ThePhrase.id – Selamat hari anti kekerasan terhadap perempuan internasional! Pada hari ini, yuk berkenalan dengan sosok Baia Pataraia, seorang aktivis perempuan dan pengacara hak asasi manusia dari negara Georgia.
Georgia adalah sebuah negara di Asia Barat bekas negara Uni Soviet yang berbatasan dengan Rusia, Turki, Armenia, dan Azerbaijan. Masyarakat Georgia masih menjunjung nilai patriarki yang tinggi. Sehingga, dibutuhkan sosok yang dapat melawan stereotipe tersebut.
Baia adalah sosok yang dikenal secara luas di Georgia sebagai seorang aktivis dan juga pengacara. Ia memulai studinya dengan mengambil jurusan hukum internasional dan ekonomi pada Tbilisi State University. Lulus tahun 2004, ia kemudian melanjutkan studi S2 pada jurusan hukum HAM di Hungaria.
Sejak tahun 2008, Baia menjadi dosen tamu di beberapa universitas di Georgia, seperti Tbilisi State University dan Free University of Tbilisi. Di tahun 2009, ia bergabung dan bekerja pada Kementerian Kehakiman Georgia.
Selama berada di kementerian, ia membantu menyusun undang-undang baru pada Pasal 126 yang mendefinisikan kejahatan kekerasan dalam rumah tangga di Georgia. Ia juga memastikan pelecehan seksual termasuk dalam Undang-Undang Kesetaraan Gender.
Baia Pataraia. (Foto: sapari.ge)
Setelah berada di lembaga pemerintahan selama empat tahun hingga tahun 2013, ia memutuskan untuk keluar dan mengarahkan fokusnya pada aktivisme secara penuh. Di tahun 2013, ia memimpin organisasi perempuan bernama Sapari setelah bergabung sejak tahun 2007.
Di tahun 2014, ia mendirikan Gerakan Perempuan Georgia, sebuah grup feminis terbesar di Georgia yang menghimpun 3000 perempuan. Gerakan ini melakukan berbagai kegiatan advokasi dan kampanye seperti demonstrasi di jalanan, pertunjukan, dan kampanye sosial terkait hak-hak wanita.
Gerakan yang dipimpinnya tersebut dikatakan merupakan gerakan yang sukses karena dapat melobi perubahan legislatif pemerintahan serta membawa isu-isu terkait wanita ke dalam agenda politik.
Selain itu, sejak tahun 2011 Baia juga telah bekerja sama dengan organisasi internasional dan pusat pelatihan nasional sebagai ahli melatih hakim, jaksa, pengacara, dan aktivis tentang isu gender, kekerasan dan diskriminasi berbasis gender, gender mainstreaming, dan advokasi.
Pandangan Baia terkait kekerasan terhadap perempuan
Sebagai direktur eksekutif Sapari, Baia juga aktif pada organisasi ini. Ia melakukan berbagai inovasi, seperti memberikan bantuan pada perempuan di penjuru Georgia melalui organisasi-organisasi lokal hingga memberdayakan perempuan.
Baia Pataraia (tengah). (Foto: sapari.ge)
Namun, tak hanya memberdayakan perempuan, menurut Baia, mengedukasi laki-laki tentang hal ini juga tak kalah penting. Hal ini diungkapkan Baia pada wawancara yang dilansir dari The Pixel Project.
"Dengan sumber daya yang sedikit, kami selalu berusaha untuk memperkuat dan memberdayakan perempuan, tetapi tidak memberikan perhatian kepada para laki-laki dan pria. Dengan begitu, sayangnya laki-laki setidaknya di Georgia tidak membuat diri mereka memerangi kekerasan terhadap perempuan. Mereka hanya menjadi pendukung pasif, padahal mereka bisa berbuat lebih banyak," tutur Baia.
Menurutnya, ada krisis maskulinitas pada laki-laki, dan para laki-laki tersebut membutuhkan pengertian dari 'menjadi laki-laki dewasa' yang baru. Mereka juga membutuhkan munculnya nilai baru tentang 'pria yang baik dan manly', di mana tidak membutuhkan kekerasan untuk membuktikan kejantanannya.
Baia juga beropini bahwa kekerasan terhadap perempuan muncul dari ketidaksetaraan gender. "Jika kita ingin mengakhiri kekerasan pada perempuan, kita harus memperjuangkan kesetaraan gender. Kepercayaan bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan berakar kuat pada masyarakat yang patriarki," ujarnya.
Pada awalnya, organisasi Sapari berfokus membantu para perempuan Georgia yang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga. Namun, di tangannya, ia memperluas misi dari Sapari yang mencakup perjuangan untuk pemberdayaan politik perempuan dalam melawan diskriminasi. [rk]