politics

Bahlil Usul Kepala Daerah Dipilih DPRD, Prabowo dan KIM Setuju, PDIP Mikir-mikir, Akademisi Menolak

Penulis M. Hafid
Dec 11, 2025
Ilustrasi pemilihan kepala daerah. Foto: IAIS Sambas
Ilustrasi pemilihan kepala daerah. Foto: IAIS Sambas

ThePhrase.id - Wacana kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali diusulkan oleh Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri Energi dan Sumber Daya Meneral (ESDM) Bahlil Lahadalia.

Usulan itu disampaikan Bahlil saat perayaan Hari Ulang Tahun ke-61 Golkar di Istora, Senayan, Jakarta pada Jumat (5/12). Acara itu juga dihadiri oleh Presiden Prabowo Subianto.

"Khusus menyangkut Pilkada, setahun lalu kami menyampaikan, kalau bisa Pilkada dipilih lewat DPRD saja. Banyak pro kontra, tapi setelah kami mengkaji, alangkah lebih baiknya memang kita lakukan sesuai dengan pemilihan lewat DPR Kabupaten/Kota biar tidak lagi pusing-pusing," kata Bahlil dalam pidatonya.

Gayung bersambut, Prabowo dalam pidatonya mengamini usulan Bahlil. Baginya, demokrasi yang dianut di Indonesia harus bisa memangkas ongkos politik.

Apalagi, lanjut Kepala Negara, DPRD sudah dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga dapat memilih wali kota hingga gubernur.

“Jadi saya sendiri condong, saya akan mengajak kekuatan politik berani memberi solusi kepada rakyat. Demokratis tapi jangan buang-buang uang. Kalau sudah sekali memilih DPRD kabupaten, DPRD provinsi, ya kenapa nggak langsung saja pilih gubernurnya dan bupatinya, selesai,” kata Prabowo.

Menurutnya, sistem pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD sudah dilakukan di negara lain seperti Malaysia, India, Inggris, Kanada, hingga Australia.

"Negara terkaya di dunia pakai sistem politik yang murah," tegasnya.

Respons Parpol

Sejumlah partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), koalisi pendukung Prabowo turut mendukung wacana kepala daerah dipilih DPRD, salah satunya PKB.

Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB Muhammad Khozin menyebut partainya mendukung usulan Bahlil agar kepala daerah dipilih DPRD.

Namun, Khozin secara spesifik mengungkapkan bahwa partainya ingin gubernur dipilih atau ditunjuk oleh pemerintah pusat, sementara untuk wali kota hingga bupati dipilih oleh DPRD.

"Kami mengusulkan pemilihan gubernur oleh pemerintah pusat karena gubernur adalah wakil pemerintah pusat, sedangkan bupati/wali kota dipilih oleh DPRD," kata Khozin, Senin (8/12).

Sebagaimana Prabowo, Khozin juga menyebut pemilihan langsung memerlukan biaya yang besar dan membuat hubungan antar masyarakat terganggu lantaran beda pilihan.

"Biaya politik mahal dan kohesivitas masyarakat terganggu. Plus minus harus menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan pilkada," ucapnya.

Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera tidak sepenuhnya mendukung usalan tersebut. Mardani mengusulkan agar pemilihan langsung tetap dilakukan untuk pemilihan wali kota. Sementara tingkat kabupaten bisa dipilih melalui DPRD.

"Pilkada langsung punya kelebihan legitimasi kuat kepala daerah. Dan sulit diturunkan. Pilkada langsung memunculkan mutiara daerah walau berasal dari partai kecil atau NGO. Bagus untuk daerah perkotaan tetap pilkada langsung. Dan di rural (pedesaan) bisa dipertimbangkan melalui DPRD. Jadi asimetri pilkada," ujarnya.

Partai non koalisi  pemerintahan Prabowo-Gibran, PDIP tidak secara lantang menolak maupun mendukung wacana tersebut.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto menyebut partainya akan mengkaji terlebih dahulu soal kepala daerah dipilih DPRD. Menurutnya, kajian itu akan mempertimbangkan baik buruknya terhadap masyarakat.

"PDI Perjuangan terus melakukan kajian-kajian. Pada prinsipnya, sistem selalu mengandung plus-minusnya. Kita mencari mana yang membawa manfaat bagi rakyat," kata Hasto di Bandung, Jawa Barat, Minggu (7/12).

Selain itu, pemilihan kepala daerah dipilih secara langsung maupun melalui DPRD harus berbasis pada penguatan demokrasi dan legitimasi kepemimpinan yang didukung oleh rakyat.

