lifestyleRelationship

Weaponized Incompetence, Kebiasaan Kecil yang Diam-diam Merusak Hubungan

Penulis Ashila Syifaa
Dec 28, 2025
Ilustrasi weaponized incompetence. (Foto: Freepik.con)
Ilustrasi weaponized incompetence. (Foto: Freepik.con)

ThePhrase.id - Dalam sebuah hubungan, komunikasi dan perilaku seharusnya berjalan setara. Namun, tidak jarang seseorang memilih mengalihkan tanggung jawab dengan berpura-pura tidak tahu atau tidak mampu secara berulang. Pola ini dikenal sebagai weaponized incompetence dan dapat merusak hubungan dalam jangka panjang.

Istilah weaponized incompetence merujuk pada pola perilaku ketika seseorang secara sadar menampilkan diri seolah tidak mampu melakukan suatu tugas agar tanggung jawab tersebut berpindah ke orang lain. Ketidakmampuan ini bukan kondisi yang sebenarnya, melainkan strategi yang dilakukan berulang kali untuk menghindari kewajiban. Dalam praktiknya, seseorang bisa sengaja melakukan tugas dengan hasil buruk, terus mengaku tidak pandai, atau menolak belajar, sehingga pihak lain merasa lebih efisien jika mengambil alih pekerjaan tersebut.

Perilaku ini kerap muncul dalam hubungan personal, terutama ketika pembagian peran tidak dibicarakan secara jelas. Seseorang yang terbiasa mengatakan tidak bisa atau selalu salah dalam melakukan tugas tertentu akan perlahan dilepaskan dari tanggung jawab itu. Tanpa disadari, pihak lain menanggung beban yang lebih besar, bukan karena kesepakatan bersama, melainkan karena rasa lelah menghadapi ketidakmampuan yang terus diulang.

Penting untuk membedakan weaponized incompetence dari ketidaktahuan yang tulus. Orang yang benar-benar tidak mampu umumnya menunjukkan keinginan untuk belajar, menerima arahan, dan memperbaiki diri. Sebaliknya, dalam pola ini, tidak ada upaya nyata untuk berkembang. Ketidakmampuan justru dijadikan alasan yang aman untuk menghindar, bahkan kadang disertai dengan menyalahkan orang lain karena dianggap tidak memberi instruksi yang jelas atau terlalu menuntut.

Dampak dari perilaku ini tidak hanya bersifat praktis, tetapi juga emosional. Ketika satu pihak terus mengambil alih tanggung jawab, rasa lelah, kesal, dan tidak dihargai mudah muncul. Ketimpangan yang dibiarkan dalam jangka panjang dapat merusak kualitas hubungan, memicu konflik tersembunyi, dan mengikis rasa saling percaya. Beban mental menjadi tidak seimbang karena satu orang merasa harus selalu memastikan segalanya berjalan dengan baik.

Fenomena ini juga dapat ditemukan di lingkungan kerja. Seseorang yang berulang kali menyerahkan pekerjaan dengan kualitas rendah atau menghindari tugas tertentu dengan alasan tidak mampu akan membuat rekan kerja merasa terpaksa turun tangan. Akibatnya, distribusi beban kerja menjadi tidak adil dan kinerja tim terganggu. Dalam konteks ini, weaponized incompetence tidak lagi sekadar masalah pribadi, melainkan persoalan profesional yang berdampak sistemik.

Menghadapi perilaku semacam ini membutuhkan kesadaran dan batasan yang tegas. Pola tersebut perlu dilihat secara menyeluruh, bukan sebagai kejadian terpisah. Komunikasi yang jelas mengenai tanggung jawab bersama menjadi langkah penting, disertai konsistensi untuk tidak selalu mengambil alih tugas yang seharusnya bisa dipelajari dan dikerjakan oleh pihak lain. Tanpa batasan, perilaku ini akan terus berulang karena tidak pernah menemui konsekuensi. [Syifaa]

Artikel Pilihan ThePhrase

- Advertisement -
 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic