di Indonesia. Baliho Jokowi 3 periode ini diikuti dengan aksi serentak kelompok Jokpro di 3 wilayah yaitu Sumatera Selatan (Kabupaten Empat Lawang, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Komering Ulu), Jawa Barat (Kabupaten Garut) dan Jawa Timur (Kabupaten Lumajang) pada Sabtu (19/3/2022).

Dalam pernyataannya para relawan Jokpro 2024 menolak penundaan pemilu tetapi mendukung Jokowi untuk menjabat 3 periode. Ketua Jokpro 2024 Chapter Kabupaten Empat Lawang, Debi Sudrianto menegaskan, pemilu harus tetap diselenggarakan sesuai aturan yang berlaku, tahun 2024. Karena pemilu tepat waktu itu menyangkut hak konstitusional warga negara.

Presiden Joko Widodo. (Foto: instagram/jokowi)


“Ya dalam aksi ini kami mendukung Jokowi 3 periode dan prosesnya harus tetap melalui pemilu 2024 ya. Kami tidak mau kalau diundur itu sama saja merampas hak konstitusional rakyat,” ujar Debi dalam aksi tersebut.

Para relawan Jokpro 2024 menilai, Presiden Jokowi perlu diberikan satu kesempatan lagi dalam memimpin Indonesia. Namun, kata Debi, hal tersebut tetap melalui pemilu yang diselenggarakan 5 tahun sekali.

"Makanya, kita tetap dukung pemilu 2024, tetapi beri kesempatan Jokowi bertarung sekali lagi di pemilu," katanya.

Salah satu alasan relawan Jokpro 2024 mendukung Jokowi 3 periode karena Jokowi telah mampu menstabilkan perekonomian bahkan di saat pandemi Covid-19.

“Memang dari awal kita sudah lihat (kinerja Jokowi), banyak sekali faktor yang membuat masyarakat terutama kami di Lumajang tetap ingin Pak Jokowi lanjut 3 periode. Mulai dari pembangunan infrastruktur yang merata, kebijakan BBM satu harga, dan di saat pandemi seperti ini saja Pak Jokowi mampu menstabilkan perekonomian bangsa,” jelas Heri Sujatmiko, Ketua Jokpro 2024 Chapter Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Penasihat Relawan Jokowi-Prabowo 2024, M. Qodari (Kanan) di Sekretariat Relawan Jokpro, Mampang, Jakarta, Sabtu (19/6). (CNN Indonesia/Ramadhan Rizki)

Tolak Presiden 3 Periode


UUD 1945 tidak membolehkan seorang presiden menjabat 3 periode. Itu artinya, jika Jokowi akan didorong untuk menjabat lagi maka harus ada amandemen terhadap konstitusi. Dan proses itu adalah jalan panjang dan terjal karena berbagai pihak telah menolak dengan keras Presiden menjabat selama 3 periode. Penolakan tidak hanya dari kalangan “oposisi”, tetapi juga akademisi bahkan politisi PDI Perjuangan, partai yang telah mengantarkan Jokowi menjadi presiden.

Pengamat politik dari Universitas Nusa Cendana, Jhon Tuba Helan jauh-jauh hari sudah mengingatkan agar masyarakat tidak melanggar konstitusi dalam mendukung siapa pun pada Pilpres 2024. Gerakan seperti deklarasi agar Presiden Jokowi kembali memimpin untuk periode ketiga kalinya dinilai sebagai tindakan yang melanggar konstitusi.

“Deklarasi itu sudah jelas melanggar konstitusi karena di dalam konstitusi sudah mengatur secara jelas bahwa presiden itu hanya boleh memimpin 2 x 5 tahun dan undang-undang mengatur itu," katanya beberapa waktu lalu.

Dia menyebutkan rumusan soal masa jabatan presiden ada pada pasal 7 UUD 1945. Presiden menjabat lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Oleh karena itu, presiden yang sudah dua kali menjabat, tidak diijinkan lagi mencalonkan diri pada periode ketiga.

