ThePhrase.id – Kekerasan dalam hubungan tidak selalu berbentuk kekerasan fisik (physical abuse), tetapi juga kekerasan emosional (emotional abuse). Berbeda dengan kekerasan fisik, kekerasan emosional lebih sulit dideteksi, terutama jika dilakukan secara halus tanpa tanda-tanda yang jelas.
Kekerasan emosional adalah tindakan yang tidak melibatkan fisik tetapi bertujuan untuk mengontrol, mengekang, atau mengancam korban. Kekerasan ini tidak terbatas pada hubungan romantis saja, tetapi juga dapat terjadi dalam pertemanan, keluarga, bahkan di lingkungan kerja. Pola perilaku ini sering kali terlihat melalui kata-kata kasar, manipulasi, hingga tindakan perundungan yang merusak harga diri dan kesehatan mental korban.
Hubungan yang penuh kekerasan emosional bisa tampak jelas, misalnya pasangan yang suka membentak atau memberikan nama-nama kasar. Namun, sering kali tindakan ini dilakukan secara halus, seperti pengawasan yang berlebihan, manipulasi, intimidasi, kecemburuan, atau pengabaian emosional.
Meskipun sulit untuk mendeteksi hubungan yang toksik, berikut beberapa tanda yang perlu diwaspadai:
1. Love Bombing
Love bombing terlihat manis di awal, di mana pelaku membanjiri korban dengan gestur romantis yang berlebihan. Namun, hal ini sebenarnya bertujuan untuk membuat korban bergantung kepada pelaku sehingga lebih mudah dimanipulasi.
2. Menetapkan Ekspektasi yang Tidak Masuk Akal
Pelaku sering memaksa korban untuk memprioritaskan kebutuhan mereka, bahkan mengabaikan hal lain. Mereka juga kerap merasa tidak puas dengan apa pun yang dilakukan korban, memaksa korban menerima semua pendapat pelaku tanpa boleh memiliki opini sendiri.
3. Meremehkan Perasaan Korban
Ketika korban marah, pelaku cenderung membalikkan situasi dan meremehkan emosi korban dengan ucapan seperti, “Kamu terlalu emosional” atau “Kamu terlalu sensitif.” Mereka juga sering memaksa korban untuk terus menjelaskan perasaannya, yang akhirnya merusak kepercayaan diri korban.
4. Mengisolasi Korban
Pelaku berusaha memisahkan korban dari orang-orang terdekat, sehingga korban semakin bergantung pada mereka. Tindakan ini sering dilakukan dengan cara mengontrol interaksi sosial korban atau memanipulasi hubungan dengan keluarga dan teman.
Selain tanda-tanda di atas, bentuk kekerasan emosional lainnya meliputi:
Keluar dari hubungan yang penuh dengan kekerasan emosional memerlukan keberanian dan perencanaan. Langkah pertama yang peril diingat adalah jangan pernah berpikiran bahwa perilaku kekerasan emosional dapat diperbaiki. Kedua, kekerasan yang terjadi pada hubungan bukan salah korban dan hindari menyelahkan diri sendiri.
Setelah itu, fokuslah pada kebutuhan fisik dan emosional diri sendiri untuk membangun kekuatan dalam menetapkan batasan dan mencari dukungan. Jika memungkinkan, hindari berinterkasi dengan pelaku dengan membatasi komunikasi hanya pada hal yang perlu.
Jika memungkinkan, carilah dukungan yang lebih besar, dengan berkomunikasi atau meminta tolong kepada keluarga, teman, atau terapis. Ketika sudah siap untuk mengakhiri hubungan, putuskan semua kontak termasuk di media sosial, hindari kembali berkomunikasi.
Berikan waktu bagi diri sendiri untuk pulih, dengan fokus pada membangun kembali identitas dan rutinitas perawatan diri. Jika merasa sulit dalam proses pemulihan disarankan untuk konsultasi dengan professional agar dapat menemukan kembali kehidupan yang bebas dari kekerasan emosional. [Syifaa]