features

Wacana Reformasi Polri, Prabowo Kesandung Permainan Politik Elit?

Penulis M. Hafid
Nov 04, 2025
Ilustrasi anggota kepolisian saat berjaga aksi demonstrasi. Foto: istimewa.
Ilustrasi anggota kepolisian saat berjaga aksi demonstrasi. Foto: istimewa.

Thephrase.id - Pada 15 September 2025, telepon Mahfud MD seketika berbunyi melengking, layar telepon genggamnya menyala, nama Sekretaris Kabinet (Seskab) Merah Putih, Letkol Teddy Indra Wijaya terpampang sebagai penelpon.

Tepat pada pukul 5 sore, Mahfud mengangkat telepon itu. "Profesor ada dimana," tanya Teddy. Mahfud tak segera memberitahu lokasi dia berada. "Ada apa," Mahfud balik bertanya.

Teddy lantas mengungkapkan maksud dan tujuan dirinya menelpon sang mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) era Presiden Jokowi itu, bahwa dia ingin menemui Mahfud secara langsung pada malam itu juga.

Namun, pertemuan itu urung dilakukan lantaran Mahfud sedang berada di Jogja kala itu. Mahfud lebih sering berada di Jogja sejak tidak lagi berada di pemerintahan. Dia kembali kepada tugas semula sebagai seorang profesor hukum tata negara di Universitas Islam Indonesia (UII).

Mahfud menyanggupi untuk bertemu pada keesokan harinya, tepatnya pada pukul 4 sore. Sebab, dia harus mengajar terlebih dahulu di kampus. Pria asal Madura itu kemudian memastikan soal topik pembahasan yang belum diungkap Teddy, akan dilakukan secara langsung atau via telepon. "Saya mau ketemu," jawab Teddy.

Pada 16 September 2025 pukul 16.30 WIB, Teddy tiba di kantor Mahfud di wilayah Kramat, Jakarta Pusat. Keduanya berdiskusi panjang, salah satu tema besarnya soal misi Presiden Prabowo Subianto yang ingin melakukan reformasi Polri dan meminta Mahfud untuk menjadi tim di dalamnya.

Mahfud mengamini rencana Prabowo dan mengungkapkan kesediaannya untuk terlibat dalam tim kecil reformasi Polri. Sedianya Mahfud akan dipanggil ke Istana oleh Prabowo pada Jumat, 19 September 2025. Namun pada Kamis malam, Teddy menyampaikan pembatalan kepada Mahfud lantaran Presiden harus berangkat kunjungan kerja ke New York.

Wacana reformasi Polri semula bergulir usai para tokoh dan pemuka agama yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB) mendatangi Prabowo di Istana Negara pada Kamis (11/9).

Mereka mendesak pemerintah mengevaluasi dan melakukan reformasi Polri yang disorot usai tindakan represif hingga berujung meninggalnya pengemudi ojek online, Affan Kurniawan dalam gelombang aksi demonstrasi pada akhir Agustus 2025.

Seperti ditelan bumi, rencana reformasi Polri tak juga dilakukan, Mahfud tak kunjung mendapat informasi lanjutan. “Saya enggak tahu ya. Sampai sekarang, saya belum tahu perkembangannya,” kata Mahfud kepada awak media, Minggu (26/10).

Mantan Menteri Pertahanan era Presiden Abdurrahman Wahid itu enggan mengkonfirmasi kepada siapapun, termasuk ke Istana ihwal kelanjutan rencana reformasi Polri. "Nanti dikira saya ingin atau apa," ucapnya.

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi mengatakan tim reformasi Polri nantinya akan diisi oleh sekitar sembilan orang, termasuk Mahfud.  

Pada 5 Oktober 2025, Prasetyo menyebut tim sembilan itu akan diumumkan dan dilantik oleh Presiden sepekan setelah momen perayaan HUT ke-80 TNI.

Nihil, pengumuman tim reformasi tak jua dilakukan saat waktu yang dijanjikan Prasetyo itu tiba. Alasannya, karena sebagian dari sembilan orang itu berhalangan hadir.

Kemudian, dia kembali menyampaikan bahwa pengumuman dan pelantikan tim reformasi tinggal menunggu waktu saja. Namun, satu bulan lebih tak kunjung ada kelanjutan. Tidak ada langkah konkret dari pemerintah terkait reformasi Polri. Pemerintah terkesan tidak serius dalam memperbaiki kondisi kepolisian.

“Mohon sabar menunggunya," kata Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan sekaligus juga disebut menjadi tim reformasi, Yusril Ihza Mahendra, Senin (20/10).

Militerisme Orba dan Politisasi Polri

Eks komisioner Kompolnas Poengky Indarti memandang pemerintah perlu segera melakukan reformasi Polri dengan cara sebaik-baiknya. Sebab, watak dan wajah kepolisian saat ini tak jauh berbeda dengan era ABRI, militeristik.

