ThePhrase.id – Istilah THR, singkatan dari Tunjangan Hari Raya telah menjadi istilah yang familiar bagi masyarakat Indonesia. Setiap tahunnya, menjelang hari raya keagamaan, pekerja akan mendapatkan THR atau non upah dalam bentuk uang yang wajib diberikan oleh pemilik perusahaan tempatnya bekerja.
Berbeda agama, berbeda juga waktu pemberian THR-nya. Seperti yang kita ketahui, di Indonesia terdapat enam agama yang diakui negara. Sehingga, sebagai contoh, bagi umat muslim, THR diberikan menjelang hari raya Idul Fitri. Sedangkan bagi umat nasrani, THR diberikan menjelang hari Natal di akhir tahun.
Pemberian THR diatur secara resmi oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, dan terdapat tenggat waktu pemberian yang diatur. Sehingga, apabila pemilik perusahaan telat memberikan THR kepada karyawannya akan dikenakan denda sebesar 5 persen dari total THR yang dibayarkan.
Ilustrasi rupiah untuk Tunjangan Hari Raya. (Foto: pexels/Robert Lens)
THR merupakan sebuah budaya khas Indonesia. Mulai dari PNS, pekerja swasta, hingga buruh semua memiliki hak untuk mendapatkan tunjangan di hari raya sebanyak satu kali gaji apabila telah bekerja selama satu tahun penuh dan lebih. Sedangkan yang belum bekerja selama satu tahun dihitung secara proporsional.
Tetapi, dari mana budaya THR ini berasal, apa asal-usulnya dan mengapa hanya dilakukan di Indonesia?
Tunjangan Hari Raya pertama kali muncul di Indonesia saat negara ini masih menganut sistem pemerintahan parlementer. Kala itu, Soekiman Wirjosandjojo yang menjabat sebagai Perdana Menteri ke-6 menginisiasi kebijakan ini di tahun 1951. Kebijakan ini adalah program kesejahteraan bagi para pamong praja.
Pamong praja adalah sebutan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang digunakan pada masa awal kemerdekaan. Soekiman yang merupakan seorang nasionalis ingin meningkatkan kesejahteraan para aparatur negara dan ingin para PNS dan keluarganya memberikan dukungan pada program-program pemerintah, kemudian memutuskan untuk memberikan tunjangan menjelang hari raya.
Pada awal munculnya, Tunjangan Hari Raya yang diberikan pemerintah pada para PNS adalah sebesar Rp 125 hingga Rp 200. Angka ini setara dengan Rp 1,1 juta hingga Rp 1,75 juta pada kondisi ekonomi saat ini. Selain itu, PNS diberikan juga sembako yang berupa beras.
Ilustrasi pemberian Tunjangan Hari Raya dalam amplop. (Foto: pixabay/Ekoanug)
Namun, pekerja di Indonesia bukanlah hanya para pamong praja tersebut. Terdapat pekerja swasta seperti para buruh yang tidak termasuk dalam kebijakan tersebut. Para pekerja swasta menganggap kebijakan ini tidak adil, karena mereka juga bekerja dan berkontribusi pada perekonomian negara.
Para kaum buruh mendesak pemerintah hingga puncaknya melakukan mogok kerja nasional demi menuntut hak THR dari pemerintah. Sebagai jawaban, pemerintah melalui Menteri Perburuhan mengeluarkan surat edaran terkait pemberian tunjangan sebesar seperduabelas dari gaji yang diterima dalam satu tahun pada tahun 1954. Namun, karena hanya berupa sebuah imbauan bukan peraturan tegas, banyak perusahaan yang tidak memberikan THR tersebut.
Barulah pada tahun 1994 secara resmi diterbitkan kebijakan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta perusahaan di Indonesia. Peraturan ini direvisi pada tahun 2016 untuk mempertegas pemberian THR berdasarkan masa kerja tiap karyawan dan tenggat waktu pemberian THR kepada karyawan.
Peraturan tersebut tertuang pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 yang mengatur pemberian Tunjangan Hari Raya paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan. Selain itu juga mengatur bahwa pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berkah mendapat tunjangan ini dan karyawan kontrak juga wajib diberikan THR. [rk]