"Tapi yang terpenting adalah pemimpin kepala-kepala daerah memang mampu menghasilkan keputusan politik di dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan berbagai bentuk ketidakadilan," terangnya.

Hasto juga mengungkapkan bahwa sejatinya konstitusi mengamanatkan agar kepala daerah dipilih secara demokratis atau secara langsung.

Namun, dia juga memahami bahwa pemilihan secara langsung memakan biaya yang besar, sebagaimana yang disampaikan Prabowo.

"Kita juga tidak menutup mata apa yang disampaikan oleh Presiden Prabowo itu akibat pemilihan secara langsung itu menimbulkan beban biaya yang begitu besar, biaya kampanye, biaya penggalangan, biaya komunikasi politik, yang menyebabkan banyak kepala daerah terjebak kepada persoalan-persoalan terkait dengan korupsi," katanya.

Oleh sebab itu, Hasto menyebut semua pertimbangan itu akan dikaji dan dibawa ke rapat kerja nasional sebelum memutuskan menolak atau menyetujui usulan Bahlil itu.

Ditolak Akadamisi

Koalisi Sipil untuk Kodifikasi Undang-Undang Pemilu menolak usulan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Koalisi menyebut usulan tersebut inkonstitusional dan merusak kedaulatan rakyat.

Soal tingginya ongkos politik seperti yang dikeluhkan Prabowo, Koalisi menilai hal itu bukan disebabkan oleh mekanisme Pilkada langsung. "Melainkan oleh biaya kampanye yang tidak terkendali, termasuk praktik politik uang seperti jual beli suara maupun jual beli kandidasi," tulis Koalisi dalam keterangannya, dikutip Kamis (11/12).

Pemilihan oleh DPRD juga dinilai berpotensi menumbuhsuburkan ruang transaksi politik yang lebih gelap di balik pintu tertutup parlemen daerah, mengurangi hak rakyat dalam menentukan secara langsung calon pemimpinnya.

"Menolak secara tegas setiap wacana dan upaya legalisasi yang bertujuan mengembalilkan mekanisme pilkada menjadi tidak langsung melalui DPRD, karena bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 dan semangat demokrasi pasca reformasi," tegasnya.

Senada juga disampaikan Adi Prayitno. Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, menolak wacana tersebut lantaran dianggap mengebiri hak politik rakyat.

“Jelas ini mengebiri hak politik rakyat,” kata Adi, Minggu (7/12).

Adi meyakini bahwa politik uang tidak lantas hilang dengan menghapus pemilihan secara langsung. Justru praktek itu bergeser dari publik ke elit partai dan anggota DPRD.

Selain itu, pemilihan oleh DPRD dinilai akan lebih mudah dikendalikan oleh para elit dan berpotensi menciptakan calon boneka. “Elite tak takut pada rakyat,” ucapnya.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona juga mengkritik usulan tersebut. Dia menilai pemilihan kepala daerah oleh DPRD sebagai kemunduran demokrasi.

Yance mengungkapkan bahwa pemilihan oleh DPRD memiliki dampak negatif yang lebih besar dibanding pemilihan secara langsung. Salah satunya, akan menghilangkan hak politik rakyat dalam memilih dan menentukan calon pemimpinnya.

“Dalam 20 tahun terakhir, banyak pemimpin daerah baik yang lahir karena dipilih langsung oleh rakyat,” kata Yance dalam keterangannya dikutip Kamis (11/12).

Selain itu, ada faktor determinan dari partai politik untuk menentukan kepala daerah. Pemilihan oleh DPRD akan membuat partai politik semakin sentralistik dan menguntungkan bagi partai besar saja.

“Jadi, partai-partai menengah dan kecil mestinya tidak ikut dalam wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD karena mereka tidak akan dapat apa-apa nanti,” ucapnya.

Lebih lanjut, Yance menyebut bahw kondisi politik saat ini masih punya pekerjaan rumah untuk memperbaiki netralitas dari aparatur negara. Pasalnya, dalam beberapa pemilihan sebelumnya banyak dari mereka yang merobek batas netralitas dan mengkampanyekan sosok tertentu.

Kondisi itu akan semakin keruh apabila pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Menurutnya, rakyat harus menolak wacana tersebut.

“Ke depan akan sangat mudah bagi pemerintah untuk menentukan siapa yang menjadi kepala daerah sehingga rakyat perlu menyuarakan itu,” pungkasnya. (M Hafid)

Artikel Pilihan ThePhrase

- Advertisement -
 
Banyak dibaca
Artikel Baru
 

News Topic