Pemisahan TNI dan Polri dalam satu naungan ABRI dilakukan pada 1999 usai runtuhnya cengkraman kekuasaan Soeharto. Pemisahan itu termaktub dalam Inpres No. 2 tahun 1999 yang diperkuat dengan adanya Tap MPR RI No. VI tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.

Polri juga sudah mengalami beberapa kali reformasi, mulai dari reformasi struktural yang menempatkan Polri berada di bawah Presiden, reformasi Instrumental Polri yang mengubah seluruh perundangan dari aturan militer ke sipil, hingga reformasi kultural yang mewajibkan pimpinan dan seluruh anggota Polri mengubah watak militeristik ke humanis.

Namun yang terjadi, kata Poengky, sederet reformasi yang dilakukan tidak ada hasil membanggakan. Polisi masih bertindak represif, koruptif, hingga militeristik. "Oleh karena itu Reformasi Kultural Polri menjadi keharusan untuk dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya," kata Poengky kepada ThePhrase.id, Kamis (30/10).

Wacana Reformasi Polri  Prabowo Kesandung Permainan Politik Elit
Komisioner Kompolnas Poengky Indarti. Foto: (Instagram @kompolnas_ri)

Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai militeristik di tubuh Polri masih mengakar kuat. Diperparah dengan sistem yang tertutup dan ketimpangan akuntabilitas.

Selain itu, Usman menyebut ada dua persoalan menahun yang diderita Polri, yakni politisasi dan komersialisasi. Kedua hal itu disebut sebagai penghambat wacana reformasi Polri oleh pemerintah.

“Polri hari ini berada di dua sisi, politisasi institusi untuk kepentingan kekuasaan dan komersialisasi untuk kepentingan bisnis,” kata Usman, Selasa (28/10).

Polri sejak awal punya relasi erat dengan Presiden, partai politik, dan pemilik modal. Mereka kerap menjadi alat pengamanan kebijakan pemerintah dan kepentingan pebisnis, dibanding menjadi pelindung masyarakat.

Kedua "penyakit" itu disebut sebagai turunan dari sejarah panjang dan filosofi 'Bhayangkara' di era Majapahit. Kala itu, pasukan pengawal hanya bertugas mengawal raja, bukan pelindung masyarakat. Pola itu masih terus dilestarikan sampai saat ini.

“Kultur politik itu semakin kuat di masa kini, di mana polisi menjadi alat pembangunan dan alat kekuasaan,” ungkapnya.

Hal senada disampaikan Bambang Rukminto, Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS). Polri dianggap terperangkap dalam hegemoni kekuasaan sebagaimana yang terjadi pada era Orba. Polisi menjadi alat untuk mempertahankan maupun mendapatkan kekuasaan.

"Dengan posisi seperti itulah akhirnya melihat masyarakat sebagai entitas di luar kelembagaannya yang seringkali dianggap pengganggu keamanan, bukan masyarakat yang harus dilindungi, diayomi dan dilayani," kata Bambang saat berbincang dengan ThePhrase.id beberapa waktu lalu.

Berdasarkan catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada sebanyak 602 kasus kekerasan yang dilakukan polisi sepanjang Juli 2024 sampai dengan Juni 2025. Dari jumlah tersebut, didominasi kasus penembakan sebanyak 411. Kemudian, 81 kasus penganiayaan, dan 72 kasus penangkapan sewenang-wenang.

Sisanya, sebanyak 2 kasus pembubaran paksa aksi unjuk rasa, 38 kasus penyiksaan, 28 kasus intimidasi, 9 kasus kriminalisasi, 7 kasus kekerasan seksual, serta 2 kasus tindakan tidak manusiawi. Jumlah itu belum termasuk kekerasan yang dilakukan polisi sepanjang gelombang demonstrasi pada 25-31 Agustus 2025.

Berdasarkan catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), setidaknya lebih dari 3.000 orang diringkus selama demonstrasi berlangsung. Selain ditangkap, sebanyak 1.042 orang mengalami luka-luka dan 10 lainnya meninggal, termasuk pengemudi ojek online, Affan Kurniawan.

Hal itu mengafirmasi bahwa sifat polisi saat ini jauh dari harapan masyarakat saat reformasi pertama kali dilakukan pada 1999, yakni menjadi polisi sipil yang profesional, humanis, dan menghormati HAM.

Meredupnya wacana reformasi Polri oleh Prabowo dinilai akibat belum bertemunya kepentingan politik antar elit. Penolakan dari sebagian pihak internal Polri juga mengemuka, salah satu indikasinya adalah dibentuknya tim reformasi internal oleh Kapolri yang diumumkan beberapa hari usai pemerintah merencanakan pembentukan komite reformasi.

Poengky tidak ingin berspekulasi ihwal meredupnya wacana reformasi Polri oleh Prabowo akibat belum bertemunya kepentingan politik elit. Sementara soal pembentukan reformasi Polri dari internal, dia tidak menganggap itu sebagai bentuk penolakan akan wacana tersebut.