Hal senada juga dikatakan akademis politik pemerintahan UGM Abdul Gaffar Karim yang menyebut masa jabatan presiden 3 periode merupakan bentuk pelanggaran terhadap pembatasan kekuasaan.

“Hal pertama yang dilanggar adalah pembatasan kekuasaan,” katanya di laman resmi UGM.

Di dalam dunia demokrasi modern, kata Gaffar telah ada kesepakatan bahwa penguasa eksekutif hanya boleh dipilih maksimal dua kali. Pembatasan tersebut mengacu pada moral dasar demokrasi, di mana kekuasaan tidak boleh berada di satu tangan. Melainkan harus menyebar seluas mungkin.

Abdul Gaffar Karim. (Foto: ugm.ac.id)


“Pembatasan ini kesepakatan saja, tetapi jadi pijakan agar kekuasaan tidak memusat,” katanya.

Gaffar menjelaskan ada dua jenis pembatasan kekuasaan, yakni pembatasan legal dan pembatasan etik. Pembatasan legal yang dilakukan dengan aturan resmi, seperti regulasi dan konstitusi, melalui pemilihan kepala daerah dan negara, maksimal dua kali. Sedangkan pembatasan etik adalah pembatasan yang tidak tertulis di dalam hukum.

Meskipun begitu, tetap harus menjadi kesepakatan bersama. Contoh, penguasa diharapkan untuk tidak mendorong keluarga dekatnya meneruskan kekuasaan. Meskipun sebenarnya hal itu tidak dilarang atau dibatasi secara hukum, tetapi ada batasannya secara etika politik.

“Pembatasan ini dalam rangka mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan yang ditabukan dalam demokrasi dan disepakati dalam demokrasi modern,” tuturnya.

Sementara Wakil Ketua MPR sekaligus Ketua Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) MPR Ahmad Basarah meminta agar rencana amendemen terbatas terhadap UUD 1945 terkait pokok-pokok haluan negara (PPHN) tidak dilakukan pada MPR periode 2019-2024. Pasalnya, kata Basarah, dikhawatirkan ada penumpang gelap yang memasukkan agenda lain dalam rencana amendemen terbatas tersebut.

Ahmad Basarah. (Foto: japos.co)


“Sebaiknya rencana amendemen terbatas UUD 1945 tidak dilaksanakan pada periode 2019-2024 ini,” ujar Basarah dalam keterangannya, Jumat (18/3/2022).

Basarah mengatakan sebelum mulai proses formal amendemen konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945, harus dipastikan situasi dan kondisi psikologi politik bangsa dalam keadaan yang kondusif. Selain itu, katanya, segenap elemen bangsa juga sama-sama memiliki common sense bahwa amendemen UUD tersebut sebagai suatu kebutuhan bangsa, bukan kepentingan satu kelompok, apalagi perseorangan tertentu saja.

Menurutnya, dinamika politik saat ini sudah tidak memungkinkan untuk melakukan amendemen UUD 1945 secara terbatas. Pasalnya, saat ini sudah memasuki tahun politik untuk menghadapi Pemilu 2024 dan berkembangnya wacana penundaan pemilu yang berdampak pada perpanjangan masa jabatan presiden dan penyelenggara negara lainnya.

“Segenap partai politik sudah mulai sibuk menyiapkan diri menyongsong Pemilu Serentak Tahun 2024, sehingga kurang ideal jika energi bangsa untuk fokus pada amendemen UUD, harus terpecah konsentrasinya untuk melaksanakan pemilu. Hal itu akan lebih sulit lagi jika dalam proses dan hasil pemilu ternyata menimbulkan gesekan politik di antara sesama komponen bangsa,” katanya. (Aswan AS)

Tags Terkait

 
Related News

Popular News

 

News Topic