ThePhrase.id – Baju koko adalah baju muslim yang dikenakan oleh pria dan identik digunakan untuk beribadah setiap harinya. Baju koko juga digunakan pada acara-acara keagamaan, hingga pada hari besar dalam agama Islam seperti Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran.
Menjelang Hari Raya Idul Fitri, penjualan baju koko sering kali melonjak karena dicari dan diserbu oleh pria muslim untuk merayakan Lebaran dengan mengenakan baju baru. Hal ini dapat dilihat dari luasnya digunakan oleh masyarakat umum hingga para artis Tanah Air.
Dalam perkembangannya, baju muslim ini juga memiliki desain hingga warna yang beragam. Mulai dari yang basic polos dengan variasi warna yang bermacam-macam, hingga yang bermotif unik.
Baju koko juga menjadi pilihan pada koleksi-koleksi brand lokal yang membuat desainnya lebih kekinian, dengan estetik generasi muda. Sehingga, modelnya tak melulu monoton dan jadul, tetapi lebih bisa dipadukan dengan celana, dan sepatu atau sendal senada yang membuat outfit lebih kece.
Dengan kedekatan baju koko sebagai baju muslim di Indonesia dan digunakan pada berbagai acara, bagimana asal-usul masuknya baju ini ke Indonesia dan bagaimana relasi menjadi baju muslim terbangun?
Asal-usul baju koko
Seperti yang banyak ditebak oleh masyarakat, baju muslim untuk pria ini merupakan baju yang berasal dari China. Baju ini merupakan salah satu unsur Tionghoa yang masuk dalam budaya Betawi.
Nama asli dari baju ini di negara asalnya adalah tui-khim yang merupakan baju tanpa kerah atau dengan kerah yang tegak ke atas. Pada awal abad ke-20, baju ini digunakan oleh para kaum Tionghoa yang tinggal di Indonesia.
Oleh para pria Tionghoa, baju tui-khim dipadukan dengan celana yang longgar dan digunakan untuk berkegiatan sehari-hari. Baju ini diadopsi oleh masyarakat Betawi dengan memadukannya bersama celana batik sebagai bawahannya.
Pengadopsian tersebut berlaku ketika warga Tionghoa makin berbaur dengan pribumi. Terutama ketika baju tui-khim mulai ditinggalkan oleh para masyarakat Tionghoa di Indonesia karena para pria China ini telah diperbolehkan mengenakan pakaian Belanda seperti jas dan sepatu pantofel.
Hanya kalangan menengah ke bawah yang masih mengenakan baju tui-khim. Lambat laun baju ini turut digunakan oleh masyarakat pribumi. Berbagai kalangan pribumi mengenakan baju ini, termasuk dengan para agamawan Islam.
Baju ini dinilai sebagai baju yang tergolong sopan, sehingga kerap digunakan untuk melakukan ibadah seperti salat baik lima waktu, maupun salat Jumat. Para kiai yang turut mengenakan pakaian ini kemudian ditiru oleh para santri dan kemudian menyebar luas menjadi baju muslim.
Lantas, mengapa namanya disebut koko?
Dilansir dari berbagai sumber, nama Koko ini berasal dari sebutan orang-orang pribumi yang melihat kaum Tionghoa mengenakan baju ini. Baju tui-khim kala itu banyak dikenakan oleh engkoh-engkoh atau kakak laki-laki.
Dari engkoh-engkoh, kemudian para pribumi menyederhanakannya menjadi koko. Jadilah kemudian nama koko lebih dikenal secara luas di seluruh penjuru Indonesia. [rk]