"Saya kurang tahu terkait kepentingan para elit politik. Saya berbaik sangka saja dan menunggu keputusan Presiden," kata Poengky. "Setahu saya tidak ada yang menentang pembentukan Komite Reformasi Polri," imbuhnya.

Justru, lanjut Poengky, upaya yang dilakukan Kapolri tersebut selayaknya diapresiasi, karena akan turut membantu dalam akselerasi reformasi Polri yang sudah berlangsung sejak lama. Tim dari internal Polri dianggap akan membantu menyiapkan data dan hal yang dibutuhkan oleh komite reformasi Polri bentukan Prabowo.

Bambang punya pandangan lain. Dia menyebut pembentukan tim reformasi Polri dari internal kepolisian hanyalah gimmick untuk mengalihkan desakan publik yang menginginkan perbaikan.

Wacana Reformasi Polri  Prabowo Kesandung Permainan Politik Elit
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto. Foto: (Instagram@brukminto93)

Dia menyebut masyarakat layak untuk skeptis dan pesimis bahwa tim transformasi Polri dari internal itu akan benar-benar memperbaiki institusinya. Setidaknya, terdapat kendala subyektif dan bias kepentingan di internal kepolisian. Belum lagi terjadi penolakan dari kelompok pro status quo.

"Analoginya tidak mungkin dokter melakukan operasi dirinya sendiri," kata Bambang. "Apakah mungkin tim internal tersebut memetakan penyakitnya sendiri?" imbuhnya.

Anggota Komisi III DPR Sarifudin Sudding sempat mengingatkan agar tidak terjadi dualisme dan tumpang tindih dalam wacana reformasi kepolisian antara pemerintah dan internal Polri. Karena, kata Sudding, hal itu bukan membuat perbaikan melainkan menambah masalah baru.

Sudding juga mengkritik tim reformasi bentukan Kapolri yang diisi oleh perwira aktif Polri. Menurutnya, penempatan perwira aktif polisi berisiko menjadi tameng yang meredam kritik publik dan meminimalkan reformasi struktural serta kultural.

"Untuk itu, evaluasi internal harus dikombinasikan dengan kontrol eksternal yang kuat, agar reformasi tidak berhenti pada level administratif," kata Sudding beberapa waktu lalu.

Baginya, reformasi Polri tidak hanya menyasar pada urusan administratif melainkan menyentuh aspek kultur organisasi. "Publik menuntut transparansi kinerja, akuntabilitas, dan pengawasan independen yang mampu mendorong perubahan nyata dalam budaya organisasi kepolisian,” tandasnya.

Reformasi yang Presisi

Poengky menyebut reformasi Polri harus dilakukan pada tataran kultur, bukan struktur. Selama ini, persoalan yang lahir dari kepolisian berakar dari sikap dan sifat yang melekat dari semua jajaran di tubuh kepolisian.

Menurut Poengky, hal pertama yang dilakukan adalah mengevaluasi sistem rekruitmen anggota kepolisian. Baginya, sistem perekrutan yang baik akan melahirkan anggota Polri yang bersih dan berkualitas.

Para petinggi Polri juga diminta berbenah agar memberi contoh dan menjadi teladan bagi seluruh anggotanya. Membimbing dan mengawasi secara sungguh-sungguh segala tindak tanduk anggotanya agar tertib dan disiplin, serta dapat menjalankan tugas secara profesional dan bertanggung jawab.

"Jika pimpinan cuek, elek-elekan maka, sudah pasti anggota juga elek-elekan dalam melaksanakan tugasnya," ungkapnya.

Menurut Poengky, penerapan pemberian sanksi yang tegas akan menjadikan reformasi Polri lebih presisi. Unsur pimpinan tidak parsial dan pilih kasih dalam menindak anggotanya yang melakukan tindak pidana.

Kemudian, sistem pengawasan baik dari internal maupun dari eksternal Polri harus dikuatkan. "Saya yakin jika hal-hal ini dilakukan, maka reformasi kultural Polri akan terlaksana dengan baik, dan komplain masyarakat akan turun," ucapnya.

Begitu juga Bambang, dia menyebut reformasi atau perubahan kultur di tubuh Polri harus segera dilakukan. Reformasi kultur yang menjadi bagian dari rekayasa sosial akan berbuah manis apabila membangun sistem yang lebih baik.

Bagi Bambang, Polri yang profesional dihasilkan dari sistem yang benar, dimulai sejak rekrutmen, pendidikan, merit system, kontrol, pengawasan, dan akuntabilitas.  

"Ke depan, perbaikan Polri tidak bisa menggantungkan pada sosok yang dipilih sebagai Kapolri, tetapi sistem yang baik akan melahirkan Kapolri yang semakin lebih baik," tandasnya. (M Hafid  & Rangga)

Artikel Pilihan ThePhrase

- Advertisement -
 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic