ThePhrase.id – Lukisan bertajuk "The Team of Red" karya seniman asal Bandung bernama Christine Ay Tjoe yang dilelang di Sotheby's Asia Singapura menghebohkan warganet karena berhasil terjual dengan harga yang fantastis.
Taksiran harga yang ditawarkan pada lelang "The Team of Red" adalah dari 650.000 – 1.300.000 dolar Singapura (SGD) atau sekitar Rp7,2 - Rp14,4 miliar.
Dilansir dari laman resmi Sotheby's, lelang tersebut ditutup pada Minggu (2/7) dan lukisan tersebut berhasil terjual seharga 990.600 SGD atau setara dengan Rp11 miliar.
Meskipun baru dilelang di tahun 2023, dilansir dari laman Sotheby’s, lukisan tersebut digarap pada tahun 2013. Terlebih lagi, diketahui bahwa lukisan ini menggunakan cat minyak di atas kanvas.
Menurut Sotheby’s, lukisan ini merupakan salah satu karya pelukis yang paling diinginkan dan akhirnya muncul dalam pelelangan. Maka dari itu, harga yang dipasang juga tinggi, begitu juga dengan harga terjualnya.
Sama seperti lukisan hasil seniman lainnya, lukisan ini memiliki makna tersendiri. Lukisan ini merupakan salah satu hasil lukisan dalam masa penting karier Christine.
Maka dari itu, penggunaan palet warna yang lebih bersemangat tercerminkan pada hasil yang menggunakan warna merah sebagai warna yang dominan. Lukisan ini juga memiliki tema yang serupa dengan lukisan-lukisan Christine lainnya, yakni bernuansa filosofi dan spiritual.
"The Team of Red" bukanlah lukisan pertama dari Christine Ay Tjoe yang dilelang di Sotheby's. Sebelumnya, beberapa karyanya juga telah berhasil terjual dalam lelang dengan harga yang juga fantastis.
Pada wawancaranya dengan Elle Indonesia pada Maret 2022, Christine mengatakan bahwa ia tidak melihat nilai dan harga sebagai suatu hal yang besar dan harus dilebih-lebihkan.
"Bisa sedemikian tinggi (harganya) barangkali karena di balai lelang. Tapi di acara-acara pameran, saya selalu menjaga harga agar tidak naik atau turun drastis. Namun saya tidak pernah melihat nilai dan harga menjadi sesuatu yang perlu dilebih-lebihkan. Sebab sampai detik ini, yang sangat menarik dari profesi ini adalah proses kreatifnya," ungkap Christine.
Ia menambahkan apresiasi dari berbagai pihak atas karya-karyanya justru membuat dirinya terpicu untuk bekerja lebih keras agar kualitas karya-karyanya tetap konsisten.
"Jangan sampai persoalan nilai dan harga mengganggu proses kerja dan kreativitas kita. Barangkali atas alasan itu pula saya cukup membatasi hubungan saya dengan banyak orang. Predikat ‘seniman mahal’ itu akan lebih menganggu jika kita mendengar komentar orang-orang di luar. Dan saya tidak ingin tanggapan dan respons orang lain mengganggu proses berkesenian saya," lanjutnya.
Christine merupakan seniman lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain dari Institut Teknologi Bandung. Ia lulus di tahun 1997 dan mulai meniti kariernya setelah lulus.
Meskipun saat ini ia terkenal sebagai seniman, perempuan kelahiran 27 September 1973 ini terlebih dahulu memulai kariernya di bidang fashion sebagai asisten perancang busana.
Sepanjang meniti karier, Christine telah menggelar banyak pameran tunggal, mengikuti berbagai pameran bersama, hingga menerima segudang penghargaan nasional dan internasional.
Beberapa pameran tunggal yang ia gelar antara lain Buka Untuk Melihat (2001) di Redpoint Gallery Bandung, Aku / Kau / Uak (2003) di Edwin's Gallery Jakarta, Wall Prison (part two) (2008) di Scope Miami Art Fair, Miami AS, Panorama Without Distance (2009) di Hong Kong Art Fair, Hong Kong Convention & Exhibition Centre, Perfect Imperfection (2015) di SongEun ArtSpace Seoul, Korea, BLACK, KCALB, BLACK, KCALB (2018) di White Cube London, Inggris, dan masih banyak lagi.
Sementara itu untuk pameran bersama yang pernah diikutinya adalah China National Museum of Fine Art (2003), Johnson Museum of Art, Cornell University, Ithaca, New York (2005), National Gallery, Jakarta (2009), Saatchi Gallery, London (2011), Fondazione Claudio Buziol, Venice (2011), Singapore Art Museum (2012), Mnuchin Gallery, New York (2023), dan lain-lain. [rk]